Oleh : Antonius Yudo Prihartono, SH, MH, MM, CHt, CT
Koordinator Bidang Advokasi & Perlindungan Anggota AHKI, Ketua Dewan Etik AHKI
Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI) adalah sebuah organisasi yang menaungi profesi hipnoterapis klinis. AHKI menetapkan standar tinggi, ilmiah dan berbasis bukti (evidence-based) dalam pendidikan dan layanan hipnoterapi untuk kemanfaatan dan perlindungan baik praktisi hipnoterapi dan terutama anggota masyarakat pengguna jasa layanan hipnoterapi.
Para hipnoterapis klinis anggota AHKI menjalankan profesinya dalam koridor kode etik untuk menjaga standar, kualitas pelayanan, dan tentunya kenyamanan pengguna layanan hipnoterapi. Salah satu kode etik yang harus dijalankan oleh para hipnoterapis klinis anggota AHKI ini adalah larangan melakukan terapi di kamar hotel, kafe, atau tempat keramaian lainnya.
Kode etik ini juga masih berkaitan dengan kode etik menjaga kerahasiaan dan identitas klien. Untuk itulah praktik hipnoterapi ini harus dilakukan di ruang praktik demi menjaga privasi dan memberi kenyamanan maksimal untuk proses terapi.
Maju Pesat
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, metode hipnoterapi berkembang sangat pesat di Tanah Air. Cukup banyak pelatihan yang ditawarkan dan banyak muncul praktik hipnoterapi yang menawarkan jasanya melalui media massa. Sangat disayangkan bahwa perkembangan pesat ini belumlah diiringi dengan standar pendidikan, kurikulum, kompetensi hipnoterapis serta kode etik dalam menjalankan profesi hipnoterapi.
Hanya sedikit lembaga pendidikan hipnoterapi di Indonesia memiliki standar pendidikan tinggi dan kurikulum mengacu pada standar internasional sebagaimana yang ditetapkan lembaga hipnoterapi mapan dari luar negeri. Ketidakjelasan standar, kurikulum, dan lama masa pendidikan hipnoterapis berdampak pada kualitas dan kompetensi hipnoterapis yang dihasilkan.
Hipnoterapis klinis anggota AHKI adalah para praktisi hipnoterapi berusia minimal 28 tahun yang telah mengikuti pendidikan hipnoterapi minimal 100 jam tatap muka di kelas. Ini adalah standar pendidikan hipnoterapi yang sangat tinggi.
Saat ini, hipnoterapi yang terus bertumbuh dan berkembang ini masih belum memiliki regulasi yang seragam dari setiap lembaga. Hal ini membuat kualifikasi hipnoterapis pada tiap lembaga bisa sangat berbeda dengan rentang kompetensi yang sangat lebar.
Apabila masyarakat mendapatkan layanan dari hipnoterapis lulusan dari lembaga yang standar pendidikannya kurang, maka masyarakat bisa dirugikan atau malah mendapatkan bahaya.
Selain dari lembaga pendidikannya, diperlukan pula lembaga profesi yang mengatur kode etik dan juga regulasi profesi lainnya agar dapat memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat sehingga tujuan untuk pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat dapat tercapai.
Hipnoterapi telah terbukti efektif dalam membantu klien dalam menyelesaikan masalahnya. Maka kehadiran dan peran praktisi hipnoterapi sebagai terapi komplementer pun semakin diterima oleh masyarakat.
Menyadari hal tersebut, AHKI sebagai organisasi profesi hipnoterapi terus melakukan upaya-upaya mengembangkan diri. AHKI menyadari bahwa kode etik merupakan cara untuk praktik hipnoterapi dijalankan dengan rasa tanggung jawab dan dengan penuh integritas. (*)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®
Artikel ini bertujuan menjelaskan secara singkat teori Polivagus ((Polyvagal Theory) yang digagas oleh Stephen W. Porges, korelasinya dengan pikiran bawah sadar dan hipnoterapi klinis.
Teori Polivagus pertama kali diungkap ke publik oleh Stephen W. Porges, 8 Oktober 1994, di hadapan komunitas ilmiah Society of Psychophysiological Research. Beberapa bulan kemudian, teori ini dipublikasi dalam artikel Orienting in a Defensive World: Mammalian Modifications of Our Evolutionary Heritage dan diterbitkan di jurnal Psychophysiology (Porges, 1995).
Neurosepsi (Neuroception)
Menurut teori Polivagus, sebelum otak mengerti apa yang terjadi dan memberi makna secara sadar pada suatu situasi atau kejadian, sistem saraf otonom melalui proses yang dinamakan neurosepsi, telah memindai (scan) dan menilai (assess) berbagai informasi yang bersumber baik dari dalam tubuh, lingkungan, maupun dari individu lain, dan memberi makna pada informasi ini (Porges, 2004).
Makna yang dihasilkan melalui proses ini bisa berupa salah satu dari tiga hal berikut: aman, tidak aman/berbahaya, atau mengancam keselamatan hidup. Selanjutnya, masih tanpa melibatkan kesadaran (conscious awareness), sistem saraf memulai dan mendorong terjadinya respon seturut makna.
Neurosepsi dapat dipandang sebagai sinyal somatik yang memengaruhi pembuatan keputusan dan respon perilaku tanpa secara sadar mengetahui keberadaan isyarat atau pemicu (Klarer dkk, 2014 : 7076). Beberapa karakteristik neurosepsi terekam ke dalam sistem saraf kita, menjadi strategi adaptif, dan diturunkan melalui proses evolusi (Porges, 2009b).
Berbeda dengan persepsi yang melibatkan kesadaran hingga derajat tertentu, neurosepsi berlangsung sangat cepat, tidak melibatkan fungsi kognisi atau kesadaran, namun melibatkan struktur subkortikal sistem limbik (Morris, Ohman, dan Dolan, 1999). Hasil dari neurosepsi berupa firasat (gut feelings), perasaan yang muncul dari hati (heart-informed feelings), dan perasaan tersirat (implicit feelings) yang menggerakkan individu dalam kontinum respon aman dan keselamatan hidup (survival). Neurosepsi mengendalikan kondisi mental emosi, memberi warna pada pengalaman, dan mencipta respon otonom.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh sekelompok ilmuwan Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences di Leipzig, bekerja sama dengan Charité University Hospital dan Bernstein Center for Computational Neuroscience di Berlin, di bawah pimpinan Professor John-Dylan Haynes. Hasil penelitian yang dipublikasi di Science Daily, 15 April 2008, menyatakan bahwa aktivitas otak memprediksi, bahkan hingga 7 detik lebih awal, bagaimana seseorang akan membuat keputusan. Dengan kata lain, pembuatan keputusan adalah hasil dari aktivitas mental yang bersifat tidak disadari (nirsadar).
Pemindaian dan penilaian yang dilakukan sistem saraf otonom, melalui proses neurosepsi, bekerja berdasar pola kebiasaan yang berkembang seiring waktu dan dibentuk melalui pengalaman hidup, baik pengalaman positif dan memberdayakan, maupun pengalaman traumatik. Neurosepsi membentuk kondisi psikologis (kognisi dan emosi) dan selanjutnya kondisi ini menentukan respon individu (Dana, 2018).
Secara anatomis, tiga bagian otak yang terlibat dalam proses neurosepsi adalah temporal cortex, periaqueductal gray (PAG), dan insula (Porges, 2009b, 2011). Temporal cortex bekerjasama dengan amigdala menjalankan fungsi mengenali dan berespon pada wajah, suara, dan gerakan tangan orang untuk menentukan derajat keterpercayaan seseorang. PAG berkomunikasi dengan sistem saraf simpatik dan dorsal vagus untuk mengelola perilaku konfrontatif, perilaku menghindar atau lari, dan perilaku imobilisasi. Insula terlibat dalam interosepsi, mengolah informasi yang berasal dari organ tubuh, atau membawa umpan balik dari organ viseral ke permukaan sehingga diketahui oleh pikiran sadar (Craig, 2009a).
Neurosepsi memberi individu akses pada informasi yang tidak dapat individu amati secara sadar. Bila neurosepsi bekerja dengan baik, ia adalah berkah dalam menjaga keselamatan dan kesejahteraan individu. Namun, neurosepsi juga bisa salah dalam melakukan penilaian akibat distorsi yang disebabkan oleh trauma masa lalu, berbagai emosi negatif dalam diri, akibat pengaruh obat, kondisi fisik lelah, gula darah rendah, sakit, atau bahkan saat individu sedang jatuh cinta.
Sistem Saraf Otonom
Sebelum Teori Polivagus, sistem saraf otonom manusia digambarkan sebagai sistem antagonis dua bagian, simpatik dan parasimpatik, dengan peran dan fungsinya masing-masing, dan hanya satu sistem saraf yang bisa aktif pada satu waktu tertentu. Sistem saraf simpatik berespon pada sinyal atau isyarat bahaya, melepas adrenalin dan menyiapkan tubuh untuk proses penyelamatan hidup melalui respon lawan atau lari (fight-flight response). Sementara sistem saraf parasimpatik berfungsi merilekskan individu.
Teori Polivagus mengidentifikasi jenis respon ketiga, yang Porges (2004) sebut sebagai sistem keterlibatan sosial (social engagement system), perpaduan antara respon aktif dan menenangkan, beroperasi melalui pengaruh saraf yang unik.
Dalam Teori Polivagus dinyatakan bahwa sistem saraf parasimpatik memiliki dua cabang dengan fungsi berbeda: ventral vagus dan dorsal vagus. Dengan demikian, menurut teori ini, terdapat tiga jalur dalam sistem saraf otonom kita: simpatik, ventral vagus dan dorsal vagus (Porges, 2011).
Saraf simpatik berawal dari dalam kolom tulang belakang, menuju ke bagian tengah medula spinalis dalam kolom sel medialolateral (atau tanduk lateral), dimulai pada segmen toraks pertama dari medula spinalis dan diperkirakan meluas ke segmen lumbar kedua atau ketiga. Saraf simpatik memobilisasi energi individu melalui dua sistem: medula simpatik adrenal (sympathetic adrenal medullary / SAM) dan poros hipotalamus-pitutitari-adrenal (hypopthalamic-pituitary-adrenal axis) atau poros HPA.
Saat sistem saraf memaknai situasi sebagai bahaya atau mengancam, SAM aktif dan mengakibatkan semburan adrenalin untuk respon segera terhadap stresor. Respon sekejap ini berlangsung dalam rentang waktu 100 milidetik. Aktivasi SAM bertujuan untuk respon jangka pendek dan setelahnya tubuh kembali ke kondisi normal. Namun apabila situasi tidak dapat diatasi dengan aktivasi SAM, selanjutnya poros HPA aktif dan melepas hormon stres kortisol.
Manusia memiliki 12 pasang saraf kranial (saraf yang muncul langsung dari otak). Saraf vagus adalah saraf kranial 10, paling panjang dari semua saraf kranial, dan merupakan komponen utama dari sistem saraf parasimpatik. Saraf vagus bukan saraf tunggal namun berupa kumpulan serabut saraf dalam selubung.
Saraf vagus terbagi menjadi dua jalur di diafragma: ventral vagus dan dorsal vagus. Ventral vagus memengaruhi kerja organ-organ di atas diafragma (supradiafragmatik) seperti jantung dan paru-paru, sementara dorsal vagus memengaruhi kerja organ-organ di bawah diafragma (subdiafragmatik), terutama organ pencernaan.
Ventral vagus berespon pada isyarat situasi atau kondisi aman dan mendukung rasa aman untuk keterlibatan dan keterhubungan secara sosial. Sementara dorsal vagus berespon pada isyarat bahaya ekstrim yang mengancam keselamatan, guncangan hebat baik fisik atau psikis (shock – trauma), atau bila individu merasa tidak berdaya menghadapi situasi tertentu.
Aktifnya dorsal vagus dapat diamati melalui karakteristik fisik antara lain wajah kehilangan warna, datar, dan tampak tidak responsif. Suara juga berubah menjadi datar, respon verbal menjadi (sangat) lambat, mata nanar dan tekanan darah turun. Aliran darah ke lobus frontalis juga menurun mengakibatkan otak tidak mampu membentuk narasi dan gambaran kejadian yang dialami individu. Individu mengalami amnesia. Ini terjadi karena pada saat mengalami guncangan hebat, individu bereaksi menggunakan bagian otak dan sistem saraf yang lebih primitif.
Hampir semua saraf ventral vagus termielinasi. Sementara saraf-saraf dorsal vagus hampir semuanya tidak termielinasi. Mielinisasi membuat ventral vagus mampu memroses informasi dengan cepat dan efisien (Porges, 1997).
Hal penting lainnya, 80% saraf vagus adalah saraf aferen, yaitu saraf yang mengirim sinyal sensorik ke otak. Sementara 20%-nya adalah saraf eferen, yaitu saraf yang mengirim sinyal dari otak ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa saat situasi aman, ventral vagus aktif, individu dapat menjalani interaksi sosial (social engagement) dengan baik. Saat situasi tidak aman atau bahaya, saraf simpatik aktif dan individu masuk mode lawan atau lari (fight-flight). Dan saat menghadapi bahaya ekstrim, dorsal vagus aktif, individu mengalami kondisi imobilisasi atau freeze.
Hirarki Aktivasi
Untuk memahami cara kerja dan urutan aktivasi ketiga sistem saraf otonom ini, dapat digunakan analogi tangga. Posisi paling atas tangga adalah ventral vagus. Di bawahnya, sistem saraf simpatik. Dan paling bawah adalah dorsal vagus.
Dalam kondisi normal, saat neurosepsi memberi makna aman terhadap situasi di dalam diri, lingkungan, atau orang lain di sekitar individu, saraf ventral vagus aktif. Aktifnya ventral vagus berakibat individu merasa aman, nyaman, dan mampu berinteraksi sosial dengan baik.
Apabila karena sesuatu hal, neurosepsi memaknai suatu isyarat sebagai tanda bahaya maka aktivasi ventral vagus menurun dan saraf simpatik mulai aktif. Bila kondisi bahaya ini dapat segera diatasi, saraf simpatik menjadi nonaktif dan ventral vagus kembali aktif sepenuhnya sehigga individu dapat menjalani kehidupan dengan perasaan nyaman dan mampu berinteraksi dengan lingkungan.
Namun bila kondisi bahaya ini tidak dapat diatasi, ventral vagus segera menjadi nonaktif dan saraf simpatik aktif sepenuhnya mengendalikan individu. Saraf simpatik mengaktifkan respon lawan atau lari (fight-flight response). Saat individu menghadapi bahaya ekstrim yang mengancam keselamatan atau guncangan ektrim yang dinilai di luar kemampuan individu untuk mengatasinya, dorsal vagus aktif, dan individu masuk kondisi imobilisasi/beku (freeze), menarik atau menutup diri,dan bisa mengalami disosiasi.
Pengalaman tidak kondusif atau traumatik dalam proses tumbuh kembang individu mengakibatkan neurosepsi sering salah dalam memaknai suatu informasi. Informasi yang sebenarnya netral atau bukan masalah dimaknai sebagai sesuatu yang mengancam atau berbahaya, mengakibatkan ventral vagus nonaktif, dan sistem saraf simpatik atau dorsal vagus aktif.
Untuk mampu menjalankan interaksi dan fungsi sebagai makhluk sosial dengan baik, merasa tenang, aman, bahagia, aktif, penuh perhatian, semangat, dan menikmati hidup, individu butuh aktivasi ventral vagus. Namun, semua hal ini tidak bisa individu alami bila sistem saraf simpatik atau dorsal vagus aktif, yang menempatkan individu dalam mode genting lawan atau lari, atau kondisi imobilisasi.
Pengalaman tidak kondusif atau traumatik dalam proses tumbuh kembang dapat mengakibatkan individu tersangkut dalam mode sistem saraf simpatik aktif atau dorsal vagus aktif untuk waktu lama.
Saat sistem saraf telah terkondisi sedemikian rupa, ia akan terus berada dalam kondisi ini hingga individu secara sadar melakukan pengkondisian baru. Perubahan melalui pengkondisian baru sifatnya penting karena neurosepsi mengikuti pola terkondisi ini.
Trauma dan Sistem Saraf Otonom
Setiap individu, dalam perjalanan hidupnya, pasti pernah mengalami peristiwa yang mengguncang, intens, dan penuh tekanan. Namun, respon setiap individu tidaklah sama. Ada yang dapat mengatasi kondisi ini dengan cepat dan kembali ke kondisi seimbang, nyaman, dan mampu melanjutkan hidup dengan baik melalui interaksi sosial bermakna. Sementara ada juga individu yang berubah, akibat kejadian ini, dan tidak lagi sama seperti dirinya sebelum kejadian.
Gangguan psikologis pascatrauma, bila ditilik dari perspektif Teori Polivagus, sejatinya terbagi menjadi dua. Pertama, kondisi pascatrauma kronis melalui aktivasi sistem saraf simpatik yang menghasilkan respon lawan atau lari, atau lebih sering disebut kondisi stres. Kedua, kondisi pascatrauma kronis melalui aktivasi dorsal vagus yang menghasilkan respon menarik atau menutup diri akibat perasaan takut, tidak berdaya, putus asa, dan berbagai perilaku depresi (Rosenberg, 2017).
Gangguan stres pascatrauma terjadi bila respon genting lawan, lari, atau imbolisasi teraktivasi namun tidak berhasil dinonaktifkan kembali dan individu mengalami fiksasi psikofisiologis, mengakibatkan ventral vagus nonaktif untuk waktu lama.
