Artikel

Hal< 1 2 3 4 5 6 7 8 >
Total 8 hal
Kesembuhan Semu dan Kesembuhan Tuntas

Kesembuhan Semu dan Kesembuhan Tuntas

12 Desember 2024

Saat ini, banyak individu yang, ketika menghadapi masalah emosi atau perilaku, mencari bantuan hipnoterapis untuk mengatasinya. Ini merupakan perkembangan yang sangat positif karena masyarakat kini semakin menyadari pentingnya kesehatan mental dan memahami berbagai alternatif bantuan yang dapat mereka upayakan, salah satunya adalah hipnoterapi.

Individu yang meminta bantuan hipnoterapis tentu berharap kondisi mereka dapat diatasi dengan aman, nyaman, cepat, dan efektif, dengan jumlah sesi terapi seminimal mungkin. Harapan ini juga menjadi tujuan utama setiap hipnoterapis profesional.

Dalam konteks terapi, terdapat dua jenis kesembuhan: semu dan tuntas. Kesembuhan semu terjadi ketika klien, setelah menjalani sesi konseling atau terapi, merasa dirinya telah sembuh atau terapis menyatakan bahwa klien telah sembuh, namun beberapa waktu kemudian klien kembali mengalami masalah yang sama seperti sebelum menjalani terapi.

Kesembuhan semu sering terjadi, menurut temuan kami, hipnoterapis AWGI, karena proses konseling atau terapi tidak berhasil menemukan dan menetralisasi akar masalah (ISE), yaitu kejadian paling awal dan Ego Personality (EP) yang bermasalah.

Dalam hal penyelesaian akar masalah, penting untuk memastikan apakah ISE (Initial Sensitizing Event) bersifat tunggal (single ISE) atau terdiri dari lebih dari satu kejadian (multi-ISE). Hal yang sama berlaku untuk EP (Ego Personality), di mana perlu dipastikan apakah EP yang menyebabkan masalah bersifat satu lapis (single layer) atau terdiri dari banyak lapis (multi-layer).

Pada kasus EP satu lapis, kesembuhan semu sering terjadi akibat pergeseran EP. EP bermasalah yang saat itu sedang aktif (executive) membuat individu mengalami masalah, tidak ditangani dengan cara atau teknik yang tepat, dan hanya digeser dan digantikan oleh EP lain.

EP bermasalah ini, yang semula aktif, akhirnya menjadi tidak aktif atau dorman untuk waktu tertentu, sampai ia terpicu untuk aktif kembali. Ketika EP bermasalah dorman, masalah individu tampak hilang sementara, seolah-olah sembuh. Namun, saat EP bermasalah ini kembali aktif, individu kembali mengalami masalah. Inilah yang sering disebut sebagai kambuh.

Kesembuhan tuntas, di sisi lain, terjadi ketika klien mengalami perubahan positif yang bertahan lama setelah sesi terapi.

Kesembuhan semu, walau bukan penyelesaian tuntas atas suatu masalah, sebenarnya baik adanya, dalam pengertian, ia memberi bukti dan harapan pada klien bahwa masalah atau kondisinya tidak kekal dan dapat diselesaikan. Yang dibutuhkan adalah upaya lebih lanjut, melalui cara yang tepat untuk bisa merealisasikan kesembuhan tuntas.

Menguji Kesembuhan

Bagaimana mengetahui apakah hasil terapi menghasilkan kesembuhan semu atau kesembuhan tuntas?

Hipnoterapis profesional pasti melakukan uji hasil terapi, sebanyak minimal dua kali, untuk memastikan proses terapi yang mereka lakukan menghasilkan kesembuhan tuntas, bukan kesembuhan semu.

Uji hasil terapi pertama dilakukan segera setelah terapi selesai. Uji hasil terapi kedua dilakukan dengan meminta klien mengecek kondisinya minimal satu minggu setelah terapi.

Contoh Praktis

Misalnya, Anda sebagai klien mengalami masalah cemas dan panik saat mengendarai mobil, berhenti di lampu merah, dan ada banyak kendaraan lain di sekeliling mobil Anda.

Sebelum terapi dilakukan, hipnoterapis profesional akan melakukan pretest. Caranya, ia akan meminta Anda menutup mata, mengingat kejadian terakhir saat Anda berhenti di lampu merah, dikelilingi banyak kendaraan lain, dan mengecek respons Anda. Anda pasti merasa tidak nyaman, cemas, dan panik dengan intensitas tertentu.

Setelah terapi, hipnoterapis akan melakukan post-test. Ia akan meminta Anda menutup mata dan membayangkan kejadian yang sama, yaitu berhenti di lampu merah dan dikelilingi banyak kendaraan lain, lalu mengecek respons Anda. Jika terapi berhasil, emosi cemas dan panik tidak lagi Anda rasakan. Ini artinya, Anda sudah sembuh.

Namun, hipnoterapis profesional akan melakukan satu uji hasil terapi lagi. Ia akan meminta Anda untuk mengecek respons Anda dalam situasi nyata selama seminggu ke depan, misalnya saat benar-benar berhenti di lampu merah dikelilingi banyak kendaraan.

Hasil dari uji ini akan memastikan apakah terapi yang dilakukan menghasilkan kesembuhan tuntas atau hanya kesembuhan semu.

Hak dan Kewajiban dalam Terapi

Jika Anda adalah seorang klien yang menggunakan jasa hipnoterapis untuk membantu mengatasi suatu masalah, Anda berhak meminta hipnoterapis Anda melakukan uji hasil terapi. Hal ini juga merupakan kewajiban setiap hipnoterapis profesional.

Uji hasil terapi bertujuan untuk memastikan bahwa kesembuhan yang Anda alami adalah kesembuhan tuntas, bukan kesembuhan semu. Perlu diingat, uji hasil terapi ini dilakukan segera setelah sesi terapi selesai, saat Anda masih duduk di kursi terapi.

Bila hipnoterapis Anda tidak bersedia melakukan uji hasil terapi, Anda dapat melakukannya sendiri mengikuti cara yang telah dijelaskan di atas. 

 

Saat hipnoterapis atau anda sendiri melakukan uji hasil terapi, mengingat kembali kejadian yang sebelumnya memicu perasaan tidak nyaman, dan ternyata Anda masih merasakan perasaan tidak nyaman, ini ada dua kemungkinan.

 

Pertama, perasaan tidak nyaman ini telah jauh berkurang tapi belum hilang tuntas. Ini artinya terapi yang dilakukan membuahkan hasil namun belum mencapai hasil maksimal.

 

Kedua, perasaan tidak nyaman tetap sama intensitasnya atau bahkan meningkat. Ini artinya, terapi yang dilakukan sama sekali tidak membuahkan hasil.
Perbedaan Hipnoterapis Profesional dan Amatir dalam Memahami Kondisi Hipnosis

Perbedaan Hipnoterapis Profesional dan Amatir dalam Memahami Kondisi Hipnosis

26 November 2024

Hipnoterapi adalah terapi, dapat menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis ini dibutuhkan untuk bisa menembus faktor kritis pikiran sadar sehingga proses terapi yang dilakukan tidak dikritisi atau "diganggu" oleh pikiran sadar klien.

Agar klien bisa mengalami kondisi hipnosis, hipnoterapis menggunakan induksi hipnotik. Namun, terdapat tiga pemahaman utama yang membedakan hipnoterapis profesional dan amatir dalam memahami kondisi hipnosis.

Hipnoterapis amatir (pemula) berpandangan bahwa klien masuk ke kondisi hipnosis berkat upaya yang mereka lakukan terhadap klien. Sebaliknya, hipnoterapis profesional memahami bahwa klien masuk ke kondisi hipnosis atas kehendak dan izin klien. Terapis hanya memfasilitasi proses tersebut.

Hipnoterapis amatir fokus pada skrip induksi. Mereka menyiapkan banyak skrip induksi—biasanya 10–15 skrip—untuk digunakan pada tipe klien yang berbeda dengan harapan salah satu skrip berhasil menghipnosis klien.

Bila ada klien karena sesuatu hal tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis, hipnoterapis amatir akan menyimpulkan bahwa klien adalah tipe yang tidak bisa dihipnosis.

Hipnoterapis pemula lebih fokus pada upaya untuk bisa segera mempratikkan teknik induksi dan teknik terapi untuk mengatasi masalah klien. Mereka kurang cermat dan detail dalam proses wawancara mendalam dan merumuskan masalah klien.