Pikiran Bawah Sadar
Manusia memiliki dua pikiran: pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS). PBS mulai aktif sejak terjadi pembuahan. Ia akan terus dan selalu aktif hingga individu meninggal. Sementara PS baru mulai aktif saat individu berusia tiga tahun. Berbeda dengan PBS yang senantiasa aktif dan bekerja, PS hanya aktif saat individu dalam kondisi bangun dan sadar penuh. Saat individu tidur, pingsan, dibawah pengaruh obat, atau dianestesi, PS tidak aktif (sepenuhnya).
PS terus berkembang seiring proses tumbuh-kembang individu dan menjadi sangat kuat saat usia 13 tahun. PS memiliki fungsi berpikir analitis, rasional, menyimpan memori jangka pendek, kekuatan kehendak, dan faktor kritis (Gunawan, 2012).
PBS memiliki lebih banyak fungsi daripada PS. Fungsi paling utama PBS adalah menjaga dan atau melindungi keselamatan individu dari segala sesuatu yang ia pandang, rasa, yakin, percaya, atau asumsikan sebagai hal membahayakan kesejahteraan atau keselamatan individu (Tebbetts, 1987; Gunawan, 2012). PBS melindungi individu berdasar keputusan dan cara yang ia pilih. Fungsi lain PBS adalah sebagai tempat menyimpan kepercayaan (belief), nilai (value), memori jangka panjang, kebiasaan (baik, buruk, netral), kepribadian, karakter, intuisi, kreatifitas, dan sumber emosi (Churchill, 2012; Gunawan, 2012).
PBS melindungi individu menggunakan data yang tersimpan di memori yang dihimpun seiring pertumbuhan dan perkembangan individu. Selanjutnya, dengan menggunakan data ini sebagai parameter, PBS memindai (scan) berbagai informasi, baik yang bersumber dari dalam diri maupun lingkungan.
Data hasil pemindaian yang masuk ke PBS, dengan sangat cepat dibandingkan dengan data di memori, dan setelahnya PBS memberi makna: aman, berbahaya, atau mengancam keselamatan jiwa. Berdasar makna ini, PBS menyiapkan respon adaptif yang sesuai. Semua ini terjadi dengan sangat cepat tanpa melibatkan PS.
Kapasitas dan kecepatan PBS dalam memroses data sangat besar dan cepat. Menurut Zimmermann (1989) jumlah maksimal informasi yang dapat disadari adalah sekitar 40 bit/detik – sangat jauh di bawah jumlah yang diterima oleh reseptor-reseptor (ujung-ujung saraf). Sementara Trincker (dalam Norrentranders, 1998:126) menyatakan bahwa dari semua informasi yang masuk ke otak setiap detik, yang berasal dari semua sensor organ, hanya sejumlah sangat kecil disadari. Rasio antara kapasitas persepsi dan kapasitas apersepsi adalah satu juta berbanding satu. Dengan kata lain, hanya satu per satu juta informasi yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan yang berasal dari organ atau indera lainnya, yang muncul ke kesadaran dan diketahui atau disadari. Dari dua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbandingan kapasitas pemrosesan data antara PS dan PBS adalah 40 bit/detik berbanding 40.000.000 bit/detik atau 1 berbanding 1.000.000.
Dengan kecepatan pemrosesan data yang sedemikian tinggi, PBS dapat secara instan memberi makna pada suatu informasi yang ia terima, dan selanjutnya mengirim sinyal ke pikiran sadar terutama melalui tiga dari lima jalur komunikasi utama: perasaan, sensasi fisik, suara hati (inner talk). Dua jalur lainnya adalah intuisi dan mimpi.
Para pakar hipnoterapi seperti Erickson, Boyne, Tebbetts, Kein, Churchill dan yang lainnya menyatakan bahwa besarnya daya pengaruh PS dan PBS dalam memengaruhi dan mengendalikan individu adalah 10% berbanding 90%. Hal yang sama dinyatakan oleh Szegedy-Maszak (2005) bahwa manusia hanya menyadari sekitar 5% dari aktivitas berpikirnya, dengan demikian hampir semua keputusan, tindakan, emosi, dan perilaku seseorang sepenuhnya bergantung pada 95% aktivitas otak yang berlangsung tanpa ia sadari.
Saat seseorang di masa kecil, misalnya pernah mengalami trauma karena digigit anjing, maka data berupa narasi kejadian dan emosinya tersimpa di memori PBS. Selanjutnya, berdasar data ini, PBS akan memindai apakah ada anjing di sekitar individu dan bila ada, PBS akan langsung mengaktifkan tanda bahaya berupa perasaan tidak nyaman, takut, atau sensasi fisik tertentu, atau bahkan ada suara hati yang memerintah individu untuk segera menjauh dari anjing.
Demikian pula bila seseorang pernah mengalami perlakukan buruk, misal dimarahi oleh orang tua dengan suara keras, narasi kejadian dan emosinya disimpan di memori PBS. Setelahnya, setiap kali ia mendengar suara keras, walau suara ini tidak ditujukan padanya, PBS memberi sinyal tanya bahaya.
Sinyal ini direspon fisik dalam bentuk aktivasi sistem saraf simpatik. Dan bila bahaya telah berlalu dan individu merasa aman atau nyaman, sesuai dengan pemaknaan PBS, ia kembali rileks. Individu menjadi rileks karena sistem saraf parasimpatik, tepatnya ventral vagus, aktif.
Dan bila berdasar penilaian PBS individu tidak mungkin bisa mengatasi kondisi atau situasi yang sedang ia hadapi, sebagai langkah perlindungan, PBS akan membuat individu menjadi lemas, tidak mampu bergerak, bahkan pingsan. PBS juga bisa membuat individu mengalami disosiasi agar tidak mengalami sakit atau penderitaan berlebih. Kondisi ini sejatinya adalah aktivasi saraf dorsal vagus.
Dalam hipnoterapi, dilakukan induksi hipnotik dengan tujuan membuat PS menjadi rileks sehingga faktor kritis PS menjadi nonaktif. Dengan demikian, terapis dapat berbicara langsung dengan PBS klien tanpa intervensi dari PS.
Dalam kondisi hipnosis sedalam apapun, saat PS tidak lagi bekerja, PBS klien tetap aktif dan senantiasa menjalankan fungsi proteksi pada diri individu. Ini sejatinya adalah proses neurosepsi yang dilakukan sistem saraf otonom.
Hipnoterapi Klinis
Teori Polivagus menyatakan bahwa sistem saraf terkondisi oleh pengalaman hidup dan membentuk pola spesifik sebagai acuan pemberian makna oleh proses neurosepsi. Pengalaman traumatik mengakibatkan neurosepsi lebih sering memberi makna bahaya terhadap isyarat atau informasi yang bersumber dari dalam diri atau lingkungan. Kondisi ini mengakibatkan saraf simpatik atau dorsal vagus lebih sering aktif.
Sementara pengalaman positif yang dialami individu dalam proses tumbuh kembangnya membuat neurosepsi lebih tepat memberi makna pada isyarat atau informasi yang diterima dari dalam diri atau lingkungan, sebagai kondisi aman atau terkendali. Hal ini mengakibatkan individu lebih sering berada dalam mode aktivasi ventral vagus dan mampu menjalankan hidup dengan baik melalui interaksi sosial.
Pengkondisian ulang sistem saraf yang cenderung mengaktifkan saraf simpatik dan dorsal vagus dapat dilakukan dengan teknik tertentu (Porges dan Dana, 2018; Dana, 2018). Teknik dimaksud adalah dengan melatih individu mengenali kapan salah satu dari tiga sistem sarafnya aktif, apa yang membuat sistem saraf ini aktif, dan apa yang bisa ia lakukan untuk mengubah situasi ini.
Dengan sering berlatih mengenali dan melakukan koreksi atas respon, individu melakukan pengkondisian ulang pada sistem sarafnya. Hal yang sebelumnya oleh neurosepsi dimaknai bahaya atau mengancam keselamatan, padahal sesungguhnya tidak, akan terkoreksi sehingga bila individu bertemu dengan isyarat atau informasi yang sama, neurosepsi memberi makna berbeda.
Dari perspektif hipnoterapi klinis, pola berulang yang dialami individu sejatinya adalah program pikiran berisi narasi kejadian dan emosi dengan intensitas tertentu, yang tersimpan di memori PBS.
Berbagai kejadian traumatik dan emosi intens yang lekat padanya, tersimpan di memori, tidak hilang walau telah lama berlalu. Memori ini, tidak seperti memori pada umumnya yang akan pudar dengan sendirinya, akan terus aktif, bahkan setelah puluhan tahun. Bagi para individu ini, masa lalu selalu hadir di masa sekarang, dan mengakibatkan individu kerap dalam kondisi waspada berlebih. (Van der Kolk, 2014),
Kondisi waspada, akibat aktifnya saraf simpatik, adalah simtom yang bersumber dari energi yang terperangkap dalam sistem saraf dan sangat menganggu keseimbangan serta kesejahteraan tubuh dan pikiran. Residu ini terjadi karena individu tidak dapat menyelesaikan proses melewati atau keluar dari kondisi tak berdaya saat mengalami kejadian (Levine, 1997). Kondisi ini hanya bisa berubah atau diubah saat emosi yang lekat pada memori kejadian berhasil dikeluarkan sepenuhnya dari sistem psikis individu.
Melalui proses hipnoterapi klinis, individu dibimbing untuk dengan aman mencari, menemukan, dan mengakses pengalaman traumatik masa lalu, yang mengakibatkan ia mengelamai fiksasi psikofisiologis berupa respon sistem saraf yang tidak akurat dan malfungsi neurosepsi.
Saat pengalaman traumatik ini berhasil direkonstruksi, emosi yang lekat pada memori berhasil dinetralisir dan tuntas dikeluarkan dari sistem psikis individu, individu mengalami pengalaman emosional korektif, sistem saraf kembali ke kondisi homeostasis alamiah, ventral vagus aktif, dan neurosepsi dapat bekerja dengan benar.
Referesi:
Churchill, Randal. 2012. Advanced Clinical Hypnotherapy workbook.
Craig, A. D. 2009a. How do you feel—now? The anterior insula and human awareness. Nature Reviews Neuroscience, 10, 59–70.
Dana, Deb. 2018. The Polyvagal Theory in Therapy: Engaging the Rhythm of Regulation. New York: Norton
Gunawan, Adi W. 2012. The Miracle of MindBody Medicine. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Klarer, M., Arnold, M., Günther, L., Winter, C., Langhans, W., & Meyer, U. 2014. Gut vagal afferents differentially modulate innate anxiety and learned fear. Journal of Neuroscience, 34(21), 7067–7076
Levine, Peter.1997. Waking the Tiger: Healing Trauma. Berkeley: North Atlantic
Morris, J.S., Ohman, A., & Dolan, R.J. 1999. A subcortical pathway to the right amygdala mediating “unseen” fear. Proceedings of the National Academy of Sciences USA, 96, 1680-1685
Norrentranders, T. 1998. The User Illusion: Cutting Consciousness Down to Size. New York: Penguin Books
Porges, S. W. 2009a. The polyvagal theory: New insights into adaptive reactions of the autonomic nervous system. Cleveland Clinic Journal of Medicine, 76 (Suppl 2), S86–S90.
Porges, Stephen W., Dana, A., Deb. 2018. Clinical Applications of the Polyvagal Theory: The Emergence of Polyvagal-Informed Therapies. New York : Norton
Porges, Steven W. 1995. Orienting in a Defensive World: Mammalian Modifications of Our Evolutionary Heritage. Psychophysiology. 32(4):301-318.
Porges, Steven W. 1997. Emotion: An evolutionary by-product of the neural regulation of the autonomic nervous system. Annals of the New York Academy of Sciences, 807, 62–77.
Porges, Steven W. 2011. The Polyvagal Theory: Neurophysiological Foundations of Emotions, Attachment, Communication, and Self-regulation. New York: Norton
Rosenberg, Stanley. 2017. Accessing the Healing Power of the Vagus Nerve. Berkeley: North Atlantic Book.
Sciencedaily. 2008, 15 April. Decision-making May Be Surprisingly Unconscious Activity. Diakses 8 Agustus 2019, dari https://www.sciencedaily.com/releases/2008/04/080414145705.htm
Szegedy-Maszak, M. 2005. Mysteries of the Mind, Is your unconscious making your everyday decisions? U.S. News & World Report
Tebbetts, Charles. 1987. Self Hypnosis and Other Mind-Expanding Techniques. Glendade: Westwood Pulishing
Van der kolk, Bessel. 2014. The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma. New York: Penguin Books
Zimmermann, Manfred. The Nervous System in the Context of Information Theory. Human Physiology, 89, 166-173
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
Terapi dan penanganan masalah perilaku dan emosi, menggunakan pendekatan psikologis, sejatinya hanya terbagi menjadi dua: tanpa memroses akar masalah dan memroses akar masalah.
Pendekatan terapi tanpa memroses akar masalah, dilakukan antara lain dengan pemberian sugesti, teknik berbasis metafora, teknik-teknik NLP (neurolinguistic programming), konseling, berbagai pendekatan dalam psikoterapi (Wedding dan Corsini, 2014) seperti psikoanalisis, psikoterapi Alderian, Rogerian, terapi perilaku emotif rasional, terapi perilaku, terapi kognitif, psikoterapi eksistensial, terapi Gestalt, psikoterapi interpersonal, terapi keluarga, dan psikoterapi positif.
Terapi perilaku dan emosi dengan memroses akar masalah dilakukan dalam hipnoterapi, menggunakan teknik yang sesuai, diawali dengan upaya mencari dan menemukan akar masalah, salah satunya dengan teknik regresi. Ada banyak teknik regresi dalam hipnoterapi. Semua bertujuan menuntun klien mundur, menyusuri garis waktu di dalam pikirannya, untuk mencapai akar masalah. Teknik-teknik regresi ini dikelompokkan menjadi dua, berbasis afek dan nonafek.
Teknik regresi berbasis nonafek antara lain teknik “Buku Kehidupan”, “Layar Komputer”, “Perahu Kehidupan”, “Karpet Ajaib”, “Terowongan Waktu”, “Kalender”, “Bola Kristal”, “Kotak Masalah”, “Ideomotor Magic”, dan masih banyak lagi. Intinya, teknik ini tidak menggunakan afek atau emosi sebagai bahan bakar yang mendorong klien begerak mundur ke masa lalunya.
Teknik regresi berbasis afek atau dikenal dengan jembatan afek (affect bridge) adalah prosedur hipnotik yang digunakan untuk melacak dan menemukan awal mula kejadian yang memunculkan emosi yang dirasakan di masa kini. Jembatan afek didasarkan pada fakta psikologis bahwa emosi atau perasaan dapat mengaktifkan, mengarahkan, atau meningkatkan daya ingat ( Watkins, 1971;Watkins & Barabasz, 2008; Yapko, 2012)
Bagaimana Melakukan Regresi Affect Bridge?
Dalam regresi affect bridge, klien dituntun mundur, dari waktu kini ke kejadian di masa lalu, menggunakan afek sebagai bahan bakar regresi. Caranya, afek di masa kini, yang dirasakan klien dan berhubungan dengan masalah, ditingkat intensitasnya dan semua aspek dari pengalamannya secara hipnotik dihapus. Klien selanjutnya diminta mundur, ke pengalaman paling awal saat afek ini muncul atau tercipta untuk pertama kali dalam hidupnya, dan dilanjut dengan revivifikasi spontan.
Klien bergerak mundur menyusuri garis waktu dan mendarat di satu peristiwa masa lalu. Di sini terapis meminta klien menceritakan apa yang terjadi dan apa yang klien rasakan. Selanjutnya terapis melakukan validasi untuk mengungkap apakah benar kejadian ini adalah kejadian paling awal atau ISE (initial sensitizing event), atau kejadian lanjutan atau SSE (subsequent sensitizing event). Bila ternyata kejadian ini adalah ISE maka proses regresi berakhir di sini. Namun bila kejadian ini bukan ISE, tapi SSE, maka regresi dilanjutkan menggunakan afek yang muncul pada kejadian ini, hingga mencapai ISE.
Saat mencapai ISE, terapis membantu klien melakukan rekonstruksi kejadian ini, dengan tujuan membantu klien mendapat pemahaman baru dan pembelajaran. Akhir dari proses ini adalah terjadinya pengalaman emosional korektif (corrective emotional experience) pada diri klien.
Pada satu kejadian biasanya klien mengalami lebih dari satu afek. Di sini sangat dibutuhkan kejelian terapis dalam menentukan emosi atau afek yang digunakan sebagai bahan bakar regresi lanjutan. Kekeliruan dalam menentukan afek mengakibatkan regresi yang menyimpang dari jalur seharusnya untuk mencapai ISE.
Berdasar prosedur validasi akar masalah, dalam regresi affect bridge, terdapat dua kelompok hipnoterapis. Pertama, hipnoterapis yang langsung menerima bahwa kejadian yang terungkap melalui regresi sebagai akar masalah, tanpa melakukan validasi (single affect bridge regression). Dan kedua, hipnoterapis yang melakukan validasi untuk memastikan bahwa hasil regresi adalah benar kejadian paling awal atau initial sensitizing event(ISE). Bila melalui proses validasi diketahui bahwa kejadian yang terungkap bukan ISE, melainkan subsequent sensitizing event (SSE), terapis akan mengulang regresi hingga berhasil menemukan ISE (serial-affect bridge regression) (Gunawan, 2017). Dalam praktik klinis, agak langka dijumpai dalam sekali regresi langsung berhasil ditemukan ISE. Biasanya, ISE dicapai melalui satu atau beberapa SSE. Para hipnoterapis Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology (AWGI) menamakan proses sekali regresi langsung menemukan akar masalah sebagai jackpot.
Dalam praktik hipnoterapinya, para hipnoterapis AWGI menggunakan serial affect bridge regression, dan menemukan hal penting yang tidak dialami atau ditemukan oleh para hipnoterapis yang mempraktikkan single affect bridge regression atau yang hanya mengandalkan sugesti sebagai teknik intervensinya.
Proses menuju akar masalah, dalam regresi affect bridge, selalu melalui salah satu dari tiga cara: regresi tunggal afek tunggal (single regression single affect), regresi serial afek tunggal (serial regression single affect), dan regresi serial afek serial (serial regression serial affect).
Yang dimaksud dengan “regresi tunggal afek tunggal” adalah hanya ada satu regresi dengan satu afek dan langsung berhasil mencapai kejadian paling awal. Yang dimaksud “regresi serial afek tunggal” adalah terdapat lebih dari satu regresi, dimulai dengan regresi awal (initial regression) dengan afek tertentu, dan satu atau beberapa regresi lanjutan (subsequent regression) menggunakan afek yang sama atau serupa dengan afek pada regresi awal, hingga mencapai kejadian paling awal.
Yang dimaksud dengan “regresi serial afek serial” adalah terdapat lebih dari satu regresi, dimulai dengan regresi awal (initial regression) dengan afek tertentu, dan satu atau beberapa regresi lanjutan (subsequent regression), di mana minimal terjadi satu regresi lanjutan dengan afek yang berbeda dengan afek pada regresi awal, hingga mencapai kejadian paling awal.
Penelisikan lebih dalam pada tiga tipe regresi ini menunjukkan bahwa walau terdapat perbedaan afek yang mendasari regresi awal dan regresi lanjutan, proses regresi, bila dilakukan dengan tepat, akhirnya pasti berakhir pada kejadian paling awal yang menjadi asal muasal simtom yang klien alami.
Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti bagaimana tepatnya mekanisme di pikiran bawah sadar dalam menentukan jumlah kejadian yang menjadi penyebab munculnya simtom. Dari pengalaman praktik para hipnoterapis AWGI, dijumpai bahwa ada klien yang hanya dengan sekali regresi affect bridge bisa langsung mencapai kejadian paling awal atau akar masalah. Namun yang lebih sering terjadi adalah dibutuhkan beberapa regresi affect bridge untuk mencapai kejadian paling awal.
Hal lain yang juga ditemukan, namun juga belum dapat diketahui dengan pasti adalah bagaimana pikiran bawah sadar menentukan hanya dibutuhkan kejadian tunggal (sufficient condition) sebagai akar masalah, dan bagaimana pikiran bawah sadar menentukan dan menautkan beberapa kejadian (necessary condition) sehingga menjadi rangkaian kejadian penyebab munculnya simtom.
Terlepas dari mekanisme di atas, yang masih perlu ditelisik lebih jauh, dan ini adalah bagian dari penelitian yang terus dilakukan secara kolektif oleh para hipnoterapis AWGI dan anggota AHKI (Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia), satu hal yang sudah pasti adalah terdapat koridor regresi di pikiran bawah sadar yang menghubungkan masa kini dan masa lalu, berujung pada kejadian paling awal yang menjadi akar masalah.
(Sumber: adiwgunawan.com)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
Hipnoterapi klinis, salah satu pendekatan dalam psikoterapi, sangat efektif mengatasi beragam masalah yang berhubungan dengan perilaku, mental, dan emosi (Barios, 2009). Hipnoterapi klinis, bila dipraktikkan dengan benar, mengikuti protokol yang sahih, mampu membantu klien mengatasi masalah, dari pengalaman klinis kami, antara satu hingga maksimal empat sesi terapi.
Terkait keefektifan dan kecepatan hipnoterapi klinis mengatasi masalah hingga tuntas, dengan hasil terapi yang stabil hingga waktu lama, saya sengaja menghindari menggunakan kata permanen, ada tiga pertanyaan penting untuk dijawab. Pertama, “Apa yang membuat seseorang trauma, sementara yang lain mengalami hal sama, sama sekali tidak terpengaruh?” Kedua, “Apa yang terjadi di pikiran klien, khususnya pikiran bawah sadar, saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat dan hasil terapi yang stabil, bertahan untuk waktu lama?” Dan ketiga, “Apa yang sebenarnya terjadi di otak klien saat ia menjalani sesi hipnoterapi klinis sehingga bisa sembuh dengan cepat?”
Jawaban pertanyaan pertama sudah saya jelaskan di artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dan Memahami Trauma dan Penyembuhannya dari Perspektif Hipnoterapi Klinis dan Neurosains. Pertanyaan kedua juga telah saya jawab dengan jelas dan gamblang dalam banyak artikel yang telah dipublikasikan di AdiWGunawan.com. Jawaban untuk pertanyaan ketiga dijelaskan di artikel ini.
Dalam artikel Memahami Trauma dan Penyebabnya dijelaskan suatu kejadian untuk dapat terekam di otak sebagai memori traumatik butuh lima syarat. Pertama, harus ada kejadian yang menghasilkan emosi. Kedua, kejadian ini memiliki makna bagi individu. Ketiga, kondisi kimiawi otak pada saat kejadian mendukung. Keempat, individu merasa terperangkap, tidak bisa menghindar dari kejadian ini. Kelima, individu merasa tidak berdaya. Bila kelima syarat ini terpenuhi, individu yang mengalami kejadian itu mengalami trauma dengan segala akibat bawaannya.
Apa yang Terjadi di Otak?
Pengalaman traumatik, yang terekam sebagai memori, sejatinya terdiri atas minimal empat komponen. Pertama, emosi atau perasaan. Kedua, komponen kognitif pikiran sadar yaitu konten mental yang kita pikirkan atau perhatikan, kita sadari keberadaan dan maknanya. Ketiga, komponen kognitif pikiran bawah sadar yaitu konten mental yang muncul karena terpicu oleh faktor internal atau eksternal, tidak kita sadari keberadaannya, namun mengakibatkan gejala fisik dan emosi. Keempat, komponen somatosensori yaitu sensasi yang dirasakan di tubuh fisik seperti sakit, tegang, kesemutan, perubahan temperatur kulit, hipersensitif terhadap sentuhan atau cahaya, dan sensasi lainnya. Dari keempat komponen ini, komponen emosi berperan sebagai perekat yang menyatukan komponen-komponen lainnya.
Bila disederhanakan, memori traumatik hanya terdiri atas dua komponen utama, narasi kejadian dan emosi. Setiap kali seseorang mengingat kembali kejadian traumatik, yang terjadi adalah ia secara sadar memilih dan mengaktifkan satu memori spesifik, dari sekian banyak memori di pikiran bawah sadar, dan “menaikkan” data ini ke memori kerja pikiran sadarnya. Pada memori traumatik ini lekat pula emosi intens yang turut aktif saat memori diaktifkan. Emosi ini selanjutnya memengaruhi tubuh melalui jalur somatosensori.
Para peneliti awal trauma seperti Janet dan Freud menyatakan bahwa trauma membuat invididu, yang mengalaminya, mengalami fiksasi dan terkunci di masa lalu, dan dalam kasus tertentu menjadi obsesif dengan trauma. Janet mengamati perilaku dan perasaan para kliennya yang meliputi mimpi buruk, reaksi intens dan berlebih terhadap stimuli sederhana, rasa takut berlebih tanpa alasan jelas, dan kesedihan mendalam tanpa tahu apa penyebabnya. Mereka tersandera di masa lalu, tak berdaya untuk lepas dari situasi ini. Memori-memori kejadian ini tidak memudar atau hilang seiring waktu berjalan seperti memori pada umumnya, bahkan setelah puluhan tahun kemudian. Bagi para korban ini, masa lalu selalu hadir di masa sekarang (Van der Kolk, Weisaeth, dan van der Hart, 2007).
Mekanisme suatu kejadian disimpan dalam bentuk memori disebut konsolidasi. Konsolidasi adalah proses menstabilkan jejak memori setelah akuisisi awal. Konsolidasi kejadian bermuatan emosi intens terdiri atas dua tahap. Konsolidasi sinaptik di amigdala dan hipokampus yang terjadi dengan cepat dalam rentang waktu beberapa menit, melibatkan reseptor-reseptor glutamat, norepinefrin, kortisol, dan senyawa kimiawi lain. Selanjutnya, konsolidasi sistem terjadi saat memori ini menjadi independen, berdiri sendiri, lepas dari hipokampus, dalam rentang waktu beberapa minggu hingga bertahun-tahun kemudian. Memori-memori traumatik ini disimpan di korteks otak. Dan saat ini, proses ketiga, rekonsolidasi, sedang menjadi fokus penelitian, yaitu memori yang sebelumnya telah terkonsolidasi dapat dibuat labil lagi, melalui reaktivasi jejak memori. Pada kejadian yang bersifat traumatik, komponen emosi, konten sensori, dan konten kognitif terikat menjadi satu, menjadi pengalaman yang tak terlupakan.
Proses fundamental dalam pembentukan memori bergantung pada neurotransmiter glutamat dan reseptor-reseptornya. Glutamat adalah asam amino eksitator yang dibutuhkan untuk setiap pembelajaran baru dan menghubungkan materi baru dengan yang telah dipelajari sebelumnya (Rainine dan Ressler, 2009). Memori traumatik dapat digambarkan sebagai jalur neuron menghubungkan reseptor-reseptor glutamat yang tercipta saat individu mengalami kejadian traumatik. Saat jalur neuron ini teraktivasi ulang oleh pemicu, individu mengalami kembali kejadian seolah-olah baru terjadi (revivifikasi). Ini dinamakan konsolidasi sinaptik. Aktivasi ulang jalur sinaptik neuron yang dikonsolidasi oleh glutamat, pada saat mengingat kembali kejadian traumatik, membuat jalur ini rentan untuk diputus (Nader, Schafe, dan LeDoux, 2000).
Traumatisasi dari Perspektif Neurosains
Proses trauma berawal dari masuknya informasi, pengalaman atau kejadian yang dialami seseorang, melalui lima indra dan masuk ke otak untuk diproses lebih lanjut menggunakan dua jalur. Jalur pertama, informasi dari mata, telinga, kulit (sentuhan), dan lidah (pengecapan) masuk ke talamus. Talamus berperan sebagai kantor pos, mendistribusi informasi ke bagian otak yang sesuai untuk memrosesnya. Bila informasi yang masuk dipersepsi sebagai ancaman maka, dari talamus, ia langsung dikirim ke amigdala. Bila informasi awal dipersepsi bukan sebagai ancaman, ia akan dikirim ke korteks untuk dianalisis. Namun bila hasil analisis korteks menyatakan bahaya, informasi ini langsung dikirim ke amigdala melalui hipokampus.
Kedua, informasi dari indra penciuman, hidung, tidak melalui talamus, namun langsung dikirim ke accessory basal nucleus (AB) amigdala, bila informasi dipersepsi sebagai ancaman, dan ke korteks untuk dianalisis, bila tidak dipersepsi sebagai ancaman. Namun bila korteks menyatakan ini adalah ancaman, informasi langsung dikirim ke amigdala, melalui hipokampus, untuk ditindaklanjuti. Bau, stimulus yang dibawa oleh angin, digunakan sebagai informasi akan keberadaan predator dan ini butuh respon cepat sehingga tidak melewati talamus.
Amigdala, khususnya bagian kanan, berperan besar dalam mengendalikan respon emosi dan fisiologis, terdiri dari beberapa wilayah yang disebutnuclei. Ada lima nuclei: lateral nucleus (LA), basolateral nucleus (BLA), basomedial nucleus (BM), central nucleus (CE), dan accessory basal nucleus (AB). LA, BLA, dan AB membentuk kesatuan yang disebut basolateral complex atau BLC. BLC adalah tempat di mana informasi berbahaya atau mengancam keselamatan hidup memulai proses aktivasi tindakan dan emosi (Rainine dan Ressler, 2009).
Bagian korteks yang berperan melakukan evaluasi kondisi bahaya dan berpengaruh dalam proses traumatisasi adalah medial prefrontal cortex(mPFC). Ia memiliki hubungan timbal balik dengan amigdala. Saat BLC amigdala pertama kali merasakan emosi takut, ia akan menghambat dan mencegah mPFC agar tidak mematikan respon takut. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan tubuh dan pikiran untuk bersiap lari (flight) atau lawan (fight). Bila setelah dilakukan evaluasi oleh mPFC ternyata ancaman ini tidak benar atau signifikan maka mPFC segera mengirim sinyal inhibisi (hambatan) ke amigdala dan menekan respon takut tersebut. Dalam kondisi ketakutan atau kemarahan ekstrim, atau kondisi stres kronis, sinyal inhibisi yang dikirim oleh mPFC ini menjadi sangat lemah dan tidak lagi dapat memengaruhi amigdala.
BLC amigdala adalah tempat memroses komponen emosi dari memori, namun ia bukan tempat memori. BLC mengaktifkan CE dan wilayah otak lainnya, termasuk hipokampus dan medial prefrontal korteks (mPFC). BLC juga mengirim sinyal ke hipokampus (Strage dan Dolan, 2004), struktur penting di otak untuk proses encoding dan pengambilan kembali komponen kognitif. BLC adalah tempat di mana komponen sensori dan konteks kejadian memulai proses penggabungan/asosiasi.
Respon emosi terhadap ancaman bergantung pada BLC mengaktifkan bagian amigdala lainnya, central nucleus (CE). CE mengaktifkan dan mengkoordinir respon fisik (Tanimoto dkk, 2003) terhadap input sensori yang mengendalikan proses somatik, endokrin, dan autonomik. CE mengirim sinyal ke wilayah yang terlibat dalam fight atau flight, evaluasi bahaya, motivasi bertindak, kewaspadaan, orientasi, freeze (tubuh kaku), memori, dan persepsi sakit (Akmaev, Kalmillina, dan Sharipova, 2004).
Trauma dan Sakit Fisik
Rasa sakit fisik yang terjadi saat kejadian traumatik disimpan di memori otak. Hal ini pertama kali dijelaskan di akhir tahun 1800an oleh Charcot, Janet, Freud, dan Breuer yang meyakini bahwa stimuli dari pikiran bawah sadar dapat menyebabkan sakit di fisik dan simtom somatik lainnya. Mereka percaya bawah rasa sakit terekam bersama trauma psikologis namun terpisah dari kesadaran normal. Dengan demikian, rasa sakit hanya bisa dihilangkan bila pengalaman traumatik “dibawa naik” ke kondisi sadar normal sehingga diketahui dan diproses tuntas.
Sarno (2006) menyatakan simtom fisik muncul sebagai upaya mencegah kemarahan dan berbagai emosi negatif lain yang terekam di pikiran bawah sadar naik ke permukaan dan disadari individu. Ketidakmampuan mengekspresi emosi negatif intens bisa berasal dari rasa takut akan hukuman, perasaan tidak berdaya yang dipelajari, kebutuhan akan kendali, dan kebutuhan untuk terlihat atau tampil sebagai “orang baik”.
Bila dicermati, bagian tubuh yang sering sakit adalah punggung, leher, kepala, dan tungkai atas. Banyak juga yang mengatup rahang dan menggerinda giginya. Ini semua adalah wilayah otot yang digunakan saat marah. Sakit leher, punggung, dan sindroma sendi rahang (temporomandibular) kerap dijumpai dalam praktik klinis.
Saat seseorang mengalami trauma, misalnya tabrakan dengan mobil lain, ia tidak merasakan sakit fisik, walau sebenarnya tubuhnya, misal kepala, mengalami benturan atau luka. Ini adalah pengaruh CE amigdala. Pada CE amigdala terdapat pusat sakit yang disebut nociceptive amigdala. Di sini sinyal sakit yang berasal dari bagian otak lainnya dikelola. Pada saat invididu mengalami flight (lari), fight (lawan), atau marah, terjadi peningkatkan norepinefrin (NE) yang menghambat kerja nociceptive CE sehingga individu tidak bisa merasakan sakit.
Kejadian -> BLC -> NE meningkat -> nociceptive CE -> memengaruhi kesadaran -> sakit tidak dirasakan (tapi terekam di PBS)
Komponen somatik (fisik) dari trauma bisa berupa rasa sakit fisik, perasan terbakar, perubahan suhu tubuh, lemas tidak bertenaga, dan beragam simtom lain yang muncul di fisik.
Setelah kejadian kecelakaan dan individu mengingat atau melihat mobil yang sama atau serupa dengan mobil yang terlibat kecelakaan dengannya dulu, tiba-tiba muncul rasa sakit di kepala. Ini terjadi karena mobil, yang ia lihat atau ingat, menstimulasi BLC –> CE -> Sakit. Mobil tidak berbahaya atau mengancam sehingga batang otak tidak memproduksi norepinefrin dan individu merasa sakit, yang terekam di memorinya.
Traumatisasi dan Detraumatisasi dari Perspektif Neurosains
Merujuk pada uraian di atas maka proses traumatisasi, masuknya informasi ke otak hingga terekam sebagai memori traumatik, berlangsung sebagai berikut:
Informasi -> talamus -> BLC amigdala -> muncul emosi takut atau marah defensif -> noerepinefrin (NE) dan kortisol di amigdala meningkat -> Inhibisi mPFC -> informasi masuk ke amigdala -> lima syarat trauma terpenuhi -> reseptor glutamat di BLC amigdala terpotensiasi -> BLC mengikat komponen-komponen kejadian -> memori traumatik tercipta dan terekam di otak.