Hipnoterapis profesional menyadari pentingnya skrip induksi tetapi lebih fokus pada memahami kondisi, situasi, dan kebutuhan klien. Mereka membangun relasi dan kepercayaan dengan klien, memberikan rasa aman dan nyaman, yang menjadi fondasi penting dalam proses hipnoterapi.

Hipnoterapis profesional mengerti bahwa kondisi hipnosis adalah keniscayaan saat klien percaya pada terapis, sadar akan kebutuhan terapinya, siap, bersedia, dan ikhlas menjalankan sepenuhnya tuntunan terapis.

Mereka memahami dengan jelas bahwa hipnosis bukan sesuatu yang dilakukan kepada klien, melainkan sesuatu yang dilakukan klien pada dirinya sendiri. Hypnosis is not something done to the client. Hypnosis is done by the client.

Mereka juga mengerti bahwa klien masuk ke kondisi hipnosis, sedalam yang dibutuhkan untuk mengatasi masalahnya, dan klien bertahan sedangkal yang dibutuhkan untuk menjaga keselamatan hidupnya.

Kedua, hipnoterapis amatir tidak mengerti bahwa kondisi hipnosis sejatinya terdiri dari banyak jenjang kedalaman. Dan terdapat dua indikator kondisi hipnosis: fisik dan mental. Pada setiap kedalaman hipnosis bisa muncul fenomena spesifik dan unik, baik pada aspek fisik maupun mental.

Hipnoterapis amatir hanya menggunakan atau mengandalkan indikator fisik sebagai penentu kondisi hipnosis. Indikasi fisik ini antara lain: napas melambat dan ritmik, wajah datar, warna kulit wajah menjadi pucat, mata fokus pada satu objek (fiksasi), REM (rapid eye movement), mata menutup tiba-tiba, menelan ludah, lakrimasi, sklera memerah, detak jantung melambat, katalepsi pada tungkai, tubuh terasa berat, dan suhu tubuh berubah. Semua indikator ini sesungguhnya menunjukkan kondisi hipnosis dangkal.

Hipnoterapis profesional mengerti bahwa indikator ini lebih relevan untuk klien dengan tipe sugestibilitas fisik tetapi tidak akurat untuk klien dengan tipe sugestibilitas emosi. Mereka menggunakan indikator mental untuk memastikan secara akurat kedalaman kondisi hipnosis yang sedang dialami klien.

Ketiga, hipnoterapis amatir umumnya tidak memahami bahwa kedalaman hipnosis bersifat dinamis dan dapat berfluktuasi selama sesi terapi.

Hipnoterapis profesional mengerti bahwa untuk proses dan hasil hipnoterapi optimal membutuhkan dua hal: kedalaman dan kestabilan kondisi hipnosis. Mengingat sifat kondisi hipnosis yang dinamis, hipnoterapis profesional menggunakan teknik tertentu untuk memastikan dan mempertahankan kedalaman hipnosis klien pada rentang yang sesuai, menjaga stabilitas kondisi hipnosis selama sesi berlangsung, dan memastikan dampak terapi pada pikiran bawah sadar klien menjadi sangat kuat dan bertahan lama.

Memahami Cara Kerja Otak dan Hipnoterapi: Mengapa Pengetahuan Saja Tidak Cukup

Memahami Cara Kerja Otak dan Hipnoterapi: Mengapa Pengetahuan Saja Tidak Cukup

9 November 2024

Dalam uraian teori yang menjadi landasan protokol hipnoterapi yang diajarkan di kelas pendidikan hipnoterapis profesional Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH), saya juga menjelaskan hasil penelitian terkini tentang hubungan antara cara kerja otak dan proses hipnoterapi. Ini bertujuan untuk memberikan peserta pengetahuan yang solid, berlandaskan riset dan kajian ilmiah, sehingga mereka memiliki pemahaman yang mendalam dan rasa percaya diri yang tinggi.

Saya sangat menganjurkan para peserta didik SECH untuk terus belajar dan mendalami hasil-hasil penelitian terkait usai pendidikan. Saya senang bisa berbagi berbagai artikel jurnal dan ebook yang membahas topik yang mereka minati.

Terlepas dari itu, satu hal yang sangat saya tekankan adalah bahwa proses belajar hipnoterapi yang ideal adalah dengan membangun kompetensi terapeutik yang tinggi serta kecakapan dalam membantu klien mengatasi masalah mereka. Bila mereka tidak memahami secara neurosains, bagaimana proses terapi yang mereka lakukan berhasil membantu klien sembuh, ini bukan masalah.

Yang paling penting adalah, mengingat mereka belajar dan mempraktikkan hipnoterapi, bukan neurosains, mereka harus benar-benar memahami, dari perspektif ilmu pikiran dan hipnoterapi, mengapa terapi yang mereka lakukan konsisten memberikan hasil yang efektif dan bertahan lama. Ini saja sudah cukup.

Sebagai hipnoterapis, memiliki pemahaman yang baik tentang cara kerja otak yang mendasari hipnoterapi tentu sangat berharga. Pengetahuan ini membantu terapis memahami bagaimana hipnoterapi memengaruhi otak, yang pada akhirnya memengaruhi emosi, pola pikir, serta perilaku. Namun, memahami sains di balik hipnoterapi saja tidak cukup untuk secara efektif menyelesaikan masalah klien.

Di kelas SECH, saya menjelaskan tentang amygdala hijack atau pembajakan amigdala, yaitu kondisi ketika amigdala mengambil alih kendali dan menyebabkan respons emosional yang intens. Kondisi ini terjadi ketika otak rasional diabaikan, dan sinyal langsung dikirim ke "otak emosional".

Istilah amygdala hijack pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence untuk menggambarkan situasi ketika seseorang bereaksi secara berlebihan atau impulsif akibat pemicu emosional.

Amigdala adalah bagian dari sistem limbik di otak yang berperan dalam memproses emosi, khususnya emosi yang berhubungan dengan rasa takut, marah, dan stres. Ketika seseorang menghadapi situasi yang dianggap mengancam atau memicu stres, amigdala mengirim sinyal peringatan ke tubuh untuk bereaksi cepat dalam bentuk respons lawan atau lari (fight-or-flight response).

Namun, dalam situasi amygdala hijack, respons ini terjadi terlalu cepat, sebelum bagian otak lain yang lebih rasional, seperti korteks prefrontal, memiliki kesempatan untuk mengevaluasi situasi secara logis. Hasilnya adalah reaksi emosional yang sangat kuat, yang sering kali disertai dengan keputusan atau tindakan yang kurang bijak.

Saat seseorang mengalami amygdala hijack, mereka bisa mengalami kondisi, antara lain: marah atau takut yang berlebihan, gelisah atau cemas tanpa alasan yang jelas, tidak mampu berpikir jernih atau membuat keputusan yang rasional, melakukan tindakan impulsif yang biasanya mereka sesali kemudian.

Contoh amygdala hijack yang umum adalah ketika seseorang bereaksi marah secara berlebihan dalam sebuah argumen, kemudian merasa menyesal setelah situasi mereda. Reaksi tersebut disebabkan oleh amigdala yang "mengambil alih," menyebabkan respons emosional yang tidak terkendali.

Saya menjelaskan bagaimana suatu informasi, saat diterima oleh pikiran (otak) melalui enam indera, diproses di beberapa bagian otak seperti talamus, hipotalamus, hipokampus, amigdala, korteks prefrontal, aktivasi poros HPA, dan lainnya.

Saya bertanya kepada para peserta, "Apakah dengan Anda mengetahui cara kerja amygdala hijack, Anda bisa langsung menggunakan pengetahuan ini untuk membantu klien Anda?"

Jawabannya, tidak. Kita adalah hipnoterapis, bukan praktisi neurosains. Pengetahuan dan kajian neurosains serta hipnoterapi kita gunakan untuk memberikan validasi ilmiah atas apa yang kita lakukan.

Saya kemudian menguraikan secara detail bagaimana Quantum Hypnotherapeutic ProtocolDual Layer Therapy, yang mereka praktikkan dapat menyelesaikan masalah amygdala hijack dengan memproses pikiran bawah sadar (PBS) yang berisi pengalaman traumatis serta emosi yang memicu respons fight-or-flight. Penjelasan dan pemahaman ini semakin kuat saat dipadukan dengan pengetahuan tentang cara kerja otak.