Potensiasi adalah meningkatnya jumlah dan kekuatan respon pascasinaptik yang diakibatkan oleh glutamat. Sinapsis, titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain, yang berhubungan dengan memori traumatik, yang ditemukan di BLC memiliki jumlah reseptor glutamat lebih banyak dari kondisi normal. Terapi paparan membuka reseptor-reseptor glutamat ini dan membuat jejak memori menjadi labil dan mudah dinetralisir (Rasolkhani-Kalhorn dan Harper, 2006).
Memori traumatik diaktifkan kembali oleh reseptor gulatamat overpotensiasi, alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolproprioninc (AMPA) (Harper dkk, 2009). Depotensiasi terjadi melalui reseptor-reseptor glutamat ini, bisa menggunakan beragam teknik salah satunya hipnoterapi klinis, menghilangkan reseptor aktif AMPA, mencegah neuron menumbuhkembangkan memori traumatik dan komponen-komponennya (Ronald, 2014)
Mengacu pada model di atas, untuk dapat menetralisir atau menyembuhkan memori traumatik, langkah pertama adalah mengaktifkan kembali memori ini, secara sadar atau sengaja, dengan cara mengingat kembali kejadiannya. Konten memori yang telah aktif ini akan masuk ke memori kerja dan selanjutnya mengaktifkan BLC amigdala. Aktivasi ini berhubungan dengan pelepasan glutamat di jalur khusus neuron BLC saat kejadian traumatik terekam (encoding) di memori otak. Proses penyembuhan trauma adalah dengan decoding, yaitu membalik proses encoding sehingga mencegah BLC mengirim sinyal ke CE, yang akan mengaktifkan locus coeruleus, di batang otak, menghasilkan norepinefrin untuk menyiapkan pikiran menghadapi kondisi genting, dan wilayah otak lain di mana komponen memori lainnya tersimpan.
Mengaktifkan memori adalah satu hal. Langkah selanjutnya, yang menjadi kunci penyembuhan trauma adalah menetralisir emosi pada kejadian paling awal. Tanpa menghilangkan emosi, yang adalah salah satu komponen penting trauma, klien akan kambuh dan simtom muncul kembali bisa dalam bentuk yang sama atau lain (Sarno, 2006).
Simtom trauma sejatinya tidak disebabkan oleh kejadian pemicu. Simtom bersumber dari residu energi yang terperangkap dalam sistem saraf dan sangat menganggu keseimbangan serta kesejahteraan tubuh dan pikiran. Residu ini terjadi karena individu tidak dapat menyelesaikan proses melewati atau keluar dari kondisi tak berdaya saat mengalami kejadian (Levine, 1997).
Dari dua pendapat di atas, Sarno (2006) dan Levine (1997), jelas sekali bahwa dalam proses detraumatisasi sangat penting menetralisir emosi yang lekat pada memori. Dan memori yang perlu diaktifkan, agar proses detraumatisasi dapat tuntas dilakukan, adalah memori paling awal (Ronald, 2014).
Proses detraumatisasi dengan hipnoterapsi klinis dari perspektif neurosains:
Aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik -> memori kerja -> hipokampus -> aktivasi reseptor BLC glutamat di amigdala -> restrukturisasi kejadian dengan hipnoterapsi klinis -> serotonin meningkat -> GABA meningkat -> depotensiasi reseptor glutamat di BLC -> keluaran amigdala menurun -> komponen emosi pada kejadian dinetralisir -> Trauma sembuh.
Kadar serotonin, sebagai neuromodulator, berkaitan erat dengan ketahanan seseorang terhadap trauma. Bila kadar serotonin meningkat, daya tahan terhadap trauma juga meningkat. Demikian pula sebaliknya. Bila kadarnya rendah, seseorang menjadi rentan terhadap trauma. Sementara GABA (gamma-aminobutyric acid) adalah asam amino inhibitor (penghambat) neuron lain dan bekerja berlawanan dengan glutamat.
Proses Hipnoterapi Klinis
Dari uraian di atas tampak bahwa proses hipnoterapi klinis memengaruhi dan mengakibatkan terjadinya depotensiasi reseptor glutamat di BLC. Tapi, bagaimana caranya?
Dalam hipnoterapi klinis, terapis membimbing klien untuk melakukan aktivasi komponen emosi dari kejadian traumatik dengan meminta klien mengingat dan merasakan kembali kejadian beserta emosinya. Informasi ini masuk ke memori kerja untuk diproses. Selanjutnya terapis menuntun klien menemukan awal mula kejadian pertama yang menjadi akar masalah klien, menggunakan teknik yang sesuai. Kejadian paling awal disebutinitial sensitizing event (ISE). Di ISE akan dilakukan pengurasan emosi, bila terdapat emosi intens, hingga benar-benar tuntas, dan dilanjutkan dengan restrukturisasi kejadian dengan teknik partial atau complete rewriting history (Gunawan, 2017).
Bila rangkaian kejadian mengikuti alur normal maka saat klien mengalami revivifikasi, lima komponen trauma kembali muncul: kejadian, makna, kondisi senyawa kimiawi otak, perasaan terperangkap, dan perasaan tidak berdaya. Dalam proses hipnoterapi klinis dilakukan intervensi pada kelima komponen ini.
Klien mengalami kejadian yang sama namun dengan beberapa perubahan pada komponen atau alur cerita. Klien dituntun untuk memberi makna baru pada kejadian yang ia alami. Senyawa kimiawi otak tentu juga berbeda karena klien menjalani proses hipnoterapi dalam kondisi hipnosis dalam. Klien juga disiapkan untuk mengalami kejadian, dengan teknik tertentu skenario diatur sedemikian rupa sehingga ia tahu di depan apa yang akan terjadi, dan ini membuat klien tidak merasa terperangkap dalam situasi itu. Dan yang terutama, dalam diri klien tidak muncul perasaan tidak berdaya karena ego strength-nya telah mengalami penguatan.
Bila trauma telah berhasil diatasi, klien menjadi tenang, rileks, dan saat diminta mengingat kembali kejadiannya, bisa terjadi salah satu dari lima kemungkinan berikut:
(Sumber: adiwgunawan.com)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
Penyakit autoimun hingga saat ini masih menjadi momok karena penyebabnya belum diketahui dan sulit disembuhkan. Yang kita ketahui adalah penyakit ini terjadi karena imun sistem yang seharusnya berfungsi mengenali dan menghancurkan benda asing, yang masuk ke dalam tubuh, yang dapat menyebabkan sakit seperti bakteri, virus, atau jamur patogen, ternyata menyerang sel atau jaringan tubuh sehat. Serangan ini mengakibatkan peradangan dan penyakit autoimun. Apa yang memicu imun sistem hingga menyerang sel atau jaringan tubuh hingga kini masih belum diketahui secara pasti. Dalam literatur disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang besar kemungkinan menyebabkan terjadi penyakit autoimun yaitu terpapar bahan atau zat tertentu seperti merkuri, faktor keturunan, dan perubahan hormon.
Berikut ini adalah beberapa penyakit yang teridentifikasi melibatkan mekanisme autoimun: acute rheumatic fever, Addison’s disease, ankylosing spondylitis, antiphospholipid syndrome, autoimmune alopecia, autoimmune hemolytic anemia, autoimmune polyglandular syndrome, autoimmune thrombocytopenic purpura, Behcet’s syndrome, celiac disease atau sprue, chronic fatigue immune dysfunction syndrome, dermatitis herpetiformis, dermatomyositis, diabetes mellitus type I, diffuse scleroderma, fibromyalgia syndrome, Goodpasture’s syndrome, Graves’ disease, Guillain-Barre syndrome, Hashimoto’s thyroiditis, Henoch-Schonlein purpura, autoimmune hepatitis, immune-mediated infertility, insulin-resistant diabetes mellitus, lupus erythematosus, microscopic polyangiitis, multiple sclerosis, myasthenia gravis, pemphigus foliaceus, pemphigus vulgaris, pernicious anemia, polyarteritis nodosa, polymyalgia rheumatica, polymyositis/dermatomyositis, psoriasis, psoriatic arthritis, Reiter’syndrome, relapsing polychondritis, rheumatoid arthritis, Sjogren’s syndrome, stiff-man syndrome, sympathetic ophthalmia, systemic lupus erythematosus, systemic necrotizing vasculitis, vitiligo, and Wegener’s granulomatosis.
Dari sekian banyak penyakit autoimun di atas, yang paling sering dijumpai adalah rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus, diabetes tipe 1, multiple sclerosis (MS), Graves’ disease, dan psoriasis.
Penyakit autoimun memiliki ciri khas berupa pola hilang-kambuh. Saat penyakit autoimun pertama kali dialami, banyak penderita mengalami remisi spontan dan sakitnya reda atau hilang dengan sendirinya. Tujuan dari semua upaya pengobatan saat ini adalah untuk menyingkat fase akut dan mengurangi intensitas inflamasi dan simtom yang muncul pada fase akut penyakit ini. Tujuan pertama pengobatan adalah untuk secepat mungkin membawa klien masuk ke tahap remisi sepenuhnya. Tujuan kedua pengobatan adalah untuk mempertahankan pasien pada kondisi remisi selama mungkin, idealnya seumur hidup mereka.
Informasi penting dan menarik dari bidang psikoneuroimunologi sangat layak diperhatikan untuk memahami penyakit autoimun. Menurut psikoneuroimunologi, sistem saraf pusat dan imun sistem saling berkomunikasi secara teratur dan rutin. Di tahun 1970an, psikolog Robert Ader dan rekan sejawatnya, ahli imunologi Nicholas Cohen, keduanya dari University of Rochester School of Medicine, melakukan percobaan menggunakan tikus, berhasil menunjukkan bahwa respon imun sistem dapat dikondisikan (Ader dan Cohen, 1975). Selanjutnya, Ader dan Cohen (1981, 1982, 1985) memelajari sekelompok tikus yang mengalami lupus erythematosus. Ader mampu mengkondisikan tikus-tikus ini dan menurunkan keagresifan imun sistem mereka terhadap sel-sel tubuhnya sendiri, sehingga terjadi pengurangan inflamasi akut lupus secara signifikan.
Beberapa tahun kemudian, Olness dan Ader (1992) menggunakan model yang sama, berhasil membantu seorang anak perempuan penderita lupus, mengkondisikan imun sistemnya sehingga mengurangi jumlah kemoterapi yang semula direncanakan 12 kali turun menjadi hanya 6 kali, mencapai hasil pengobatan yang sangat baik dan bertahan lebih dari lima tahun.
Ader (2000) menyimpulkan bahwa sistem saraf pusat memengaruhi fungsi imun sistem. Sementara Dantzer (2001) dan Volmer-Conna (2001) menyatakan perilaku sakit yang berhubungan dengan infeksi akut sebenarnya adalah hasil dari komunikasi antara imun sistem dan otak, yang sebenarnya bersifat adaptif untuk kesembuhan dan keselamatan individu.
Otak terhubung dengan imun sistem melalui jalur limbic-hypnothalamic-pituitary. Otak memengaruhi imun sistem dengan mengeluarkan neurotransmitter dan hormon yang mengaktifkan reseptor spesifik pada permukaan limfosit T dan B. Hal ini mengaktifkan mekanisme intraseluler tertentu yang dapat menekan atau meningkatkan kinerja imun sistem. Molekul spesifik yang disekresi oleh sistem saraf pusat untuk memengaruhi imun sistem disebut neuroimmunotransmitter.Imun sistem dan sistem saraf adalah satu kesatuan dengan tujuan bersama untuk menjaga dan memelihara identitas diri organisme hidup (Booth dan Ashbridge, 1993).
Membantu Penderita Autoimun dengan Hipnoterapi
Penelitian pengaruh pikiran dan emosi terhadap imun sistem diawali oleh George F. Solomon dari Stanford University, orang Amerika pertama yang memelajari interaksi antara pikiran dan imun sistem. Solomon di tahun 1960an mengobati pasien-pasien penderita rheumatoid arthritis dan ia mengamati para pasien ini kambuh saat mengalami stres. Ia berhipotesis bahwa imun sistem, melalui mekanisme yang belum diketahui saat itu, terpicu untuk menyerang sendi-sendi para pasien ini pada saat mereka mengalami stres. Ia selanjutnya mengajukan hipotesis bahwa imun sistem pasti sangat sensitif terhadap stres dan responsif pada emosi dan pikiran (Solomon dan Moss, 1964; Solomon, Levine, dan Kraft, 1968; Solomon, Amkraut, dan Kasper, 1974; Solomon,1981).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa imun sistem dipengaruhi oleh emosi yang dialami seseorang, baik emosi positif maupun negatif. Pengalaman hidup yang melibatkan emosi negatif seperti kesedihan mendalam, marah, terluka, persaan bersalah, dan depresi memengaruhi secara negatif dan menekan kinerja imum sistem dalam melawan bateri, virus, atau jamur pagoten (Ipsa, Devi, dan Ravindra, 2014; Kiecolt-Glaser dan Glaser, 2002). Sementara hal-hal seperti optimisme, kegembiraan, kebahagiaan, tawa-canda, nutrisi yang sesuai, cukup tidur, dan manajemen stres yan baik efektif meningkatkan fungsi dan kinerja imun sistem seperti yang dinyatakan oleh Cousins (1976), Rossi (1993), Dreher (1995), Ravics (2000), Carhnetski dan Brenman (2001), Klasing (2007), dan Lange, Dimitrov dan Born (2010).
Earnest Rossi (1986, 1990, 1993; Rossi dan Cheek, 1998) melaporkan bahwa pikiran dan imun sistem berkomunikasi melalui beragam mekanisme, dan penggunaan hipnosis dapat membantu memulihkan kondisi penderita penyakit autoimun. Menurut Rossi, saat penderita masuk ke kondisi hipnosis, mereka dapat berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar dan berbicara langsung kepada jaringan dan sel-sel tubuh melalui bahasa gambaran mental yang melibatkan ke lima indra.
Penurunan tingkat keparahan serangan akut penyakit autoimun dan peningkatan remisi dapat dicapai melalui hipnoterapi, yaitu dengan dengan mengurangi konflik emosi intrapsikis yang berhubungan dengan masalah kesehatan atau sakit (Cheek dan LeCron,1968).
Ada banyak teknik hipnoterapi hipnoterapi yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan klien. Teknik apapun yang mampu melakukan hal ini, juga dapat memberi kontribusi positif bagi regulasi positif imun sistem (Bowers dan Kelly, 1979). Sementara menurut Achterberg, McGraw dan Lawis (1981), pelatihan relaksasi dan praktik teratur relaksasi otot memiliki efek profilaktik dalam menunda dan besar kemungkinan bisa mencegah kambuhnya simtom rheumatoid arthritis.
Penelitian yang dilakukan Laidlaw, Booth, dan Large (1996) menunjukkan bahwa 32 dari 38 partisipan penelitian mampu mengurangi ukuran kulit yang memerah setelah menerima sugesti. Kiecolt-Glaser dan rekan sejawatnya (Kiecolt-Glaser, Marucha, Atkinson dan Glaser, 2001) menyatakan hipnosis dapat digunakan sebagai modulator disregulasi selular imun sistem. Brigham-Davis (1994) melaporkan bahwa gambaran mental dapat digunakan dan memberi efek terapeutik pada penderita systemic lupus erythematosus, scleroderma, reumathoid arthritis, multiple sclerosis, amyotrophic lateral sclerosis, chronic fatique, immune dysfuntion syndrome, fibromyalgia, dan myasthenia gravis.Strategi yang digunakan Brigham-Davis yaitu membantu klien memandang imun sistem sebagai sahabat yang mengasihi dan melindungi tubuh mereka. Brigham-Davis menekankan pentingnya keseimbangan antara sel T helper dan Tsuppressor agar imun sistem dapat berfungsi optimal.
Rasa sakit dan tidak nyaman yang disebabkan oleh penyakit autoimun juga dapat dikurangi dengan hipnoterapi dengan hasil yang baik sesuai laporan dari Van Pelt (1961), Millikin (1964), Crasilneck dan Hall (1975), Smith dan Balaban (1983) dan Torem (2007).
Berikut ini adalah teknik yang bisa digunakan dalam hipnoterapi untuk membantu penderita autoimun: relaksasi pikiran dan tubuh (mind-body relaxation), pemberian sugesti, penguatan ego (ego strengthening), ego state therapy, pemberi label baru (relabeling), pemaknaan ulang (reframing), restrukturisasi, “kembali dari masa depan”, dan metafora terapeutik dengan gambaran mental simbolik terbimbing (Torem, 1987, 1992a, 1992b, 1993, 2007).
Penyakit Autoimun yang Pernah Kami Tangani
Dari perspektif ilmu pikiran, sangat erat keterkaitan antara pikiran, emosi, dan tubuh. Emosi, menurut hukum pikiran, selalu butuh ekspresi. Ekspresi ini bisa ke arah luar dalam bentuk ucapan atau tindakan. Atau bila emosi direpresi, tidak bisa keluar, maka ia akan diekspresi melalui organ, dalam bentuk sakit fisik.
Bila sampai terjadi sakit fisik karena ekspresi emosi yang direpresi maka solusinya adalah mengeluarkan emosi ini dari sistem psikis, mengekspresikannya ke luar, dengan teknik atau cara yang tepat dan aman, sehingga tidak lagi mengganggu kesehatan.
Kami pernah menangani klien penderita myasthenia gravis, fibromyalgia, psoriasis, ankylosing spondylitis ,dan lupus erythematosus. Walau gejala penyakit autoimun ini berbeda satu dengan yang lain, secara teknis terapi sebenarnya sama. Penyakit autoimun, dalam pemahaman kami, hipnoterapi klinis AWGI, adalah simtom yang diungkap oleh pikiran bawah sadar (PBS) dalam upaya menyampaikan pesan spesifik ke pikiran sadar. Akar masalah simtom ini, antara lain, bisa karena PBS menghukum individu atas kesalahan yang individu lakukan, bisa karena emosi negatif yang direpresi hingga akhirnya menumpuk di PBS dan diekspresikan melalui organ atau fisik, bisa karena perasaan bersalah, sugesti atau imprint dari figur otoritas, identifikasi, atausecondary gain.
Pada kasus myasthenia gravis, PBS klien memunculkan simtom dengan tujuan agar suami memberi perhatian pada klien. Rupanya klien merasa kurang mendapat perhatian dari suaminya. Dan yang menarik adalah saat terapis bertanya pada PBS klien dari mana PBS mendapat ide untuk memunculkanmyasthenia gravis dan mengapa bukan sakit lain, dengan lugas PBS menjawab bahwa ide ini ia dapat saat klien melakukan pemeriksaan darah di laboratorium. Saat itu klien membaca brosur tentang myasthenia gravis. Dan PBS klien mendapat ide untuk memunculkan simtom ini dalam diri klien agar suami lebih sayang dan perhatian.
Melalui proses hipnoterapi, terapis melakukan edukasi pada PBS klien dan akhirnya PBS setuju untuk menghilangkan simtom ini dan hingga saat ini klien terbebas dari simtom myasthenia gravis.
Apakah klien sembuh? Kami, hipnoterapis klinis, tidak dalam posisi menyatakan demikian, karena ini adalah ranah medis. Yang bisa menentukan klien sembuh atau tidak adalah dokter. Kami hanya membantu menangani emosi atau program pikiran yang menyebabkan munculnya simtom. Dalam penanganan sakit fisik, prinsip yang kami, hipnoterapis AWGI, pegang teguh adalah hipnoterapi adalah terapi komplementer. Yang utama selalu adalah pengobatan yang dilakukan oleh dokter.
(Sumber: adiwgunawan.com)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
Teori yang berkembang mengenai sakit mental menyatakan bahwa sebagian besar sakit mental disebabkan oleh faktor genetik dan cacat biologis. Ada dua komponen utama yang menyebabkan seseorang bermasalah yaitu faktor biologis dan pengasuhan. Selama ini fokus lebih banyak diberikan untuk menemukan faktor biologis yang mengakibatkan sakit mental. Bremner (2002) menyatakan hal menarik yang sangat perlu disimak: Tiga puluh tahun sejak dimulainya revolusi biologis dalam psikiatri, sampai saat ini masih belum ditemukan gen skizofrenia atau mania.
Hasil penelitian mutakhir menunjukkan data dan temuan penting yang sangat perlu kita cermati dengan serius. Berbagai penelitian ini mengemukakan adanya keterhubungan yang erat dan signifikan antara trauma masa kecil, gangguan atau kerusakan pada wilayah otak tertentu, dan gangguan mental.
Di awal kehidupan otak manusia sangat sensitif dan mudah dipengaruhi oleh pengalaman baik yang positif (pengasuhan yang sehat) dan pengalaman negatif (kekerasan dan pengabaian). Trauma berulang pada anak berakibat sangat buruk terhadap kemampuan anak dalam berpikir, merasa, berelasi dan berfungsi baik di masa sekarang maupun di masa mendatang. Dari hasil penelitian diketahui bahwa semakin banyak trauma yang dialami anak semakin besar kemungkinan mereka mengalami sakit mental di kemudian hari.
Perkembangan dan pertumbuhan otak anak dipengaruhi oleh interaksi antara orangtua dan anak. Siegel (1999) mengatakan bahwa pikiran manusia berkembang melalui pola-pola dalam aliran energi dan informasi di dalam otak (anak) dan di antara otak (orangtua dan anak).
Schore (1994) menyatakan pentingnya relasi antara orangtua / pengasuh utama dan anak dalam konteks mengendalikan, menenangkan, dan memengaruhi secara positif kondisi emosi bayi/anak di masa kritis pertumbuhan mereka sampai saat anak mampu mengendalikan diri sendiri.
Masih menurut Schore bila relasi ini gagal, orangtua atau pengasuh tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, dalam konteks mendukung regulasi emosi anak, maka akan berakibat perkembangan otak dan psikis yang buruk dan menjadi sumber berbagai masalah gangguan mental di masa mendatang.
Sejak tahun 1980 hingga saat ini terdapat lebih dari tiga ratus studi klinis yang menunjukkan hubungan erat antara trauma masa kecil yang berulang dan penyakit mental yang muncul kemudian – seringkali puluhan tahun kemudian.
Berdasar hasil penelitian mendalam sejak tahun 1991 para peneliti telah menemukan hubungan antara trauma masa kecil dan kondisi otak abnormal. Trauma masa kecil menyebabkan kerusakan otak dan selanjutnya mengakibatkan sakit mental.
Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang sehat belajar menjadi tenang dan mencerap pola perilaku kondusif yang ditunjukkan oleh pengasuhnya. Situasi lingkungan yang mendukung ini sangat baik untuk perkembangan otak dan sistem saraf sehingga mampu mngatasi kondisi stres normal yang biasa dialami anak.
Saat anak bertemu dengan situasi yang menimbulkan stres, sistem saraf simpatiknya secara otomatis mengaktifkan respon lawan atau lari. Saat stres berhasil ditangani dengan baik, otak yang berkembang optimal akan mengembalikan anak ke kondisi tenang dan rileks.
Namun bila anak berulang kali mengalami kekerasan (abuse) baik secara fisik atau psikis, dan pengabaian (neglect), otak dan sistem sarafnya akan mengalami gangguan dan kerusakan hingga taraf tertentu. Akumulasi data dari penelitian terkini menunjukkan bahwa trauma berulang yang dialami bayi atau anak kecil mengakibatkan kerusakan pada pre-frontal cortex (bagian otak yang melakukan fungsi eksekutif seperti berpikir, fokus, menimbang, kendali perilaku dan menenangkan diri), corpus callosum (kumpulan serat penghubung kedua hemisfir otak), hippocampus (bagian otak yang menangani pembelajaran, memori, dan keseimbangan emosi), amygdala (bagianotak yang menangani pemrosesan dan keseimbangan emosi), cerebellar vermis (membantu menenangkan sistem limbik yang terlalu aktif), HPA axis (poros hypothalamus-pituitary-adrenal, yang merupakan sistem hormon utama tubuh), sistem serotonin/dopamine/GABA, dan sistem saraf simpatik.
Selain mengakibatkan gangguan dan kerusakan otak, trauma masa kecil yang berulang dapat mengganggu sistem hormon dan senyawa kimiawi otak (neurotransmitter). Hingga saat ini terdapat tujuh belas penelitian yang dilakukan pada lebih dari 1.375 anak yang menunjukkan kerusakan pada fungsi HPA axis mereka akibat trauma masa kecil.
Efek lain yang diakibatkan oleh trauma masa kecil adalah berkurangnya fungsi saraf bertahun kemudian, berkurangnya kecakapan verbal dan performa, dan juga IQ, berkurangnya perkembangan mental (personal, sosial, dan motor), EEG abnormal, kejang, depresi, dan penyalahgunaan zat (substance abuse).
Trauma yang biasa dialami anak di masa kecil dan berlanjut hingga masa remaja yang berakibat sangat buruk terhadap masa depannya, antara lain:
Saat anak mengalami trauma dan kondisi emosi negatif dan tidak ada orangtua atau pengasuh yang mendukung dan menenangkannya maka kondisi ini memengaruhi bagaimana jaringan di otaknya terbentuk.
Anak ADD/ADHD tidak memiliki kontrol diri yang baik karena wilayah otak sebelah kiri depan (prefrontal cortex), yang berfungsi sebagai "rem" dan pengendali tidak bekerja (optimal) karena trauma.
Depresi dan Atrofi Otak
Para peneliti telah menemukan ketidaknormalan pada struktur, senyawa kimiawi, dan fungsi otak para penderita beberapa jenis gangguan mental seperti depresi, adiksi alkohol, dan skizofrenia. Dengan menggunakan teknologi terkini seperti MRI (magnetic resonance imaging), PET (positron emission tomography), dan spectroscopy para peneliti independen mengamati beragam kelompok orang yang mengalami depresi dan menemukan atrofi signifikan pada wilayah otak tertentu.
Wilayah otak yang mengalami atrofi (berkurang dalam ukuran atau volume) meliputi: frontal lobes, orbital frontal lobes, subgenual frontal lobes, caudate nucleus, hippocampus, dan amygdala.
Wilayah-wilayah otak yang dijelaskan di atas semuanya saling terhubung dan terlibat dalam respon stres Stres kronis mengakibatkan level cortisol meningkat signifikan dan mengakibatkan kerusakan pada hippocampus, memori verbal, dan kemampuan berpikir.
Informasi dan temuan ini menunjukkan bahwa atrofi pada wilayah otak yang spesifik secara signifikan berhubungan dengan atau mungkin bahkan sebagai penyebab depresi.
Dalam beberapa penelitian secara khusus dilakukan penelusuran dengan meneliti riwayat hidup subjek penelitian dan ditemukan adanya hubungan yang kuat antara trauma masa kecil dan atrofi otak dan depresi.
(Sumber: adiwgunawan.com)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
Fobia, menurut American Psychiatric Association, adalah rasa takut irasional dan berlebih terhadap suatu objek atau situasi. Ada sangat banyak fobia. Seiring perkembangan jaman, muncul fobia-fobia baru seperti nomofobia atau ketakutan bila tidak memiliki akses atau kesempatan menggunakan telepon genggam.
Fobia dikategorikan sebagai gangguan kecemasan karena rasa cemas adalah emosi paling dominan yang dirasakan penderitanya. Rasa cemas biasanya berlanjut menjadi rasa takut, yang bila tidak ditangani dengan benar bisa berubah menjadi serangan panik. Adapun simtom yang berhubungan dengan fobia meliputi antara lain sesak napas, mual, pusing, gemetar, detak jantung meningkat, pandangan menjadi kabur, tubuh menjadi dingin, atau berkeringat.
Penyebab Fobia
Saat bayi lahir, ia hanya punya dua rasa takut: takut suara keras dan takut jatuh. Dengan demikian, takut-takut lainya ia pelajari dari lingkungan dalam proses tumbuh kembangnya, termasuk fobia.
Setiap fobia pasti memiliki kejadian paling awal yang membuat anak menjadi sensitif terhadap sesuatu. Kejadian paling awal ini disebut ISE atauinitial sensitizing event. Selanjutnya anak akan mengalami satu atau beberapa kejadian lanjutan yang disebut dengan SSE atau subsequent sensitizing event hingga akhirnya muncul simtom berupa rasa takut berlebih. Walau jarang terjadi, ISE bisa langsung menyebabkan terjadinya fobia dalam diri seseorang.
Dari pengalaman klinis dan temuan di ruang praktik, seringkali ISE adalah kejadian sepele. Saya pernah membantu seorang klien fobia kecoak. Saat dilakukan hipnoanalisis untuk mencari akar masalah, ditemukan kejadian paling awal yaitu saat ia berusia lima tahun, sedang mandi dan tiba-tiba ada seekor kecoak muncul, entah dari mana, dan membuatnya kaget. Usai kejadian ini ia belum takut kecoak. Klien mengalami beberapa kejadian lanjutan, yang berhubungan dengan kecoak, antara lain ia melihat ibunya panik dan berteriak saat ada kecoak, hingga akhirnya rasa takut ini menjadi sangat kuat dan menetap dalam dirinya, menjadi fobia.
Ada lagi klien, seorang pria, takut tikus. Kejadian paling awal adalah saat berusia tujuh tahun, malam hari, ia berjalan di kebun dan tidak sengaja menginjak tikus. Tikusnya menjerit kesakitan, klien kaget karena merasa ada yang kenyal di telapak kakinya. Sejak saat itu ia fobia tikus.
Ada juga anak yang belajar menjadi fobia dari orang tua, terutama ibunya. Saat anak berulang kali melihat perilaku ibunya yang merasa takut berlebih pada sesuatu, ia belajar dan menyerap perilaku ibu ke dalam dirinya. Dengan pengulangan, akhirnya fobia ibu juga tercipta dalam diri si anak. Rasa takut berlebih bisa terhadap serangga, binatang, orang, benda, situasi, atau apa saja.
Cara Kerja Fobia
Prinsip kerja fobia sebenarnya sederhana. Fobia adalah program pikiran yang tercipta melalui suatu proses. Ia selalu menautkan dan terdiri dari dua hal, pemicu dan emosi. Bila, misalnya, seseorang fobia jarum suntik, maka jarum suntik adalah pemicu yang akan mengaktifkan emosi tertentu, misalnya cemas, takut, atau ngeri. Pemicu ini bisa berupa sesuatu yang nyata, klien melihat langsung jarum suntik, atau hanya dalam imajinasi, gambar, atau mendengar cerita tentang jarum suntik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber masalah terletak bukan pada objek atau situasi, sebagai pemicu, tapi lebih pada emosi yang terpicu. Bila variabel emosi dapat dihilangkan maka tidak ada lagi yang bisa dipicu, klien sembuh. Pemicu ini bisa berupa gambar, suara, rasa, bau, sensasi fisik, atau perasaan yang terhubung dengan rasa takut atau cemas intens.
Mengatasi Fobia
Ada banyak cara mengatasi fobia. Dari semua cara ini, bila ditelisik lebih mendalam, sejatinya hanya terbagi menjadi dua kategori: memroses akar masalah dan tanpa memroses akar masalah.
Bila fobia diatasi dengan cara pertama, memroses akar masalah, maka terapis akan melakukan hipnoanalisis guna mencari dan menemukan kejadian paling awal penyebab fobia.
Saya pernah membantu klien fobia ular. Ternyata akar masalahnya sangat sederhana. Klien, saat berusia 5 tahun, sedang jalan di kebun, dan tiba-tiba jumpa bangkai ular. Klien kaget luar biasa. Saya memroses kejadian ini dan setelahnya klien langsung sembuh dari fobianya.
Ada banyak varian teknik mengatasi fobia tanpa memroses akar masalah atau sering disebut content free. Yang paling umum adalah desensitisasi. Bila fobia tercipta karena proses sensitisasi maka desentisasi membalik proses ini sehingga, diharapkan, fobia bisa hilang.
Dalam proses desensitisasi, klien dipertemukan dengan objek yang membuatnya takut, misal ulat. Ulat ini diletakkan agak jauh dari klien. Klien tentu merasa tidak nyaman. Namun, setelah beberapa saat, rasa tidak nyaman ini akan berkurang dan terus berkurang hingga ke level yang bisa ditolerir atau dikendalikan. Setelahnya, ulat ini semakin didekatkan pada klien. Proses ini terus diulangi dengan semakin mendekatkan objek pada klien hingga akhirnya objek berada di depan klien namun klien tidak lagi merasa takut.
Cara lain adalah flooding. Bila desensitisasi berusaha menghilangkan rasa takut secara gradual, flooding adalah kebalikannya. Klien langsung dihadapkan pada objek yang ia takuti. Bila fobia ulat, klien akan dihadapkan dengan banyak ulat. Bila fobia ketinggian, klien akan langsung dibawa ke tempat tinggi. Logika di balik teknik ini adalah saat klien dihadapkan pada objek fobia, emosi yang muncul dalam dirinya akan sangat intens. Namun emosi ini tidak bisa terus meningkat atau bertahan selamanya, karena sampai pada satu titik, energi yang dibutuhkan sebagai bahan bakar emosi akan habis. Dan pada saat inilah intensitas emosi mulai menurun hingga akhirnya dapat dikendalikan.
Fobia juga bisa diatasi dengan sugesti, baik melalui proses swahipnosis atau heterohipnosis. Ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan agar sugesti bisa bekerja maksimal mengatasi fobia. Pertama, skrip sugesti disusun menggunakan struktur yang benar agar dapat memberi pengaruh maksimal ke pikiran bawah sadar klien. Ada empat belas aturan yang perlu diindahkan saat menyusun skrip sugesti. Kedua, kedalaman hipnosis yang dicapai klien harus sesuai untuk kebutuhan teknik ini, minimal profound somnambulism, lebih dalam lebih baik. Ketiga, cara terapis menyampaikan sugesti pada klien. Keempat, intensitas emosi karena fobia, dan tingkat resistensi dalam diri klien terhadap sugesti.
Terapi kognitif dan perilaku (CBT) juga masuk kategori ini. Demikian pula EFT (Emotional Freedom Technique) dan beberapa teknik terapi berbasis NLP seperti mengubah strategi, mengubah submodalitas, swish pattern, collapsing anchor, dan fast phobica cure.
Fobia akan sangat mudah diatasi bila bersifat lapis tunggal, bukan lapis banyak. Yang dimaksud lapis tunggal adalah bila rasa takut pada objek atau situasi tertentu bukan berupa terusan dari objek atau situasi lain. Bila fobia bersifat lapis banyak maka harus dilakukan penelusuran di pikiran bawah sadar untuk menemukan akar masalah agar bisa tuntas.