Ada satu teknik yang saya ciptakan, berdasar pemahaman akan mekanisme amygdala hijack, yang sangat efektif dan mampu dengan cepat "mendinginkan" amydala yang "panas" (overaroused). Namun ini bukan teknik hipnoterapi. Teknik ini dilakukan dalam kondisi sadar normal, sama sekali tidak membutuhkan kondisi trance.

Kunci sukses hipnoterapi terletak pada kompetensi dan keterampilan terapis dalam menerjemahkan pengetahuan ini menjadi teknik-teknik terapeutik yang praktis. Seorang terapis yang memiliki pengetahuan tetapi kurang pengalaman mungkin memahami mekanisme trance dan respons neural, tetapi tanpa kemampuan untuk membangun hubungan, menyesuaikan teknik, dan membimbing klien melalui proses yang aman dan memberdayakan, terapi tidak dapat memberikan hasil yang diinginkan.

Hipnoterapi yang efektif memerlukan kombinasi empati, komunikasi, kemampuan beradaptasi, dan keahlian teknis. Terapis harus tahu bagaimana berinteraksi dengan kebutuhan unik klien, menemukan masalah mendasar, dan menggunakan teknik hipnoterapi yang memfasilitasi perubahan nyata. Ini melibatkan penyesuaian pendekatan untuk setiap individu, menyesuaikan teknik sesuai kebutuhan, serta membangun lingkungan yang aman dan penuh kepercayaan di mana klien merasa terbuka dan termotivasi untuk berubah.

Singkatnya, meskipun pengetahuan tentang cara kerja otak membentuk pemahaman dasar, kompetensi terapis dalam menerapkan pengetahuan ini yang sebenarnya membawa transformasi dan penyelesaian masalah klien.

Alasan Saya Tidak Melakukan Terapi di Luar Kota

Alasan Saya Tidak Melakukan Terapi di Luar Kota

3 November 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Banyak sahabat yang berharap dapat bertemu saya saat saya berkunjung ke kota tertentu untuk menjalani sesi terapi. Banyak yang kecewa karena saya tidak pernah memberikan layanan terapi ketika berada di luar kota. Saya telah berulang kali menyampaikan bahwa saya hanya melakukan terapi di kota Surabaya.

Kejadian terakhir, seorang sahabat merasa kecewa karena tidak dapat bertemu saya di kota Medan. Minggu lalu, kami menyelenggarakan dua kegiatan besar: Parenting Class, sebuah workshop sehari penuh yang dihadiri 100 peserta, dan seminar Life Transformation selama 4 jam yang dihadiri lebih dari 1.000 peserta.

Kebijakan untuk tidak melakukan terapi di luar kota sudah saya berlakukan sejak awal menjalani profesi sebagai hipnoterapis. Ada alasan penting yang mendasari kebijakan ini, yang semata-mata demi kebaikan dan kesejahteraan klien.

Protokol hipnoterapi yang saya ciptakan mensyaratkan sesi konseling/terapi hingga maksimal 4 sesi. Jika dalam satu atau dua sesi masalah klien telah berhasil diatasi, klien tidak perlu melanjutkan ke sesi berikutnya. Namun, jika diperlukan, sesi terapi bisa dilanjutkan hingga empat sesi.

Saat klien datang kepada saya untuk menjalani hipnoterapi, ia harus memiliki komitmen untuk menjalani hingga maksimal empat sesi terapi. Hal yang sama berlaku bagi saya, sebagai terapis. Saya terikat komitmen untuk menyediakan waktu dan layanan bagi klien hingga 4 sesi.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa masalah klien umumnya berhasil diatasi dalam satu atau dua sesi terapi berdurasi antara 3 hingga maksimal 4 jam. Namun, ada juga kasus tertentu yang membutuhkan lebih dari dua sesi terapi, dengan jarak antar-sesi idealnya satu minggu.

Jadi, misalnya jika saya melakukan terapi di Medan, lalu kembali ke Surabaya, dan satu minggu kemudian klien melaporkan bahwa kondisinya belum membaik sepenuhnya, apa yang harus dilakukan? Sesuai komitmen, klien perlu bertemu saya untuk menjalani sesi kedua.

Bagaimana jika karena suatu alasan klien tidak bisa datang ke Surabaya untuk bertemu saya?

Di sinilah tanggung jawab saya sebagai terapis harus dijalankan. Saya yang harus berangkat ke Medan untuk melanjutkan sesi kedua. Ini tidak bisa ditawar. Apa pun yang terjadi, saya harus berkomitmen dan berangkat ke Medan untuk melanjutkan sesi dengan klien ini.

Selain itu, tidak etis jika saya, karena tidak bersedia ke Medan, merujuk klien ke murid saya yang adalah hipnoterapis di Medan untuk melanjutkan sesi terapi. Klien mungkin tidak bersedia, karena ia lebih percaya kepada saya sebagai terapis yang telah membantunya, daripada terapis lain.

Agar hipnoterapi dapat dilakukan secara optimal, ada syarat yang harus dipenuhi, terutama terkait dengan ruang terapi. Saya tidak bersedia melakukan terapi di ruang yang seadanya, yang tidak memenuhi standar AWGI, apalagi jika terapi dilakukan di kamar hotel.

Kebijakan ini juga berlaku bagi setiap hipnoterapis AWGI dan AHKI (Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia).

Alasan Kami Tidak Memberi Referral Fee

Alasan Kami Tidak Memberi Referral Fee

2 November 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Di tulisan saya sebelumnya, saya menjawab pertanyaan seorang sahabat bahwa saya, dan para hipnoterapis AWGI, tidak memberi referral fee kepada pihak yang merekomendasi klien untuk mendapat bantuan profesional kami.

Selanjutnya, ada yang bertanya, di kolom komentar, bertanya apa alasan kami tidak memberi referral fee.

Jawaban saya:

Saya dan para hipnoterapis AWGI tidak memberikan referral fee kepada pihak yang merujuk klien kepada kami, baik dari kalangan profesional maupun orang awam. Hal ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan terkait etika, profesionalisme, dan kualitas pelayanan. Berikut penjelasannya:

Menjaga Etika Profesi dan Integritas

Seperti profesi lain dalam bidang kesehatan mental, hipnoterapis terikat oleh kode etik yang mengutamakan pelayanan berbasis kebutuhan klien. Pemberian referral fee berpotensi mengaburkan batas antara kepentingan klien dan keuntungan finansial, yang dapat mengurangi objektivitas dalam memberikan pelayanan terbaik. Hipnoterapis wajib bertindak profesional tanpa melibatkan pemberian insentif finansial kepada pihak ketiga.

Mencegah Konflik Kepentingan

Pemberian referral fee dapat menimbulkan risiko bahwa rujukan lebih didasarkan pada keuntungan pribadi daripada kebutuhan klien. Hal ini dapat menyebabkan rujukan yang kurang tepat atau tidak sesuai, yang pada akhirnya merugikan klien serta menurunkan kualitas layanan hipnoterapi.

Membangun Kepercayaan Klien

Jika klien mengetahui bahwa hipnoterapis memberikan referral fee kepada pihak yang merujuk mereka, hal ini dapat menciptakan persepsi negatif dan merusak kepercayaan klien terhadap hipnoterapis. Klien perlu diyakinkan bahwa rujukan yang mereka terima murni berdasarkan kebutuhan, bukan karena adanya insentif finansial bagi perujuk.

Mematuhi Prinsip Profesionalisme dalam Layanan Terapi

Layanan hipnoterapi berfokus pada kesehatan mental dan menuntut komitmen tinggi terhadap profesionalisme. Pemberian referral fee dapat merusak reputasi hipnoterapis serta menciptakan kesan bahwa terapi dilakukan demi keuntungan finansial, bukan demi kesejahteraan terbaik klien. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip profesional di bidang kesehatan mental.

Menghindari Komersialisasi Layanan Terapi

Hipnoterapis bertujuan membantu klien dalam menangani masalah emosi atau perilaku. Pemberian referral fee dapat menciptakan kesan bahwa layanan terapi diperlakukan sebagai bisnis komersial, yang bertentangan dengan tujuan utama layanan kesehatan mental—memberikan bantuan yang tulus dan sesuai kebutuhan.

Mencegah Penyalahgunaan dan Eksploitasi Klien

Adanya referral fee dapat membuka peluang bagi pihak tertentu untuk mengeksploitasi klien demi keuntungan pribadi. Dengan tidak memberikan insentif finansial, hipnoterapis memastikan bahwa keputusan rujukan didasarkan pada kebutuhan dan kesejahteraan klien, bukan keuntungan pihak lain.

Secara keseluruhan, menghindari pemberian referral fee membantu hipnoterapis menjaga komitmen terhadap etika, kepercayaan, dan profesionalisme, memastikan bahwa klien yang datang ke terapis benar-benar membutuhkan bantuan, dan bahwa rujukan diberikan berdasarkan kebutuhan, bukan insentif finansial.

Demikianlah adanya...

Demikianlah kenyataannya...

Tiga Tahap Kritis Menjadi Hipnoterapis Profesional

Tiga Tahap Kritis Menjadi Hipnoterapis Profesional

18 Juni 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Di saat istirahat makan siang, saya berbincang dengan beberapa peserta di meja makan. Saya tanya mereka, bagaimana mereka tahu tentang pelatihan hipnoterapi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH)

Ada yang tahu SECH dari membaca tulisan dan video yang saya tayangkan di media sosial. Ada yang mendapat informasi dari anggota keluarga atau teman yang telah belajar SECH dan berpraktik sebagai hipoterapis aktif. Ada beberapa yang sebelumnya telah menjalani hipnoterapi dengan hipnoterapis AWGI, merasakan manfaat, dan memutuskan untuk belajar agar juga bisa membantu orang lain. Ada yang mendapat referensi dari sejawat ilmuwan psikologi.

Ada yang memang sudah lama berniat belajar hipnoterapi, tidak tahu harus belajar ke mana, dan mencari informasi di internet. Pencarian ini mengantarkan mereka pada beberapa nama pengajar dan lembaga. Setelah mereka mempelajari dengan cermat rekam jejak pengajar atau lembaga yang mengajar hipnoterapi, melakukan pembandingan, akhirnya memutuskan belajar hipnoterapi di AWGI.

Saya berbagi kisah dan pengalaman saya belajar hipnoterapi dengan para peserta. Saya ceritakan betapa sulit saya bisa mendalami hipnoterapi yang efektif dan ilmiah. Saya sampai harus beli sangat banyak buku dan video dari luar negeri. Dan saya harus benar-benar jeli mencari dan menemukan guru-guru hipnoterapi terbaik di dunia. Saya akhirnya memutuskan belajar hipnoterapi langsung ke beberapa pakar hipnoterapi terbaik di Amerika.

Mereka bertanya kepada saya, apa kriteria yang saya gunakan untuk menentukan kualitas guru sebagai tempat belajar saya.

Saya menjelaskan bahwa sebelum menetapkan kriteria untuk guru, saya perlu terlebih dahulu menetapkan tujuan saya dalam mempelajari hipnoterapi. Apakah saya hanya ingin mendapatkan gelar CHt tanpa mempermasalahkan kualitas pelatihan yang diikuti? Apakah saya sekadar ingin mengetahui apa itu hipnoterapi? Apakah saya ingin bisa berpraktik hipnoterapi? Kompetensi seperti apa yang ingin saya capai? Apakah saya ingin bisa menangani kasus ringan, sedang, atau berat?

Saya memilih menjadi hipnoterapis dengan kompetensi terapeutik tinggi, menjadi hipnoterapis terbaik yang saya bisa menjadi. Bagi saya, gelar tidak penting, yang penting adalah kompetensi. Saat saya melakukan terapi, yang dibutuhkan adalah kompetensi, bukan gelar. Oleh karena itu, saya menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh pengajar hipnoterapi yang akan saya datangi.

Kriteria ini meliputi, antara lain:

1. 𝐑𝐞𝐤𝐚𝐦 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐩𝐮𝐭𝐚𝐬𝐢: Pengajar harus memiliki rekam jejak sebagai hipnoterapis aktif, cakap, andal, berpengalaman, dengan kredibilitas dan reputasi yang baik.

2. 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢: Pengajar telah menulis minimal satu buku berkualitas yang membahas hipnoterapi.

3. 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢: Nama pengajar sering disebut atau menjadi rujukan penulis atau praktisi hipnoterapi lainnya.

4. 𝐊𝐨𝐦𝐩𝐞𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐮𝐤𝐭𝐢: Pengajar bersedia menunjukkan kompetensinya melalui live therapy di depan murid-muridnya, membuktikan teori, strategi, dan teknik terapi yang diajarkan.

5. 𝐀𝐥𝐮𝐦𝐧𝐢 𝐁𝐞𝐫𝐤𝐮𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬: Alumni pelatihannya terbukti memiliki kompetensi terapeutik tinggi dan aktif berpraktik.

6. 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐭𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐭𝐚𝐩 𝐌𝐮𝐤𝐚: Pelatihannya harus diselenggarakan secara tatap muka.

7. 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐈𝐥𝐦𝐢𝐚𝐡: Menulis artikel jurnal tentang hipnoterapi (opsional).

Dengan menggunakan kriteria ini, saya bertemu dengan guru-guru hipnoterapi terbaik dunia seperti Gil Boyne, Randal Churchill, Gerald Kein, John Butler, Tom Silver, dan Anna Wise. Semua guru ini melakukan live therapy di kelas, menangani klien dengan masalah riil, bukan sekadar simulasi. Ini memungkinkan kami sebagai murid melihat, belajar, dan memahami proses hipnoterapi yang benar dan efektif dari awal hingga akhir.

Pengalaman belajar dengan guru-guru saya ini menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama. Sejak pertama saya menyelenggarakan pelatihan hipnoterapi profesional di tahun 2008, saya melakukan live therapy sebagai bagian dari proses pendidikan untuk menghasilkan hipnoterapis profesional berkompetensi terapeutik tinggi.

Untuk memastikan setiap peserta didik SECH mampu menumbuhkembangkan kompetensi terapeutik tertinggi yang bisa mereka capai, saya memutuskan menaikkan standar proses pendidikan hipnoterapis lebih tinggi lagi, dengan memberikan bimbingan dan supervisi pada setiap praktik yang dilakukan para peserta didik SECH.

Ini bukan hal mudah karena sangat menyita waktu, menguras energi dan pikiran saya. Saya membaca setiap laporan kasus terapi yang dilakukan para peserta SECH, menilai, dan memberi saran, masukan untuk perbaikan dan peningkatan kompetensi mereka.

Keputusan ini didasarkan pada pengalaman pribadi saya. Saya tahu betapa sulitnya mencapai kompetensi tinggi tanpa bimbingan dan supervisi ketat yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan oleh pengajar berpengalaman.

Berdasar pengalaman saya, ada tiga tahap kritis yang harus dilalui setiap peserta didik untuk menjadi hipnoterapis kompeten:

1. 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢: Peserta harus memahami landasan teori yang kuat, pengetahuan yang mendalam tentang cara kerja pikiran, pendekatan, metode, strategi, dan teknik-teknik terapi yang telah teruji, terbukti aman, dan efektif. Tahap ini sangat penting karena menjadi landasan untuk tahap-tahap berikutnya.

2. 𝐈𝐧𝐝𝐮𝐤𝐬𝐢 𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬: Peserta harus mampu melakukan induksi dan berhasil menuntun klien masuk ke kedalaman kondisi hipnosis yang tepat untuk melakukan terapi. Keberhasilan induksi membangun rasa percaya diri yang sangat penting dalam praktik hipnoterapi. Di kelas SECH, selain menjelaskan landasan teori dari skrip induksi yang digunakan, saya juga menunjukkan cara penggunaan skrip yang benar dengan melakukan induksi pada peserta.

3. 𝐏𝐫𝐚𝐤𝐭𝐢𝐤 𝐌𝐚𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢: Peserta harus mampu melakukan praktik mandiri yang efektif dan sukses membantu klien, karena keberhasilan pada tahap awal ini sangat penting untuk menguatkan kepercayaan diri mereka. Ini hanya bisa dicapai jika peserta memiliki pengetahuan dan pemahaman yang benar dan mendalam tentang hipnoterapi, mampu melakukan induksi dengan berhasil, dan telah melihat secara langsung bagaimana terapi dilakukan. Saya memberikan kesempatan kepada peserta untuk mempelajari empat video rekaman live therapy yang saya lakukan di angkatan SECH sebelumnya dan melakukan empat live therapy di depan kelas.

Peserta juga diberi basis data dan pengalaman terapi sejak minggu pertama hingga hari terakhir pendidikan. Saya menceritakan berbagai kasus yang pernah saya dan hipnoterapis AWGI tangani, strategi dan teknik yang digunakan, dan hasil terapi yang dicapai.