(Sumber: adiwgunawan.com)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
Ada yang tanya ke saya, "Di buku dan beberapa artikel yang Pak Adi tulis dikatakan bahwa salah satu penyebab masalah mental, perilaku, atau sakit fisik adalah emosi negatif. Bila emosi negatif berhasil dinetralisir maka masalah otomatis hilang. Di Youtube ada video yang mengajarkan menghilangkan emosi negatif lewat abreaksi, dengan menyalurkan emosi ke tangan dan mengeluarkannya dengan menggerakkan kedua tangan. Dan bisa juga ditambah dengan menggerakkan kaki. Saat mempraktikkan cara ini, benar, emosi saya hilang, dan masalah saya selesai. Tapi beberapa hari kemudian, emosinya muncul lagi dan demikian pula masalah saya. Apa yang salah ya?"
Pengalaman praktik membantu klien sejak tahun 2005 hingga sekarang memberi saya satu pemahaman sangat penting yang mendasari semua proses terapi yang saya lakukan dan ajarkan di kelas SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy). Benar, hampir semua masalah, baik itu perilaku, mental, atau psikosomatis, disebabkan oleh emosi negatif yang tersimpan atau mengendap di pikiran bawah sadar. Bila emosi negatif berhasil dinetralisir atau dihilangkan, dilanjutkan dengan restrukturisasi pikiran bawah sadar, masalah pasti bisa diatasi.
Untuk menghilangkan emosi negatif ada sangat banyak cara. Berikut saya jelaskan dulu cara yang umumnya digunakan untuk menetralisir emosi:
Salah satu teknik yang mampu dengan sangat cepat untuk mengeluarkan emosi negatif dari diri klien adalah abreaksi melalui fisik. Abreaksi melalui fisik adalah luapan emosi yang keluar dari diri klien melalui banyak cara, seperti: menangis, teriak, memukul, menjerit, menendang, mencengkeram, meremas, mengibaskan tangan dan atau kaki, dan lain-lain. Intinya emosi dikeluarkan lewat (gerakan) tubuh yang dilakukan berulang hingga akhirnya terkuras habis.
Ini yang sering kita lakukan dan setelahnya biasanya kita akan merasa lega. Namun, kelegaan ini hanya sesaat. Selang beberapa hari kemudian emosi yang sama kembali muncul dan mengganggu hidup kita.
Mengapa emosi yang tadi sudah "dihabiskan" melalui cara yang telah dijelaskan di atas, bisa kembali lagi?
Jawabannya sangat sederhana. Untuk mencapai hasil terapi positif dan stabil, saya menghindari kata “permanen”, emosi yang dinetralisir atau dikeluarkan dari sistem diri, boleh menggunakan teknik apapun, haruslah emosi yang berasal dari kejadian paling awal atau ISE (initial sensitizing event). Untuk bisa menemukan ISE butuh kemampuan dan keterampilan melakukan regresi, menuntun klien mundur ke masa lalu, dan menemukan akar masalah yang sebenarnya.
Untuk memahami cara mengeluarkan emosi dari dalam diri, saya menggunakan analogi panci presto. Emosi adalah api yang membakar panci presto berisi air. Panci presto ini tertutup rapat sehingga uap tidak bisa keluar dan semakin lama tekanannya semakin meningkat, menekan dinding dalam panci.
Abreaksi, yang umumnya terjadi, misal dilakukan dengan cara menangis, berteriak, memukul, membanting benda, menggerakkan/mengibaskan tangan atau kaki, atau melalui gerakan tubuh lainnya, ibarat mengeluarkan uap dari panci presto melalui katup di atas tutup panci. Saat uap (tekanan emosi) keluar, kita akan merasa lega. Namun, karena api di bawah panci belum padam, cepat atau lambat tekanan di dalam panci akan bertambah lagi. Dan proses ini akan terus berulang. Tekanan uap hanya akan benar-benar habis, dan tidak bisa muncul lagi, bila api di bawah panci telah padam.
Ini menjelaskan mengapa ada banyak orang yang setelah ikut retreat, merasakan kelegaan luar biasa selama satu atau dua minggu, kemudian perasaan tidak nyaman muncul lagi mengganggu. Ini semua karena api emosi belum padam.
Mengapa abreaksi perlu dilakukan pada kejadian paling awal?
Pengalaman klinis dan temuan di ruang praktik kami menyatakan bahwa seringkali emosi ini berlapis-lapis. Melalui teknik regresi yang kami gunakan dan kembangkan dalam membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan emosi, kami temukan hal sangat menarik.
Emosi awal yang diproses, misal marah, ternyata saat dicari akar masalahnya, bisa berawal dari beberapa kejadian dengan emosi yang berbeda. Bisa terjadi, marah yang dirasakan klien adalah emosi “permukaan”. Di lapisan bawah ada emosi kecewa, di bawahnya lagi, emosi sedih, dan terakhir, di kejadian paling awal, ternyata emosinya adalah kesepian.
Abreaksi yang hanya menetralisir emosi “permukaan”, pada contoh di atas adalah emosi marah, tidak sepenuhnya bisa mengatasi masalah klien. Masalah baru benar-benar teratasi saat api emosi berhasil tuntas dipadamkan.
Saat seseorang sedang abreaksi biasanya akan muncul memori kejadian yang berhubungan dengan emosi yang sedang meluap. Ini adalah pemberitahuan dari pikiran bawah sadar agar kita memroses kejadian ini. Umumnya, karena kita tidak punya keterampilan untuk melakukannya, memori ini tidak dapat diproses.
Dari pengalaman dan temuan kami, abreaksi melalui fisik kadang, secara kebetulan, dapat memadamkan api emosi pada kejadian paling awal. Namun, bila hanya abreaksi saja, efeknya tidak maksimal.
Saat emosi padam, saat itu masalah selesai. Namun, klien tidak belajar atau mendapat pembelajaran, pemahaman, kesadaran, dan kebijaksanaannya tidak meningkat. Akibatnya, bila suatu saat nanti klien mengalami kejadian yang mirip atau sama dengan kejadian sebelumnya, masalah yang sama pasti berulang.
Abreaksi Dalam Pelatihan
Abreaksi bukanlah hal sederhana atau mudah, melainkan proses yang rumit. Terapis harus mampu memfasilitasi dan mengarahkan klien yang abreaksi agar bisa berjalan aman dan nyaman. Abreaksi yang tidak dilakukan dengan persiapan matang dapat berakibat buruk, bahkan fatal terhadap klien.
Ada banyak hal yang perlu diperhatikan saat melakukan abreaksi, antara lain kesiapan fisik dan mental klien dan terapis, kedalaman kondisi relaksasi fisik dan mental, level energi klien dan terapis, dan tentunya teknik yang sesuai.
Abreaksi, bila dilakukan di ruang terapi, lebih mudah diarahkan atau dikendalikan karena terapis hanya berhadapan dengan satu klien. Kondisi ini sangat berbeda bila abreaksi digunakan sebagai teknik pelepasan emosi di pelatihan yang dihadiri puluhan atau ratusan peserta. Proses abreaksi di pelatihan, bila tidak difasilitasi dengan baik dan benar bisa berakibat negatif pada diri peserta.
Apa saja akibat fatal yang bisa terjadi pada peserta pelatihan yang mengalami abreaksi tanpa diarahkan dengan benar?
Pertama, peserta pelatihan bisa mengalami sesak napas. Saat abreaksi, napas kita cenderung pendek. Bila posisi duduk salah, bisa terjadi kram pada otot perut yang mengakibatkan sesak napas dan bisa berujung pingsan. Sesak napas juga bisa muncul pada pengidap asma yang mengalami abreaksi.
Kedua, ini bisa terjadi pada klien atau peserta pelatihan yang mengidap tekanan darah tinggi, sakit jantung, penderita stroke yang belum lama pulih, atau penderita epilepsi, emosi yang dikeluarkan melalui aktivitas fisik berlebih, saat abreaksi, karena tidak dikendalikan atau diarahkan dengan benar, bisa mengakibatkan kelelahan eksktrim dan justru mengganggu kesehatan fisik. Jadi, bukannya sembuh, malah tambah sakit.
Ketiga, abreaksi tidak boleh dilakukan pada peserta yang sedang hamil karena ini pasti memengaruhi janin dalam kandungan. Saat wanita hamil mengalami abreaksi, hormon stres dalam darahnya meningkat drastis. Hormon stres ini juga mengalir ke dalam diri janin dan memberi efek negatif.
Abreaksi adalah salah satu teknik pelepasan emosi yang sangat efektif namun tetap punya keterbatasan. Abreaksi, bila berdiri sendiri, tanpa diikuti dengan restrukturisasi pikiran bawah sadar, terapi memaafkan, peningkatan kesadaran dan kebijaksanaan, tidak bersifat terapeutik. Tidak semua orang bisa atau perlu melakukan teknik abreaksi melalui fisik untuk melepas emosi. Ada syarat dan ketentuan yang perlu diperhatikan agar abreaksi dapat berjalan dengan aman, nyaman, dan memberi efek terapeutik seperti yang diinginkan.
(Sumber: adiwgunawan.com)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
(Kisah ini ditulis atas ijin klien, untuk edukasi publik agar lebih hati-hati memilih hipnoterapis dan tidak jatuh korban berikutnya. Mohon dibaca sampai selesai. Dan silakan share.)
Seorang klien, sebut saja sebagai Indah, mengalami depresi akibat banyak masalah dan tekanan hidup, merasa dirinya bipolar, mengalami perubahan emosi dengan cepat, bisa merasa sedih dan tiba-tiba berubah gembira. Indah sudah beberapa hari sebelumnya sempat ada pikiran untuk bunuh diri. Indah tahu ia butuh pertolongan dan memilih dibantu hipnoterapis karena menghindari obat-obatan untuk mengatasi masalahnya.
Tanggal 5 Juli 2018 Indah menjalani terapi dengan seorang hipnoterapis di Jakarta, yang biasa melakukan past life regression (PLR) atau regresi kehidupan lampau. Hipnoterapis melakukan wawancara pada Indah. Dari hasil wawancara ini diketahui masalah Indah, menurut terapis, 80% karena orangtua. Untuk itu, terapis ingin tahu bagaimana relasi Indah dengan orangtuanya di kehidupan lampau dan memutuskan melakukan regresi kehidupan lampau pada Indah.
Indah sangat ingin mengatasi masalahnya dan patuh sepenuhnya pada permintaan, tuntunan, dan sugesti yang diberikan oleh terapisnya. Terapis memulai proses terapi dengan meminta Indah menarik dan mengembuskan napas, sambil memberi sugesti setiap kali Indah menarik napas, ia menjadi semakin rileks, masuk semakin dalam. Selanjutnya terapis minta Indah tutup mata dan memberi sugesti, “Mata Anda lengket, seperti ada lem perekat sangat kuat, tidak bisa dibuka. Mata Anda sangat lengket, tidak bisa dibuka.” Terapis juga minta Indah membayangkan dirinya menuruni tangga. Semakin turun, semakin dalam, semakin rileks. Ini adalah teknik deepening, bertujuan membawa klien masuk ke kondisi hipnosis yang (sangat) dalam (deep trance).
Setelahnya, terapis menuntun Indah mundur ke kehidupan lampau. Terapis bertanya pada klien apa yang ia lihat, di tahun berapa, pakai baju apa, siapa nama klien saat itu, dan apa kejadian yang ia lihat atau dirasa ia ingat. Klien menceritakan apa yang ia lihat atau rasa lihat, dan mengatakan mundur ke tahun 1773. Intinya, klien mendapat gambaran mengapa relasi ia dan keluarganya kurang baik. Di kehidupan lampau ini, klien dan orangtuanya (di kehidupan sekarang) adalah musuh. Mereka berperang memperebutkan wilayah. Klien menang dan mengusir musuhnya. Jadi, kalau berdasar cerita ini, Indah adalah anak dari orangtua, yang adalah musuhnya di kehidupan lampau.
Kemudian terapis minta klien mundur lagi ke kehidupan lampau yang lain. Tiba-tiba klien melihat air, sungai besar. Klien sedang berenang dan merasa dirinya adalah ikan. Di kondisi ini, saat klien berada di kondisi sangat dalam, sedang mengalami pengalaman berenang sebagai ikan, tiba-tiba terapis membangunkan klien dengan perintah, "Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.”
Terapis membangunkan Indah dengan cepat karena ternyata klien berikutnya sudah datang. Indah dibangunkan tanpa ada hitungan naik, misal dari satu ke sepuluh, atau membayangkan naik tangga, atau sugesti bahwa perekat di matanya sudah dilepas. Singkatnya, terapis hanya memberi satu kalimat perintah untuk membawa klien keluar dari kondisi rileksasi yang sangat dalam, “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.”
Indah merasa tubuhnya sangat berat, seperti orang koma, tidak bisa buka mata. Ia bisa mendengar suara tapi tubuhnya kaku, susah digerakkan. Indah tidak bisa berpikir jernih. Tapi Indah memaksakan diri untuk membuka mata mengikuti perintah terapis.
Saat sudah buka mata, terapis berkata pada Indah, “Kamu sekarang sudah bukan di tahun 1700an.” Selanjutnya terapis minta Indah untuk hanya mencatat hal-hal positif yang terjadi di kehidupan lampau itu. Hal-hal negatif dibuang atau dilupakan. Caranya, setiap kali Indah mengembuskan napas, Indah diminta untuk membuang hal-hal negatif ini ke tanah atau bumi.
Indah bertanya pada terapisnya, "Kok saya masih setengah sadar ya, seperti lagi tidur berjalan dan mata saya dibuka susah." Terapis berkata bahwa kondisi Indah ini tidak apa-apa. Nanti Indah akan kembali ke kondisi normal.
Beruntung Indah pulang ke rumah, usai terapi, dijemput teman. Bisa dibayangkan betapa bahaya kondisi Indah bila ia pulang ke rumah menyetir sendiri mobilnya. Sepanjang perjalanan pulang dan juga sepanjang hari itu Indah merasa pikirannya kosong (blank), tidak bisa berpikir. Indah merasa dirinya seperti orang tidur tapi berjalan. Kesadaran Indah tidak pulih sepenuhnya. Ia merasa seperti sedang tidur. Badan dan batin Indah seperti terpisah, jalan sendiri-sendiri.
Malamnya, karena tidak tahan dengan kondisi ini, Indah menghubungi terapisnya dan menceritakan kondisi yang ia alami. Terapis hanya menyarankan Indah tarik napas dan kembali ke kesadaran semula, sambil ditambahkan sugesti bahwa sekarang ia adalah Indah.
Hari demi hari, kondisi Indah tidak kunjung membaik. Indah telah menghubungi terapisnya tapi belum bisa dapat jadwal dan hanya disarankan tarik dan embuskan napas. Indah menjalankan saran terapis tapi tetap tidak ada perubahan. Terapisnya juga menyalahkan Indah karena saat sedang diterapi, Indah, kata terapisnya, tidak menuruti perintahnya, yaitu menarik dan membuang energi negatif.
Selama 11 hari Indah mengalami kondisi yang sangat mengganggu ini. Kesadarannya masih "tersangkut" di tahun 1700an. Menurut Indah, ia benar-benar ibarat penyelam (diver) yang dipaksa naik, sementara pikiran bawah sadarnya masih di dasar palung lautan.
Menurut Indah, ada dua sebab mengapa ia tersangkut, tidak bisa sepenuhnya keluar. Pertama, saat terapis memberi perintah, “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula”, ia bingung. Kondisi semula yang mana yang terapis maksud. Indah tidak mengerti apakah ia diminta kembali ke tahun 1773 saat sedang perang ataukah diminta kembali ke tahun 2018. Kedua, cara terapis membangunkan dirinya salah. Terapis melakukan dengan cepat, secara tiba-tiba, tanpa mengikuti prosedur yang benar.
Setelah 11 hari menderita, kesadarannya tidak bisa pulih seperti semula, Indah akhirnya menghubungi hipnoterapis klinis, Ibu Widya Saraswati di Jakarta. Saat jumpa Ibu Widya, begitu duduk di kursi terapi, Indah langsung masuk deep trance, tanpa terapis melakukan apapun. Mulai jam 14.30 hingga 17.30, Indah menjalani sesi wawancara dan konseling dengan Ibu Widya. Selanjutnya, selama satu jam, mulai pukul 17.30 sampai 18.30, Ibu Widya menuntun Indah untuk keluar dari kondisi trance.
Ternyata tidak mudah membawa Indah keluar dari kondisi hipnosis sangat dalam, tempat kesadarannya tersangkut. Dibutuhkan upaya dan teknik khusus untuk membawa Indah keluar. Dua upaya pertama, tidak sepenuhnya berhasil membawa Indah keluar. Indah bisa naik namun tetap masih merasa tersangkut. Barulah pada upaya ketiga, Indah berhasil keluar sepenuhnya. Rupanya, ada Bagian Diri Indah yang merasa disalahkan oleh terapis yang melakukan regresi kehidupan lampau, karena Indah tidak bisa naik ke kondisi sadar normal.
Walau Indah berhasil keluar sepenuhnya, matanya masih kabur, kepala bagian belakang dan lehernya masih terasa sakit. Ibu Widya melanjutkan proses terapi, menangani rasa sakit ini. Setelahnya, barulah Indah bisa benar-benar pulih, segar sepenuhnya, sama seperti sebelum ia menjalani hipnoterapi dengan terapis pertama.