Dengan pendekatan ini peserta dapat menjadi hipnoterapis profesional dengan kompetensi terapeutik tinggi, mampu membantu klien secara efektif, dan berkontribusi positif dalam masyarakat.

Otak Tidak Bisa Menerima Kata Negatif: Kata Siapa?

Otak Tidak Bisa Menerima Kata Negatif: Kata Siapa?

9 Juni 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Saya sering mendapat pertanyaan dari pembaca buku dan peserta pelatihan, "Pak, katanya otak atau pikiran tidak bisa menerima kata negatif (negasi) seperti tidak, jangan, tanpa, tidak boleh, dan sejenisnya. Apa benar seperti ini?"
 
Jawaban singkat, "Ini tidak sepenuhnya benar". Saya ingat pertama kali menulis tentang hal ini di dinding FB saya tanggal 18 Desember 2012. Dan dalam beberapa kesempatan, saya juga telah mengulas tentang ini.
 
Pemahaman awam dan juga sering saya temukan di berbagai buku memang mengatakan bahwa otak atau pikiran tidak bisa menerima kata yang bersifat negasi. Dasar pemikirannya adalah saat seseorang diminta "Jangan memikirkan gajah" maka yang terjadi ia justru memikirkan gajah.
 
Prosesnya adalah untuk bisa "jangan memikirkan" maka harus ada "gajah" terlebih dahulu dimunculkan di pikiran. Begitu "gajah" ini muncul maka "jangan memikirkan" sudah tidak lagi bisa bekerja karena gambar ini akan tetap ada di pikiran.
 
Pemahaman ini benar namun tidak semuanya benar. Bagaimana bila kita menggunakan kalimat "Saya tidak kaya"? Dengan pemahaman atau logika pada contoh di atas, berarti otak/pikiran akan "menghilangkan" kata "tidak" dan akan hanya menjalankan kalimat "Saya kaya".
 
Bila logika di atas adalah senantiasa benar, kita dapat menggunakan kalimat sugesti atau afirmasi dengan kata negatif seperti "Saya tidak rajin", "Saya tidak bahagia", "Saya tidak cerdas", "Saya tidak cantik", "Saya tidak pintar", "Saya tidak beruntung", "Saya tidak sehat", atau sejenisnya dan, sekali lagi, berdasar logika di atas, yang akan diterima oleh otak atau pikiran adalah kalimat positif karena kata "tidak" diabaikan atau tidak diterima.
 
Pertanyaan saya, beranikah kita memberi sugesti pada diri sendiri menggunakan kalimat-kalimat di atas dan berharap hasil positif? Jawabannya pasti tidak.
 
Lalu, pemahaman yang benar seperti apa?
 
Saya mendapat pemahaman yang berbeda saat mempelajari hipnoterapi klinis khususnya mengenai mekanisme, cara kerja, hukum, dan sifat pikiran bawah sadar. Dalam dunia hipnoterapi klinis, dalam konteks menyusun sugesti untuk klien, ada terminologi "pharsing". Pharsing adalah kecenderungan pikiran bawah sadar untuk menolak kata-kata yang bersifat negasi (tidak, jangan, atau sejenisnya) saat seseorang berada dalam kondisi relaksasi pikiran yang dalam (deep trance).
 
Kata kunci pada definisi di atas adalah "kecenderungan" dan "relaksasi pikiran yang dalam". Cenderung berarti tidak selalu. Relaksasi pikiran yang dalam berarti seseorang berada dalam kondisi hipnosis yang dalam.
Memang sebaiknya, diusahakan, untuk selalu menggunakan kata-kata positif. Misal "jangan malas" diganti dengan "rajin", "jangan telat" diganti dengan "datang tepat waktu", "jangan lupa" diganti dengan "ingat".
Namun bila ternyata tidak ada kata positif pengganti, misal untuk sugesti berhenti merokok, "Saya bukan perokok", maka gunakan sugesti ini walau ada kata negatif. Otak atau pikiran kita dapat memahami apa yang diinginkan.
Live Therapy Sebagai Landasan Kompetensi Terapeutik

Live Therapy Sebagai Landasan Kompetensi Terapeutik

5 Juni 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Salah satu sejawat hipnoterapis AWGI, alumnus SECH tahun 2023, kirim pesan melaporkan kasus yang ia tangani. Kasus pertama, fobia terbang dengan pesawat. Kasus ini di permukaan tampak sederhana, namun di baliknya terdapat akar masalah serius. Kasus kedua, klien dengan kecenderungan melakukan tindakan bunuh diri. Ia mampu menangani keduanya dengan sangat baik dan tuntas, masing-masing dalam satu sesi terapi. Hasil tindak lanjut pada kedua klien ini, sebulan kemudian, didapatkan hasil bahwa keduanya sangat baik dan stabil kondisinya.

Sejawat ini secara khusus menyampaikan terima kasih karena saat mengikuti pendidikan hipnoterapis di AWGI, ia berkesempatan tidak hanya menonton dan mempelajari video rekaman live therapy, juga terutama ia menyaksikan langsung live therapy yang saya lakukan di depan kelas.

Menurutnya, dengan menyaksikan live therapy ia belajar cara cepat membangun relasi terapeutik yang kuat, membangun rasa percaya dan aman dalam diri klien sehingga klien bersedia terbuka dan menceritakan masalahnya.

Ia menjadi lebih cermat dan teliti saat mendengar cerita klien dan mengamati bahasa tubuh dan ekspresi wajah klien sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Ia mendapat "feel" bagaimana sikap, perhatian, keyakinan dan hati terapis saat membantu klien di ruang praktik.

Dan yang juga sangat penting, ia menyaksikan langsung, belajar, dan mengerti cara efektif dan efisien dalam menggunakan strategi dan teknik terapi seturut dinamika yang terjadi di ruang praktik. Menurutnya, ia mengerti bagaimana menjadi peka, tanggap, dan lentur dalam membantu klien. Pembelajaran ini berdampak signifikan dan memampukan dirinya bekerja optimal membantu klien.

Saya menyadari bahwa proses hipnoterapi sangat kompleks. Sejak pertama kali saya mengajar hipnoterapi di tahun 2008, hingga saat ini, saya menetapkan live therapy di depan kelas sebagai salah satu syarat mutlak untuk membangun kompetensi terapeutik setiap peserta didik.

Berdasar pengalaman saya belajar dan membangun kecakapan terapi, terapis pemula tidak akan bisa membangun kompetensi terapeutik tinggi hanya dengan mendapat pelajaran di kelas, baca workbook, nonton video, dan kemudian langsung praktik mandiri. Bila ini yang terapis pemula lakukan, sama seperti saya dulu, yang terjadi adalah kebingungan, tak tahu arah, dan akhirnya mengalami kegagalan berulang.

Hipnoterapis pemula sangat butuh melihat langsung proses terapi yang benar agar mereka memilik basis data yang kuat sebagai acuan dan tolok ukur (benchmark). Mereka juga butuh mendapat bimbingan berkelanjutan hingga akhirnya mencapai standar kompentensi yang ditetapkan.

Di kelas SECH saya menunjukkan langsung aplikasi ilmu yang diajarkan di kelas ke dalam praktik nyata. Masalah yang saya tangani tidak boleh masalah ringan atau sederhana seperti fobia. Masalahnya harus cukup kompleks sehingga teknik yang diajarkan di kelas dapat dipraktikkan dan ditunjukkan dengan segala dinamikanya.

Saat peserta didik melihat langsung teknik yang mereka pelajari berhasil membantu klien mengatasi masalah, pengalaman dan bukti ini menumbuhkan rasa percaya diri kuat bahwa mereka pun pasti bisa.

Saya melakukan total empat sesi live therapy di depan kelas, dengan klien yang berasal dari luar peserta. Jika klien adalah peserta workshop, proses terapinya tidak dapat menunjukkan dinamika yang terjadi di ruang praktik, karena peserta mengenal saya sebagai pengajar dan figur otoritas. Sebaliknya, jika klien berasal dari luar dan tidak mengenal saya, proses terapi berjalan persis seperti yang terjadi di ruang praktik saya.

Di kelas SECH saya hanya mengajarkan teknik yang saya gunakan di ruang praktik. Teknik-teknik ini telah teruji aman dan efektif mengatasi masalah klien dengan cepat dan tuntas. Saya tidak mengajarkan teknik yang belum pernah saya gunakan, walau di berbagai literatur diklaim efektif. Teknik yang saya ajarkan adalah intisari dari hasil belajar, praktik, dan temuan kami sejak tahun 2005 hingga kini.