(Komentar dan penjelasan Adi W. Gunawan)
Hipnoterapi ibarat pisau sangat tajam digunakan untuk melakukan pembedahan psikis. Pisau ini bisa sangat bermanfaat dan juga sangat berbahaya bergantung pada kecakapan orang yang menggunakannya.
Kisah terapi yang diceritakan di atas adalah praktik hipnoterapi yang justru sangat merugikan klien. Alih-alih klien sembuh dari masalahnya, yang terjadi adalah justru muncul masalah baru.
Hipnoterapis yang diceritakan di atas, melakukan banyak kesalahan dalam konteks teknik, proses terapi, dan etik, antara lain:
1. Terapis memutuskan melakukan regresi kehidupan lampau, bukan atas permintaan klien, tapi atas simpulannya sendiri bahwa masalah klien pasti ada hubungannya dengan kehidupan lampaunya. Ini adalah malapraktik berat karena terapis melakukan “Leading” bukan “Guiding”. Terapis melakukan therapist-centered bukan client-centered. Dari mana terapis tahu bila akar masalah benar ada di kehidupan lampau? Yang bisa mengungkap akar masalah klien adalah pikiran bawah sadar klien, bukan pikiran sadar terapis.
2. Terapis secara tiba-tiba menghentikan proses terapi pada saat klien sedang di kondisi hipnosis dalam, tanpa menyelesaikan (akar) masalah. Ini ibarat dokter bedah sudah membuka perut pasien, lalu tiba-tiba pasien dibangunkan dan disuruh pulang tanpa menjahit dan menutup terlebih dahulu perut pasien. Ini sungguh berbahaya.
3. Cara terapis menghentikan proses terapi sangat tidak etis. Terapis menghentikan terapi hanya demi menerima klien berikutnya, tanpa memikirkan kondisi dan keselamatan klien yang sedang duduk di kursi terapi.
4. Cara terapis membawa klien keluar dari kondisi hipnosis salah. Terapis hanya memberi perintah, “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.”
Ada dua kesalahan terapis. Pertama, terapis hanya memberi perintah klien untuk kembali ke kondisi semula. Ini cara yang salah. Cara yang benar untuk mengeluarkan klien dari kondisi hipnosis (sangat) dalam, tidak bisa dan tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba. Prosedur baku dalam hipnoterapi, terapis melakukan emerging dengan membalik proses deepening secara perlahan. Bila untuk masuk ke kondisi hipnosis dalam, klien dituntun dengan hitungan 1 turun ke 10, atau menuruni tangga, maka untuk mengeluarkan klien, proses ini dibalik. Terapis harus menghitung naik dari 10 ke 1, atau minta klien membayangkan naik tangga. Proses naik ini dilakukan perlahan, tidak boleh buru-buru atau cepat. Semakin dalam klien, semakin perlahan naiknya.
Kedua, saat di awal, klien diberi sugesti tidak bisa buka mata. Lalu tiba-tiba diberi sugesti “Sekarang tarik napas dan kamu kembali ke kondisi semula.” Perintah ini tidak dipahami oleh pikiran bawah sadar klien sehingga klien mengalami kondisi "tersangkut" dalam kondisi trance.
5. Terapis tidak mengerti bahwa sugesti yang ia berikan di awal proses terapi, yaitu klien tidak bisa buka mata, selama sugesti ini belum dianulir atau diganti dengan sugesti lainnya maka sugesti ini tetap bekerja. Meminta klien menarik napas berulang kali dengan harapan klien keluar dengan sendirinya ke kondisi sadar normal, ini tidak selamanya berhasil. Yang seharusnya terapis lakukan, bila mendapat keluhan dari klien, adalah langsung minta klien untuk jumpa terapis guna menyelesaikan apapun yang belum terselesaikan dari proses terapi ini.
6. Membawa klien keluar dari kondisi hipnosis, saat ia masih mengalami dirinya sebagai ikan yang berenang di sungai, bisa berakibat fatal. Ikan bernapas di dalam air. Saat ikan dibawa keluar dari air, ikan tidak bisa bernapas. Bisa terjadi, dan untungnya ini tidak terjadi, klien tiba-tiba tidak bisa bernapas. Ini sangat berbahaya karena saat ini yang aktif adalah trance-logic pikiran bawah sadar, bukan conscious logic pikiran sadar.
7. Terapis tidak memikirkan keselamatan klien. Dalam kondisi kesadaran belum pulih sepenuhnya klien seharusnya tidak diijinkan pulang. Untung klien tidak menyetir mobil sendiri. Bisa dibayangkan apa yang bisa terjadi bila klien menyetir mobil sendiri balik ke rumah.
Apakah regresi kehidupan lampau (past life regression / PLR) bisa menyelesaikan masalah? Tentu sangat dan pasti bisa. Ini dengan catatan, benar akar masalah berasal dari past life dan terapis tahu cara menyelesaikan akar masalah ini.
Yang sangat sering terjadi, terapis melakukan regresi ke past life, dengan sengaja untuk menemukan akar masalah. Ini secara konteks terapi salahkarena terapis melakukan leading bukan guiding. Dan setelah berhasil "menemukan" akar masalah, akar masalah ini tidak diproses. Terapis hanya berkata pada klien, "Sekarang Anda sudah tahu apa yang membuat Anda bermasalah", dan berharap dari sini masalah bisa selesai dengan sendirinya. Mencari dan menemukan akar masalah adalah satu hal. Mengetahui akar masalah, ini hal lain. Memroses tuntas hingga terjadi resolusi trauma adalah hal berbeda lagi.
Apakah benar kejadian yang dialami seseorang, saat diregresi ke kehidupan lampau adalah benar-benar kehidupan lampau? Tidak ada yang tahu. Yang bisa saya sampaikan, pikiran bawah sadar sangat cerdas. Bisa saja, ini benar data dari kehidupan lampau, bagi yang percaya ada kehidupan lampau. Bisa juga ini adalah kriptomnesia, yaitu klien sudah pernah membaca, melihat, mendengar, atau mendapat informasi tertentu sebelumnya, dan klien lupa informasi ini. Saat proses PLR, data ini keluar dan seolah-olah adalah kejadian di kehidupan lampau. Kemungkinan lain, kejadian yang klien alami, di kehidupan lampau, sesungguhnya adalah metafora yang sengaja dimunculkan oleh pikiran bawah sadar untuk menyelesaikan masalah klien.
Saya tidak menentang PLR. Saya mengajarkan teknik PLR dan mendemokan cara melakukannya di kelas SECH (Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy). Dalam menangani klien, saya menggunakan teknik hypnotic age regression. Dalam beberapa kasus, terjadi regresi spontan ke past life. Bagi saya, ini hal biasa saja, tidak ada yang istimewa atau luar biasa. Saya proses kejadian di “past life” ini sampai tuntas, terjadi resolusi trauma, dan klien sembuh.
Saya tidak setuju bila terapis secara sengaja melakukan PLR. Saya tidak setuju karena dua hal. Pertama, bila PLR dilakukan secara sengaja, ini adalah leading. Kedua, berkaitan dengan iman. Ada agama yang mengajarkan tentang past life dan kelahiran kembali. Ada yang secara tegas mengatakan tidak ada past life.
Bila klien, dengan iman yang menyatakan tidak ada past life, menjalani PLR, apakah ia bisa mundur ke “past life”? Jawabannya, bisa ya, bisa tidak. Semua bergantung pada klien.
Bila klien yang tidak percaya tentang past life, berhasil diregresi ke “past life”, dan saat ini ia dalam kondisi hipnosis sangat dalam, maka pengalaman ini diterima pikiran bawah sadar sebagai kebenaran, terekam dengan sangat kuat di memori. Bisa dibayangkan apa yang mungkin terjadi dengan klien?
Saran buat para Sahabat yang ingin mengatasi masalah dengan hipnoterapi, pastikan Anda dibantu hipnoterapis cakap, kompeten, dan menjalankan praktiknya dengan integritas. Ada banyak hipnoterapis cakap, andal, dan sangat mumpuni dalam membantu klien. Sebaliknya, ada banyak hipnoterapis yang sebenarnya tidak tahu apa yang ia lakukan ternyata salah dan berbahaya bagi klien.
Ini saya dapat pertanyaan dari Indah: Pak Adi, bila misalnya kondisi seperti seperti saya ini, apakah klien bisa kembali pulih dan sadar dari kondisi trance, kalau sudah benar-benar dalam begitu seperti yang saya alami di coma state, keluar ke kondisi sadar normal dengan sendirinya, tanpa bantuan terapis? Maksudnya, lama-lama bisa pulih sendiri, walau butuh waktu lama.
Berikut ini jawaban saya:
Kondisi yang Indah alami ini sebenarnya adalah kondisi yang sangat alamiah, normal, wajar, biasa. Kedalaman trance berlapis-lapis. Ada banyak skala kedalaman trance. Di AWGI, kami menggunakan skala Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, menggunakan angka dari 1 sampai 40. Angka 1 artinya sadar normal dan 40 adalah tidur. Antara 1 dan 40 ada lapisan-lapisan kesadaran dan kedalaman trance dengan fenomena yang sangat spesifik.
Kalau membaca kisah Indah, yang merasa tubuh berat, tidak bisa bergerak atau sulit digerakkan, mata sulit dibuka, maka Indah berada di kedalaman 35 (Catatonia). Ini lebih dalam dari level 33, yang biasa disebut kondisi Esdaile atau Coma State atau Plenary State. Di level 33 ini terjadi anestesi spontan di seluruh tubuh, tanpa perlu sugesti. Artinya, siapa saja bila masuk di level 33, pasti mengalami fenomena ini. Ini kalau di dunia medis, bisa digunakan untuk operasi tanpa obat bius. Bisa untuk melahirkan, operasi perut, amputasi, dll.
Di pelatihan SECH AWGI saya biasa menuntun peserta masuk bahkan ke kedalaman hingga 37, 38, dan 39. Di kedalaman ini subjek tidak lagi bisa merasakan tubuhnya. Pikiran sadarnya berhenti total, tidak bisa berpikir apapun, walau subjek berusaha untuk berpikir. Yang ada hanyalah pikiran tenang, hening, diam. Ini adalah kondisi hipnosis atau trance atau meditatif yang sangat dalam.
Bedanya, kalau di kelas pelatihan SECH, saya menjelaskan detil dulu kedalaman trance ini, apa yang akan terjadi, apa yang dirasakan subjek, dan setelahnya saya menuntun subjek keluar dengan prosedur yang benar. Tidak asal disuruh buka mata dan kembali ke kondisi semula.
Bila subjek dituntun masuk ke dalama ekstrim ini, TANPA dijelaskan terlebih dahulu apa yang akan terjadi, subjek bisa panik dan ketakutan, seolah tidak bisa keluar. Ketakutan atau panik ini justru bisa memperdalam kondisi trance. Semakin seseorang takut tidak bisa keluar trance, semakin besar kemungkinan ia TIDAK BISA keluar.
Ini terjadi karena hukum pikiran bawah sadar bekerja dengan cara berbeda dibandingkan dengan pikiran sadar. Di pikiran bawah sadar, berlakutrance-logic, bukan conscious-logic. Ini juga yang menyebabkan mengapa Indah tidak mengerti saat terapis memberi perintah, "Tarik napas dan kembali ke kondisi semula."
Jadi, sebenarnya, secara alamiah, subjek yang sudah dibimbing masuk ke kondisi deep trance dia PASTI akan keluar dengan sendirinya. Ini adalah kondisi alamiah kita setiap hari. Saat mau tidur, kita turun dari kondisi sadar normal ke kondisi tidur (tidak sadar). Saat bangun, kita naik dari kondisi tidur, perlahan-lahan, ke kondisi sadar normal.
Bedanya, kondisi Indah, ini tidak alamiah. Indah ada mendapat sugesti dari terapis, mata Indah lengket, tidak bisa dibuka. Juga ada sugesti, setiap tarik napas, Indah masuk semakin dalam dan semakin rileks. Sugesti-sugesti ini TIDAK PERNAH dicabut oleh terapis. Dengan demikian, sugesti ini justru menjadi semacam hypnotic seal atau segel hipnosis yang mencegah Indah keluar dari kondisi trance.
Ada hypnotic seal yang mencegah subjek masuk trance. Ada yang untuk mencegah subjek keluar trance. Ini bergantung kepiawaian si terapis. Dari kasus Indah, secara tidak sengaja atau tidak disadari, terapis memasang hypnotic seal yang mengakibatkan Indah sulit atau tidak bisa keluar dari trance.
Bila subjek dituntun dengan cara yang benar atau tepat, saat ia naik, keluar dari kondisi trance, sugesti mata lengket dll, ini secara otomatis dianulir oleh pikiran bawah sadar klien sehingga klien kembali ke kesadaran normal.
Demikianlah adanya....
Demikianlah kenyataannya.....
(Sumber: adiwgunawan.com)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
Dulu, di awal saya mendalami dunia pikiran dan meditasi, saya mendapat wejangan dari guru saya, YM Sri Paññavaro Mahathera, “Batin manusia terdiri atas pikiran, perasaan, ingatan, dan kesadaran. Dari keempat komponen ini yang menjadi provokator adalah perasaan.”
Saat itu, karena keterbatasan pemahaman, saya hanya menerima wejangan ini sebagai pengetahuan penting yang belum saya pahami secara mendalam. Seiring waktu berjalan, dengan semakin saya mendalami dunia pikiran, khususnya hipnoterapi klinis, kini saya mengerti benar kalimat singkat sangat sarat makna dari Beliau.
Kita sering mendengar pernyataan bahwa manusia adalah makhluk rasional, logis. Benarkah demikian? Bisa ya, dan lebih sering tidak. Manusia sangat sulit untuk bisa benar-benar berpikir rasional dan logis.
Bila ditelaah dengan kaca mata kejujuran dan kesadaran, kita pasti sampai pada satu simpulan yaitu emosi memengaruhi setiap proses berpikir, berucap, bertindak, perilaku, dan pembuatan keputusan. Hanya orang-orang yang telah mengembangkan batin hingga ke taraf tertentu yang mampu memerdekan diri dari pengaruh dan sekaligus menjadi tuan dari emosinya. Dengan memahami begitu besar peran dan pengaruh emosi pada kualitas hidup, kita perlu tahu dari mana emosi berasal.
Sejatinya, ada tiga jenis emosi: positif, netral, dan negatif. Tiga emosi inilah yang memberi warna pada setiap pengalaman hidup. Emosi adalah warna warni pada lukisan kehidupan kita. Indah atau tidaknya lukisan ini, sepenuhnya berpulang pada masing-masing kita.
Menurut René Descartes, ada enam emosi dasar yaitu cinta, benci, kagum, hasrat, bahagia, dan sedih. Sementara filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan ada lima emosi dasar: cinta, harapan, rendah hati, bahagia dan sedih. Dalam bukunya yang terbit tahun 1890, Principles of Psychology, William James, bapak psikologi Amerika, menyederhanakan emosi dasar menjadi empat: cinta, takut, sedih, dan marah. Setiap emosi, menurut James, adalah kombinasi dari keempat emosi dasar ini.
Selama ini orang lebih mengenal emosi negatif sebagai sumber masalah. Emosi negatif, antara lain, marah, benci, kecewa, terluka, sakit hati, dendam, malu, kesepian, sedih, benci, terluka, perasaan bersalah, dan bosan. Emosi positif, seperti suka atau senang, sebenarnya juga dapat berakibat negatif karena dapat mengakibatkan adiksi atau kemelekatan.
Setiap insan terlahir dengan membawa emosi-emosi dasar. Namun, sumber emosi bukan hanya dari sini. Masih ada sumber-sumber lain yang sering kali tidak kita ketahui atau sadari.
Emosi yang Berasal dari Ibu, Saat Dalam Kandungan
Pikiran bawah sadar (PBS) mulai aktif sejak terjadi pembuahan, terus aktif, dan hanya berhenti atau padam saat individu meninggal. PBS, sesuai fungsinya, merekam apapun yang dialami individu. Dengan demikian, janin dalam kandungan ibu akan merekam semua pengalaman hidup ibu, termasuk emosi yang ibu alami dan rasakan. Emosi ini, bisa positif, netral, atau negatif, tersimpan di PBS janin, menjadi milik janin, dan pasti memengaruhi hidupnya kelak.
Emosi Janin
Janin juga dapat mengalami emosi sebagai respon atas apa yang ibunya alami, rasakan, atau lakukan. Bila ibunya pernah berpikir tentang atau bahkan telah mencoba melakukan upaya aborsi, janin tahu, dan muncul emosi negatif intens dalam diri janin. Demikian pula bila misalnya ibu ribut dengan ayah, ibu atau ayah menolak kehadiran janin karena merasa belum siap punya anak atau karena jenis kelamin janin tidak seperti yang diharapkan.
Sebaliknya, bila ibunya mengalami atau merasakan emosi positif, seperti senang, bahagia, haru, perasaan syukur, emosi-emosi ini semuanya juga dirasakan dan direkam oleh PBS janin.
Emosi Warisan
Emosi juga bisa berasal dari leluhur. Emosi warisan ini masuk ke dalam janin saat terjadi pembuahan. Emosi warisan ini bisa berasal hanya dari garis ibu atau hanya dari garis ayah, dan bisa dari keduanya.
Emosi dari Donor
Pasien yang menerima transplantasi jantung melaporkan perubahan dalam diri mereka, terutama di aspek emosi. Dan setelah diteliti lebih lanjut, emosi ini adalah emosi yang berasal dari donor. Emosi ini tersimpan dalam bentuk sel memori di jantung, sehingga saat pasien menerima jantung, ia juga mendapat emosi yang tersimpan di jantung donor.
Emosi dari Introject
Introject adalah perwujudan figur yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang, berdasar persepsi seseorang terhadap figur ini, dan “hidup” di PBS orang tersebut. Contoh introject antara lain sosok atau figur dari ayah, ibu, suami, istri, saudara, anak, tokoh agama, guru spiritual, dan lain-lain.
Introject juga mempunyai emosi. Saat introject aktif dalam diri individu, ia berubah menjadi identofact dan mengendalikan diri individu. Emosi identofact juga dirasakan sepenuhnya oleh individu yang menjadi “induk”nya.
Emosi dari EP Luar
Kami menemukan ada Ego Personality (EP) yang berasal dari luar diri individu. EP masuk sendiri atau dimasukkan oleh seseorang ke dalam individu. EP memiliki emosi, positif maupun negatif. Saat EP ini aktif, emosi yang ada dalam dirinya juga turut aktif dan dirasakan individu. Ini mirip dengan introject. Bedanya terletak pada proses terciptanya EP.
Emosi dari Pemaknaan
Emosi, umumnya, muncul karena pemaknaan. Setiap kejadian sifatnya netral, sampai kita memberi makna pada kejadian ini. Ada tiga kemungkinan makna yang diberikan pada setiap kejadian: positif, netral, negatif. Makna selanjutnya memunculkan emosi yang sejalan dengannya. Makna positif memunculkan emosi positif. Makna netral memunculkan emosi netral. Dan makna negatif memunculkan emosi negatif.
Makna yang diberikan pada suatu kejadian bisa menggunakan salah satu dari dua jalur: sadar dan tidak sadar. Yang dimaksud pemaknaan secara sadar adalah saat kita mengalami suatu kejadian, kita dengan tenang mengamati, menyadari apa yang terjadi, dan setelahnya dengan menggunakan kebijaksanaan memberi makna yang tepat. Ini adalah kondisi ideal yang menjadi idaman setiap orang. Namun, sejujurnya, tidak mudah untuk bisa melakukan hal ini. Yang paling sering terjadi adalah pemaknaan secara tidak sadar. Saya menyebutnya sebagai pemaknaan stimulus-respons atau otomatis.
Pemaknaan otomatis terjadi karena kita menggunakan data yang ada di memori pikiran bawah sadar sebagai acuan. Data di memori ini adalah hasil pembelajaran, akumulasi pengalaman, dan terutama injeksi makna dari figur otoritas, terutama orangtua atau pengasuh utama.
Dengan demikian, emosi yang kita alami atau rasakan, mayoritas adalah hasil pemaknaan yang mengacu pada pengalaman masa lalu. Kita tidak menyadari akan hal ini karena kerja pikiran bawah sadar 200.000 kali lebih cepat daripada pikiran sadar. Yang terjadi, saat kita mengalami sesuatu, seolah tanpa ada jeda, langsung muncul emosi.
Diserap dari Orang Lain
Emosi juga bisa berasal dari luar diri kita. Sering, tanpa disadari, kita menyerap emosi yang berasal dari orang lain, saat kita berinteraksi dengan mereka, baik secara langsung atau melalui telpon. Saya yakin Anda pasti pernah jumpa seseorang dan setelahnya Anda merasa begitu positif, energi Anda melimpah ruah. Dan pernah juga, di lain waktu, Anda jumpa seseorang dan setelahnya Anda merasa sangat lelah, tidak nyaman, dan bahkan bisa sakit. Yang terjadi sebenarnya adalah Anda menyerap emosi yang dipancarkan oleh orang ini, dalam bentuk energi.
Curhat adalah sarana pertukaran energi yang dahsyat. Saat seseorang curhat pada Anda, terutama hal-hal negatif, sebaiknya Anda hindari. Mengapa? Karena saat ia curhat, sebenarnya ia sedang memprojeksikan energi negatif dari dalam dirinya ke Anda. Bila tidak kuat, tubuh Anda akan menyerap dan menyimpan emosi negatif ini. Akibatnya, emosinya berpindah ke tempat Anda dan sekarang Anda yang bermasalah. Kondisi ini yang sering terjadi dan dialami oleh para terapis, psikolog, dokter, psikiater, konselor, dan mereka yang bergerak di bidang penyembuhan.
Setelah Emosi Muncul
Saat suatu emosi muncul, ia akan mengendalikan seseorang dengan tingkat kekuatan sejalan dengan intensitasnya. Bila, misalnya, digunakan skala 0 hingga 10, di mana 0 artinya tidak ada intensitas sama sekali dan 10 adalah intensitas paling kuat, maka semakin tinggi intensitasnya semakin kuat daya pengaruh dan kendali emosi terhadap individu.
Saat emosi muncul atau tercipta, ia akan diproses oleh sistem psikis kita. Bila emosi berhasil diproses tuntas, ia akan “hilang” dan tidak mengganggu. Namun bila karena sesuatu hal, khususnya emosi negatif, ia tidak berhasil diproses tuntas, akan muncul residu yang menetap atau tersimpan di lokasi tubuh tertentu. Residu ini selanjutnya akan memengaruhi kerja sel atau organ tempat ia menetap. Bisa terjadi, di satu lokasi (organ, otot, sel) menetap lebih dari satu emosi yang sama atau berbeda. Kondisi ini disebut nesting atau sarang.
Lokasi emosi biasanya tidak hanya terpusat di satu lokasi. Dari temuan di ruang praktik, diketathui biasanya ada dua lokasi tempat emosi menetap: lokasi primer dan lokasi sekunder. Lokasi primer adalah wilayah tubuh yang paling jelas terasa saat emosi ini aktif. Sementara lokasi sekunder adalah lokasi-lokasi lain tempat menetap emosi yang sama, tapi hanya bisa dirasakan keberadaannya bila seseorang secara sadar melakukan pengecekan. Di manapun emosi menetap, ia selalu berpengaruh, baik positif maupun negatif.
Untuk memahami peran dan pengaruh emosi pada manusia, saya sangat menyarankan Anda untuk menyaksikan film animasi, Inside Out. Film ini menceritakan bagaimana emosi-emosi dalam diri, Bahagia (Joy), Sedih (Sad), Takut (Fear), Jijik (Disgust), dan Marah (Anger) saling berinteraksi dan mengendalikan diri seseorang dalam menjalani hidup.
(Sumber: adiwgunawan.com)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
Tiga istilah di atas kerap muncul di berbagai artikel yang mengulas hipnosis atau hipnoterapi. Lalu, apa bedanya?
Untuk mengerti dengan benar istilah di atas, perlu diketahui bahwa ada lima cabang ilmu hipnosis: hipnosis hiburan, hipnoterapi, hipnoanestesi, hipnosis forensik, dan hipnosis eksperimen.
Hipnotis adalah orang yang memelajari dan mempraktikkan hipnosis hiburan. Hipnoterapis adalah mereka yang mempraktikkan hipnoterapi. Pengetahuan dan kecakapan seorang hipnoterapis pasti lebih mumpuni daripada hipnotis.
Hipnoterapis bisa melakukan hipnosis hiburan. Sementara hipnotis tidak bisa melakukan hipnoterapi karena mereka memang tidak dilatih untuk ini. Dan hipnoterapis klinis adalah hipnoterapis yang telah mengikuti pendidikan tingkat lanjut.
Jadi, secara jenjang pendidikan dan tingkat kecakapan, paling awal adalah hipnotis, kemudian hipnoterapis, dan paling tinggi adalah hipnoterapis klinis.
Untuk menjadi hipnotis biasanya hanya perlu ikut pelatihan satu hari. Untuk menjadi hipnoterapis, ini bergantung lembaga atau pengajarnya. Ada yang dua hari, empat hari, dan saat ini, di Indonesia, paling lama adalah sepuluh hari pelatihan.
Hingga saat ini di Indonesia, sepengetahuan saya, hanya ada satu lembaga yang menyelenggarakan pendidikan hipnoterapi hingga ke jenjang hipnoterapis klinis. Untuk menjadi hipnoterapis klinis, lembaga ini mensyaratkan pesertanya telah ikut pelatihan hipnoterapis sepuluh hari atau 110 jam tatap muka di kelas. Ini tidak termasuk latihan dan praktik mandiri.
Setelahnya, mereka ikut lagi pelatihan selama sembilan hari atau 100 jam tatap muka di kelas. Dengan demikian, untuk menjadi hipnoterapis klinis, butuh pelatihan selama sembilan belas hari atau 210 jam.
Adapun gelar untuk masing-masing jenjang: CH (certified hypnotist), CHt (certified hypnotherapist), dan CCH (certified clinical hypnotherapist).
Khusus CCH, selain certified clinical hypnotherapist, juga ada yang menggunakan kepanjangan certified consulting hypnotist. Kepanjangan yang kedua ini digunakan oleh alumni NGH (National Guild of Hypnotist).
CCH versi NGH mensyaratkan lama pendidikan 75 jam tatap muka di kelas plus 25 jam melakukan tugas, praktik, atau baca buku.
Saat ini, saya menggunakan terminologi hipnoterapis dan hipnoterapis klinis untuk membedakan dua kelompok hipnoterapis. Hipnoterapis adalah praktisi hipnoterapi yang mengutamakan praktik hipnoterapi berbasis sugesti. Dalam praktiknya, hipnoterapis tidak mencari akar masalah. Lama proses terapi yang dilakukan hipnoterapis biasanya berkisar 30 menit hingga paling lama sekitar 1 jam.
Sementara hipnoterapis klinis adalah praktisi hipnoterapi yang mengutamakan mencari dan menemukan akar masalah melalui proses hipnoanalisis. Proses terapinya butuh waktu antara 2 jam hingga 5 jam, sekali jalan.
(Sumber: adiwgunawan.com)
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH ®.
Dalam artikel Sepuluh Karakteristik Terapis Efektif telah dijelaskan kualitas inti yang perlu dikembangkan untuk dapat menjadi terapis efektif. Selain ini, masih ada faktor penting lain yang juga berpengaruh signifikan terhadahap kualitas dan keefektifan seorang terapis, yaitu pendidikan yang ia jalani.
Dalam proses pendidikan, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keluaran dan kualitas terapis yang dihasilkan. Pertama, kualitas “bahan baku” calon hipnoterapis. Semakin baik kualitasnya maka semakin besar kans untuk menghasilkan hipnoterapis cakap, andal, efektif. Kualitas yang dimaksud tidak semata merujuk pada tingkat kecerdasan intelektual (IQ), tapi lebih pada kecerdasan emosi (EQ), kematangan kepribadian, nilai-nilai hidup (value), kepercayaan (belief), citra diri, dan alasan yang mendasari seseorang memutuskan menjadi terapis.
Faktor kedua adalah kualitas pengajar. Ini adalah aspek paling penting dalam proses mencipta terapis kompeten. Penelitian menunjukkan bahwa dalam setiap kasus yang diteliti, kualitas, kecakapan, dan kemampuan pengajar sangat menentukan dan memengaruhi kualitas terapis yang dihasilkan. Dengan kata lain, pengajar yang benar-benar cakap (high functioning) dapat membentuk, mengembangkan murid dengan kemampuan awal di bawah rata-rata menjadi terapis yang juga cakap dan andal menyerupai dirinya. Demikian sebaliknya, pengajar yang tidak cakap (low functioning) akan menghasilkan terapis tidak efektif, sama seperti dirinya, dan dapat merugikan klien (Rothstein, 1988).
Hipnoterapi dipelajari sebagai cabang ilmu psikologi dan dipraktikkan sebagai seni yang hidup, menelusuri pikiran bawah sadar klien, mencari dan menemukan akar masalah, melakukan rekonstruksi kejadian paling awal untuk mencapai resolusi demi kebaikan hidup klien. Untuk itu, seorang pengajar harus benar-benar menguasai landasan teori materi yang ia ajarkan, menguasai dengan sangat baik beragam teknik intervensi klinis yang telah terbukti dan teruji secara klinis efektif membantu klien mengatasi beragam masalah, dan ia adalah praktisi aktif, berpengalaman, dengan rekam jejak yang baik.
Banyak sekali pengajar hanya menguasai teori, bukan praktisi. Tentu saat mengajar, mereka hanya mengajarkan pengetahuan terapi, bukan cara melakukan terapi efektif. Ini sama seperti seorang “ahli” renang, yang tidak bisa berenang, mengajarkan cara berenang di kelas, tanpa praktik di kolam renang. Saat muridnya masuk ke kolam renang, mereka sudah pasti tidak bisa berenang. Dan saat murid minta petunjuk kepada pengajarnya, ia tidak bisa memberikan bimbingan praktik, tidak berani masuk ke kolam renang, dan hanya bisa memberi petunjuk dari samping kolam dengan mengacu pada buku atau teori.
Ketiga, kurikulum dan fokus program pendidikan. Yang dimaksud dengan konten dan fokus di sini adalah materi yang diajarkan, hasil apa yang ingin dicapai, apakah pendidikan bertujuan menghasilkan hipnoterapis kompeten, mampu melakukan terapi dengan benar, efektif, ataukah hanya sekedar menghasilkan hipnoterapis yang tahu tentang hipnosis dan hipnoterapi namun tidak kompeten dalam melakukan terapi. Di sini perlu dicermati jurang lebar yang memisahkan certified hypnotherapist dan qualified hypnotherapist. Seorang certified hypnotherapist belum tentuqualified melakukan hipnoterapi. Sertifikat, berapapun jumlah yang dimiliki terapis, tidak serta merta menjamin ia adalah terapis efektif.
Pada hampir semua pelatihan hipnoterapi, baik di dalam maupun luar negeri yang pernah saya ikuti atau pelajari kurikulumnya, konten dan fokus hanya pada teori, teknik, dan bila sempat, praktik. Jarang ditemukan ada pelatihan yang fokus mengembangkan variabel karakater terapis efektif, terdiri atas sepuluh aspek. Pengembangan karakter ini tentunya butuh waktu, tidak bisa dicapai melalui proses singkat. Selain itu, sangat jarang ada pengajar hipnoterapi melakukan live therapy di depan kelas, untuk menunjukkan bagaimana seharusnya terapi dilakukan dengan benar, tepat, efektif seperti yang ia lakukan di ruang praktik.
Keempat, modalitas pendidikan yang tidak tepat sasaran. Dalam proses pendidikan menjadi hipnoterapis, atau terapis secara umum, peserta harus, selain mendapat landasan teori, mendapat kesempatan melakukan banyak praktik di bawah supervisi pengajar cakap dan berpengalaman (high functioning). Program pelatihan yang melibatkan banyak pengalaman praktik meningkatkan kemampuan terapi peserta didik secara signifikan.
Saat terapis telah menjalani proses pendidikan dan mengembangkan sepuluh kualitas inti dengan baik, saat praktik membantu klien mengatasi masalah, terapis perlu menyadari bahwa ada empat faktor penting yang juga sangat memengaruhi dan menentukan keberhasilan terapi: klien (40%), relasi (30%), plasebo atau pengharapan (15%), dan teknik (15%).
Faktor klien meliputi beberapa hal, antara lain keinginan (willingness) dan kesiapan (readiness) untuk berubah, kepercayaan atau belief-nya, dukungan orang dekat, pasangan atau keluarga, dan juga lingkungan.
Sementara yang dimaksud dengan faktor relasi adalah relasi terapeutik, bukan relasi biasa, bukan sekedar membangun hubungan persahabatan antara terapis dan klien, atau umumnya disebut rapport. Relasi terapeutik adalah hubungan khusus antara klien dan terapis, berlandaskan rasa saling percaya dan menghargai, komitmen masing-masing pihak untuk melakukan upaya maksimal demi mencapai tujuan terapeutik. Komunikasi antara terapis dan klien diarahkan semata untuk mencapai tujuan terapeutik.
Faktor plasebo atau pengharapan juga memainkan peran penting dalam proses terapi. Pengharapan memainkan peran penting karena salah satu hukum pikiran menyatakan apa yang pikiran harapkan terjadi, cenderung menjadi kenyataan. Jadi, bila klien (sangat) berharap untuk bisa sembuh, tanpa memerhatikan faktor lainnya, kemungkinan ia sembuh sebesar 15%. Ini satu angka yang cukup besar.
Dan yang terakhir adalah faktor teknik yang dikuasai oleh terapis. Ada banyak terapis, karena tidak mengerti atau mengetahui pentingnya sepuluh kualitas inti dan empat faktor yang dijelaskan di atas, lebih fokus memelajari berbagai teknik dengan harapan dapat menjadikan dirinya terapis efektif. Realitanya tidak seperti ini. Justru banyak terapis gagal mencapai tujuan terapi karena lebih sibuk menjalankan peran sebagai mekanik, bukan penyembuh.
Bila terapi yang mereka lakukan belum berhasil memberi hasil seperti yang diharapkan, alih-alih menelisik ke dalam diri apa yang masih kurang, mereka justru menyalahkan teknik karena dianggap tidak efektif. Untuk itu, mereka belajar lagi teknik yang diyakini lebih efektif, dan setelah dipraktikkan, gagal lagi. Demikian seterusnya hingga akhirnya mereka “sadar” bahwa terapi bukanlah bidang yang “sesuai” untuk mereka, dan memutuskan berhenti menjadi terapis.
(Sumber: adiwgunawan.com)