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis, saya punya banyak sekali teknik untuk kasus berbeda. Misal, untuk menangani klien yang mengalami fobia, saya gunakan teknik A. Untuk masalah kecemasan, teknik B. Masalah adiksi, teknik C. Untuk insomnia, teknik D. Kebiasaan menunda, teknik E, dan seterusnya.

Karena ada banyak teknik yang harus saya ingat, saya sering mengalami kebingungan. Setiap kali menangani klien, saya tidak dapat fokus mendengarkan dan memahami masalah mereka, karena pikiran saya justru sibuk memikirkan teknik mana yang akan saya gunakan.

Kondisi ini menjadi semakin rumit bila ternyata masalah klien bersifat multilayer atau berlapis. Misal klien mengalami adiksi rokok. Dari hasil wawancara diketahui klien merokok karena stres. Ia stres karena sedang ada masalah di pekerjaan. Bila seperti ini kondisinya, teknik apa yang akan digunakan?

Akhirnya, saya memutuskan untuk menyederhanakan proses terapi. Melalui proses yang tidak mudah, selama tiga tahun saya mengamati dan mempelajari setiap masalah klien untuk menemukan pola. Saya juga membaca buku dan artikel jurnal. Dengan memahami pola-pola tersebut, penanganan setiap masalah dapat menggunakan protokol yang sama, meskipun dengan dinamika yang berbeda.

Pola yang saya temukan, untuk setiap masalah (simtom) pasti ada sebab (akar masalah). Bila ada asap, pasti ada api. Cari, temukan, dan padamkan apinya, maka asap dengan sendirinya pasti hilang.

Dengan logika yang sama, jika saya bisa membantu klien mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalahnya, maka masalah klien akan berhasil diatasi. Setelah hati-hati dan cermat menelaah serta mengujicobakan berbagai teknik, merujuk pada buku teks, artikel jurnal, serta pengalaman dan temuan di ruang praktik, saya akhirnya memutuskan untuk fokus hanya pada dua teknik utama. Semua teknik lainnya, yang sebelumnya cukup merepotkan, saya tinggalkan.

Dua teknik ini, dengan varian strateginya, telah diterapkan dalam lebih dari 130.000 sesi konseling dan terapi selama hampir 20 tahun dengan hasil yang sangat baik. Teknik-teknik ini terus diperbarui dan ditingkatkan berdasarkan temuan dan pembelajaran kami, para hipnoterapis AWGI.

Mengingat proses pendidikan yang sangat intensif, saya mewajibkan setiap peserta didik untuk hadir dan mengikuti program pendidikan hipnoterapis SECH secara lengkap dan utuh selama 110 jam tatap muka atau 10 hari. Jika ada peserta yang, karena alasan tertentu, tidak dapat hadir meskipun hanya setengah hari, sesuai ketentuan, mereka harus mengundurkan diri.

Seluruh proses pendidikan SECH dilaksanakan secara tatap muka dan tidak dapat dilakukan secara daring (online), karena proses belajar tidak hanya sekadar melihat atau mendengar apa yang disampaikan oleh pengajar seperti yang terjadi dalam pembelajaran daring.

Proses belajar yang baik dan benar melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ada perbedaan yang signifikan dalam hal pengalaman dan dampak antara pembelajaran daring dan tatap muka. Hal ini juga berlaku untuk menyaksikan live therapy, baik secara daring maupun langsung di kelas.

Hipnoterapis pemula, yang dibekali dengan rasa percaya diri yang tinggi, mampu melaksanakan praktik sesuai protokol dengan hasil yang sangat baik. Ini tidak hanya membangun kompetensi terapeutik mereka tetapi juga semakin meningkatkan dan memperkuat rasa percaya diri mereka.

Sebaliknya, hipnoterapis yang kurang percaya diri atau meragukan kemampuan dan kompetensinya karena tidak menerima pendidikan dan bimbingan yang tepat, tidak akan mampu melaksanakan hipnoterapi dengan benar dan efektif. Semakin mereka tidak percaya diri, semakin tidak efektif terapi yang mereka lakukan.

Hipnoterapis tidak kompeten bisa saja mendapat klien lewat promosi yang dilakukan di media sosial. Namun, bila ia berulang kali gagal membantu klien-kliennya, rasa percaya dirinya pasti akan terdampak hingga akhirnya ia memutuskan berhenti praktik. Tentunya ini sangat disayangkan, mengingat investasi waktu, tenaga, dan biaya yang telah ia keluarkan, dan terutama jumlah hipnoterapis profesional masih sangat sedikit di Indonesia.

Terapi Singkat

Terapi Singkat

30 Mei 2024
Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®
Bila bisa cepat, aman, dan tuntas, mengapa harus lama? Ini adalah pemikiran saya dulu saat pertama kali belajar hipnoterapi, terinspirasi dari salah satu buku yang saya baca di tahun 1993, Awaken The Giant Within karya Anthonny Robbins (1992).
 
Salah satu bab buku ini berjudul Can Change Happen In An Instant? Toni Robbins menjelaskan bahwa perubahan perilaku dapat terjadi secara instan. Tentu, yang dimaksud instan bukan dalam sekejap mata, tetap butuh proses. Intinya, perubahan yang dimaksud terjadi dalam waktu jauh lebih singkat daripada bila menggunakan terapi konvensional.
 
Dalam upaya menemukan jawaban apakah benar perubahan, lewat proses terapi, bisa terjadi dalam waktu singkat, saya berusaha mendapatkan informasi dengan membaca banyak literatur, khususnya tentang psikoterapi. Umumnya, untuk mengubah perilaku dengan psikoterapi konvensional membutuhkan waktu lama, belasan hingga puluhan sesi, dan biaya yang tidak sedikit. Ini tentu sangat membebani klien.
 
Para pelopor psikoterapi sesungguhnya sadar akan kondisi ini. Mereka ingin bisa memberikan layanan terapi efektif berdurasi singkat. James Gustafson, dalam bukunya berjudul The Complex Secret of Brief Psychotherapy (1986), memberikan tinjauan komprehensif atas kerja para pelopor psikoterapi singkat.
 
Tiga Gelombang Psikoterapi Singkat
 
Jeffrey Magnavinta (1993) mengindentifikasi tiga gelombang dalam perkembangan psikoterapi singkat. Gelombang pertama diawali oleh terapi singkat yang dilakukan Sigmund Freud. Freud menyembuhkan impotensi yang dialami komposer Gustav Mahler lewat perbincangan yang mereka lakukan sambil jalan kaki di sore hari. Masuk dalam gelombang pertama, nama besar seperti Otto Rank dan Sándor Ferenczi. Demikian pula Franz Alexander and Thomas French di tahun 1940an. Alexander dan French mengenalkan konsep pengalaman emosional korektif, dan menganjurkan terapi yang fokus pada tujuan terapi.
 
Gelombang kedua pelopor psikoterapi singkat bercirikan fokus yang lebih kuat pada manajemen pertahanan psikologis. Tokoh yang berpengaruh di era ini adalah Wilhelm Reich. Tulisannya dalam buku Character Analysis (1949) berdampak besar terhadap para pemikir di zamannya, karena ide untuk menembus "baju besi" karakter (character armor), atau pertahanan psikologis, dominan dalam model terapi ini.
 
Gelombang ketiga psikoterapi dipengaruhi mekanisme fundamental psikoterapi singkat yang digagas Gustafson (1984) dengan prinsip kerja berfokus pada tema utama yang mendasari masalah, penanganan resistensi, dan penyediaan kecakapan yang dibutuhkan klien.
 
Psikoterapi Masa Kini
 
Danny Wedding dan Raymond, J. Corsini, dalam Current Psychotherapies 11th ed.,(2019), menyatakan terdapat empat belas jenis psikoterapi yang umum dipraktikkan saat ini: psikoterapi psikodinamika, psikoterapi Adlerian, terapi berpusat pada klien (client centered therapy), terapi rasional emotif, terapi perilaku (cognitive therapy), terapi kognitif (cognitive therapy), psikoterapi eksistensial, terapi Gestalt, psikoterapi interpersonal, terapi keluarga, terapi berbasis mindfulness, psikoterapi positif, psikoterapi integratif, dan psikoterapi multikultural.
 
Selain jenis psikoterapi di atas, masih terdapat psikoterapi lain yang sangat disarankan untuk didalami, terapi penerimaan dan komitmen (Acceptance and Commitment Therapy / ACT) dan terapi perilaku dialektis (Dialectic Behavior Therapy / DBT).
 
Setiap jenis psikoterapi memiliki sejarah, landasan teori, paradigma, pendekatan, strategi dan tekniknya sendiri untuk membantu klien mengatasi masalah. Masing-masing digunakan sesuai kondisi dan kebutuhan untuk memberi hasil dan dampak terapeutik optimal pada klien.
 
Berapa Lama Waktu yang Dibutuhkan untuk Mengubah Perilaku?
 
Perubahan perilaku ternyata bukanlah hal yang mudah. Penelitian yang dilakukan oleh James Prochaska mengungkapkan bahwa perubahan perilaku memerlukan waktu yang panjang (Prochaska, Rossi, dan Wilcox, 1991).
 
Secara khusus, dalam kasus adiksi, berdasarkan sampel yang beragam dari individu yang berhasil mengubah perilaku mereka, dibutuhkan waktu rata-rata tujuh tahun dengan dua hingga tiga kali kambuh sebelum perubahan perilaku tersebut menjadi stabil dan permanen (Prochaska, DiClemente, dan Norcross, 1992).
 
Data klasik menunjukkan bahwa sekitar 70% individu yang telah berhasil mengubah perilaku seperti berhenti merokok, berhenti menggunakan obat terlarang, atau berhenti minum minuman beralkohol kembali ke perilaku lama mereka dalam waktu satu tahun (Hunt dkk., 1971). Penelitian lebih baru menunjukkan hasil yang serupa (Hughes dkk., 2004; Kirshenbaum dkk., 2009).
 
Untuk perilaku lain seperti fobia dan kesedihan mendalam, waktu yang diperlukan untuk berubah sangat bervariasi. Secara umum, individu sering membutuhkan waktu satu hingga dua tahun untuk mengenali masalah, mengambil tindakan untuk berubah, dan mempertahankan perubahan yang telah dicapai.
 
Penelitian tentang perubahan perilaku yang dilakukan selama tiga puluh tahun menyimpulkan dua temuan penting yang menjelaskan mengapa perubahan perilaku sulit dilakukan. Pertama, mengubah atau mengganti perilaku lama dengan perilaku baru tidak serta-merta menghapus perilaku lama. Kedua, perubahan perilaku bisa sangat spesifik tergantung pada konteks di mana perubahan itu terjadi (Bouton, 2014).
 
Apa yang Dimaksud Terapi Singkat?
 
Menurut James Mann (1973), terapi singkat adalah terapi yang berlangsung maksimal 12 sesi. Sementara ada pula yang menyatakan bahwa terapis tidak bisa menentukan jumlah sesi yang harus dijalani klien karena setiap masalah bersifat unik dan butuh penanganan berbeda.
 
Jeffrey Binder, William Henry, dan Hans Strupp (1987) lebih menekankan pentingnya sikap sadar waktu (time-limited attitude) daripada menetapkan jumlah sesi secara kaku. Menurut mereka, terapis perlu senantiasa menyadari pentingnya membatasi terapi untuk waktu sesingkat mungkin yang dapat dicapai. Dengan kata lain, terapis bertujuan memberikan hasil terbaik kepada sebanyak mungkin orang dalam waktu sesingkat-singkatnya (Lazarus dan Messer, 1991, p.153).
 
Terapi singkat, menurut hemat saya, mengacu pada bentuk layanan di mana terapis memiliki kesadaran terhadap waktu dan hasil, dengan fokus pada tujuan terapeutik yang spesifik. Terapis berpartisipasi secara aktif dalam proses terapi yang aman dan efektif, serta berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan terapi dalam waktu sesingkat mungkin dengan hasil yang bertahan lama. Jumlah sesi bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klien. Dengan definisi ini, sejatinya psikoterapi apa pun dapat menjadi terapi singkat.
 
Terapi singkat tidak berarti terapis mendesak klien untuk berubah dengan layanan terapi yang sengaja dibuat singkat, misal hanya berdurasi 60 menit, sehingga klien terburu-buru dan menjadi tidak nyaman menjalani proses terapi. Terapi singkat artinya tidak satu sesi lebih dari yang diperlukan klien untuk berubah.
 
Hipnoterapi Singkat
 
Setiap proses terapi merupakan bentuk kerja sama yang setara antara terapis dan klien. Terapis, dengan persetujuan klien, memfasilitasi proses yang diperlukan agar klien dapat berubah, sementara klien harus siap, bersedia, dan sepenuh hati mengikuti arahan yang diberikan oleh terapis.
 
Untuk mencapai hasil terapi terbaik dalam waktu singkat, diperlukan dua komponen utama: kompetensi terapeutik terapis dan kesiapan serta kesediaan klien untuk berubah.
 
Dari sisi terapis, efektivitas terapi sangat dipengaruhi oleh jenis hipnoterapi yang dipraktikkan. Terdapat dua mazhab utama dalam hipnoterapi: hipnoterapi berbasis sugesti dan hipnoterapi berbasis hipnoanalisis.
 
Secara umum, hipnoterapis yang mengandalkan sugesti sebagai sarana untuk mencapai perubahan biasanya memerlukan jumlah sesi yang cukup banyak, bisa melebihi 10 sesi, untuk membantu klien berubah. Durasi setiap sesi berkisar antara 60 hingga 90 menit.
 
Semakin kompleks masalah klien, semakin banyak sesi yang dibutuhkan. Jenis hipnoterapi ini kurang efektif dalam menangani masalah berat dan kompleks, yang melibatkan emosi negatif yang intens seperti luka batin, trauma, kesedihan mendalam, pelecehan seksual, kemarahan yang ditekan, stres kronis, dan sebagainya.
 
Sebaliknya, hipnoterapi berbasis hipnoanalisis jauh lebih efektif dan efisien dalam mengatasi masalah klien karena metode ini bekerja dengan prinsip mencari, menemukan, dan menyelesaikan akar masalah secara tuntas.
 
Hipnoterapi singkat, sesuai standar Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology® (AWGI), menggunakan pendekatan hipnoanalisis yang membutuhkan antara satu hingga empat sesi perlakuan. Durasi setiap sesi berkisar antara tiga hingga empat jam.
 
Untuk dapat menjalankan hipnoterapi singkat ini, kami hanya bekerja dengan klien yang siap dan bersedia berubah. Untuk menilai kesiapan dan kesediaan klien berubah, kami menggunakan The Transtheoretical Model (Stages of Change) yang diperkenalkan pada akhir tahun 1970-an oleh peneliti James Prochaska dan Carlo DiClemente (1994, pp. 38-50).
 
The Transtheoretical Model menjelaskan enam tahap perubahan yang dilalui seseorang untuk berubah:
 
Tahap 1. Prakontemplasi
Tahap 2. Kontemplasi
Tahap 3. Determinasi
Tahap 4. Aksi
Tahap 5. Pemeliharaan
Tahap 6. Terminasi
 
Di tahap satu, Prakontemplasi, individu tidak mengetahui, tidak menyadari, atau menyangkal keberadaan masalah. Di tahap dua, Kontemplasi, individu tahu dan bersedia menerima keberadaan masalah. Namun ia masih belum merasa perlu berubah atau tidak tahu apa yang sebaiknya ia lakukan dengan kondisi yang ia alami.
 
Individu di tahap satu dan dua tidak bisa dibantu berubah karena mereka tidak siap dan tidak (belum) bersedia berubah.
 
Bila klien yang telah berada di tahap kedua, Kontemplasi, datang jumpa kami, hipnoterapis AWGI, untuk konsultasi, kami tidak akan langsung melakukan terapi. Kami akan bantu dan siapkan pikiran bawah sadar klien untuk berubah dengan strategi khusus. Dengan demikian klien secara sadar dan sukarela berpindah dari tahap dua ke tahap tiga.
 
Saat individu berada di tahap tiga, Determinasi, ia membuat keputusan dan siap berubah. Ia membuat perencanaan apa yang harus dilakukan untuk berubah, misal, mencari informasi dengan membaca buku, menghadiri pelatihan, menonton video YouTube, mencari pihak yang bisa membantunya, seperti dokter, psikiater, psikolog, terapis, konselor, pendoa, life coach, atau yang lain.
 
Di tahap empat, Aksi, individu melakukan upaya perubahan seturut yang telah ia putuskan. Di sini ia jelas akan tujuan yang hendak dicapai dan komit menjalani prosesnya dengan sungguh-sungguh.
 
Tahap lima, Pemeliharaan, adalah tahap individu secara sadar bertanggung jawab melakukan upaya pemeliharaan dan penguatan perubahan yang telah ia capai.
Tahap enam, Terminasi, adalah tahap di mana individu tidak lagi perlu melakukan upaya apa pun untuk menjaga perubahan yang telah ia capai karena perubahan ini telah stabil, menetap, dan menjadi dirinya yang baru.
 
Dari pengalaman dan temuan kami di ruang praktik, terapi yang menggunakan pendekatan, teknik, atau strategi apa pun dapat menjadi terapi singkat apabila klien, saat bertemu dengan terapis, berada pada tahap tiga, yaitu Determinasi.
 
Ini sebabnya, dalam protokol hipnoterapi AWGI, sangat ditekankan pentingnya menyiapkan klien, khususnya pikiran bawah sadarnya, untuk mendukung proses terapi yang akan dijalani, dengan memberi edukasi yang cukup dan dibutuhkan klien, membangun kesadaran klien, menjalin relasi terapeutik yang kuat antara terapis dan klien, dan membangun kepercayaan dan rasa aman dalam diri klien.
Resistensi dalam Hipnoterapi

Resistensi dalam Hipnoterapi

12 Mei 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Hipnoterapi adalah kerjasama hipnoterapis dan klien dalam upaya pemberdayaan diri, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraan klien. Kita tentu berharap proses hipnoterapi berjalan dengan mudah, lancar, dan efektif. Namun, pada kenyataannya, tidak semua proses terapi berlangsung semulus yang diharapkan. Salah satu hambatan utama dalam hipnoterapi adalah resistensi.

Resistensi, dalam banyak literatur tentang hipnosis dan hipnoterapi, merujuk pada sikap dan perilaku klien yang kurang kooperatif atau cenderung menentang proses terapi yang sedang dijalani. Perilaku ini dapat menghambat efektivitas terapi dan mempersulit pencapaian hasil yang diharapkan.

Berdasar pengalaman dan temuan kami, para hipnoterapis AWGI, resistensi terjadi tidak hanya pada klien, juga pada terapis. Dalam proses terapi, resistensi dapat terjadi hanya pada klien, hanya pada terapis, atau pada keduanya secara bersamaan.

𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐓𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢𝐬

Resistensi pada terapis, sering tidak disadari karena terapis lebih fokus pada resistensi klien. Resistensi ini menghambat terapis mencapai kinerja optimal. 

Resistensi pada terapis dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, misalnya: terapis mampu melakukan terapi dengan efektif, tetapi kesulitan mendapatkan klien-klien baru; terapi yang dilakukan tidak efektif; terapis jarang mendapatkan klien meskipun telah berusaha mempromosikan diri melalui berbagai cara; klien sering membatalkan janji atau tidak muncul untuk sesi terapi; atau terapis merasa tidak nyaman menetapkan biaya jasa profesi yang sejalan dengan pengalaman dan kompetensinya. 

Jika ditelisik lebih dalam, resistensi pada hipnoterapis seringkali bersumber dari kepercayaan negatif yang menghambat (limiting belief). Kepercayaan negatif ini, perasaan tidak cakap, tidak mampu, tidak percaya diri, takut gagal, takut salah, tercipta karena hipnoterapis tidak mendapatkan pendidikan, bimbingan, dan supervisi yang memadai untuk menjadi hipnoterapis profesional berkompetensi terapeutik tinggi. 

Selain itu, resistensi juga bisa muncul karena terapis merasa dirinya tidak layak atau tidak pantas menerima biaya jasa profesi (fee) yang sesuai dengan kualitas layanan yang diberikan.

Terapis bisa beralasan terapi yang ia lakukan semata untuk tujuan kemanusiaan, membantu sesama. Namun dalam hati, sejujurnya, ia berharap mendapat penghargaan yang layak berupa biaya jasa profesi yang sepadan. Alasannya terkesan mulia, namun sesungguhnya ia merasa dirinya tidak layak dan tidak berharga. Kondisi ini sering tidak disadari atau diakui oleh terapis. 

Sangat penting bagi setiap hipnoterapis untuk mengidentifikasi resistensi dalam diri mereka dan segera menetralisirnya. Hanya dengan cara ini mereka mampu dan dimampukan membangun dan mengembangkan diri menjadi hipnoterapis profesional yang mampu memberi dampak positif dan nyata bagi masyarakat. 

𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐊𝐥𝐢𝐞𝐧

Resistensi pada klien bisa bersumber dari pikiran sadar (PS), pikiran bawah sadar (PBS), atau keduanya. Dalam konteks tahapan terapi, resistensi dapat muncul pada salah satu atau beberapa tahap, yaitu: wawancara, induksi, pendalaman, intervensi, dan terminasi.

Resistensi yang bersumber dari PS biasanya mudah dikenali karena klien menunjukkan sikap tidak kooperatif sejak awal. 

Resistensi yang bersumber dari PBS jauh lebih kompleks karena berkaitan dengan proses dan dinamika yang terjadi di PBS klien selama proses terapi berlangsung. Bentuk resistensi ini bisa sangat halus dan tidak terlihat secara langsung, tetapi bisa memengaruhi respons klien terhadap terapi, termasuk reaksi yang tidak terduga atau penolakan terhadap sugesti atau arahan yang diberikan oleh terapis. 

Resistensi klien yang terjadi di tahap wawancara mengakibatkan ia tidak terbuka atau jujur dalam menyampaikan masalah atau kondisinya. Mereka juga membatasi informasi yang diberikan kepada terapis dengan menjawab pertanyaan secara singkat atau seadanya, membuat proses wawancara menjadi kurang efektif.

Jika resistensi terjadi pada tahap induksi atau pendalaman, klien akan kesulitan atau tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis dalam. Biasanya, terapis akan mengganti strategi, teknik, atau menggunakan skrip lain untuk membantu klien masuk kondisi hipnosis. Namun, berdasarkan pengalaman kami, pendekatan ini sering kali tidak efektif. 

Resistensi pada tahap intervensi mengakibatkan strategi atau teknik terapi yang digunakan menjadi tidak efektif. Bentuk resistensi ini bisa berupa penolakan terhadap sugesti yang diberikan, PBS menjadi tidak responsif, klien tidak bersedia mengikuti arahan terapis, atau klien keluar dari kondisi hipnosis. 

Ketika ini terjadi, terapis harus mengevaluasi pendekatan mereka dan perlu mengambil langkah lain untuk mengatasi resistensi dan membangun hubungan terapeutik yang lebih kuat dengan klien.

Terapi yang mengandalkan sugesti biasanya didasarkan pada asumsi bahwa PBS adalah satu unit yang utuh. Sugesti diberikan kepada PBS dengan harapan akan mengubah kontennya dan menghasilkan perubahan pada perilaku atau kondisi klien. Namun, dalam kenyataannya, PBS terdiri dari unit-unit kepribadian independen yang memiliki pemikiran dan tujuan yang berbeda-beda. Kami menyebutnya sebagai Ego Personality (EP).

Ketika sugesti yang diberikan ke PBS tidak sesuai dengan tujuan atau agenda dari satu atau beberapa EP dominan, sugesti tersebut akan ditolak atau diabaikan. Ini adalah salah satu bentuk resistensi atau perlawanan PBS yang bisa terjadi saat terapi.

Selain itu, resistensi juga dapat muncul dalam bentuk gejala emosional atau fisik yang mengganggu proses terapi, hingga akhirnya terapi harus dihentikan. Contohnya, klien bisa mengalami kecemasan yang meningkat, serangan panik, sakit kepala, napas sesak, atau rasa tidak nyaman fisik signifikan lainnya saat menjalani terapi. 

Oleh karena itu, terapis perlu berhati-hati dan fleksibel dalam pendekatannya, memahami bahwa resistensi berasal dari dinamika internal dalam PBS, dan berupaya menemukan cara untuk mengatasi hambatan ini agar terapi dapat berlangsung secara efektif.

Bentuk resistensi pada tahap terminasi, salah satunya, adalah ketika klien sulit atau enggan keluar dari kondisi hipnosis. Ini juga merupakan bentuk resistensi yang bersumber dari PBS. Klien mungkin merasa nyaman berada dalam kondisi hipnosis, atau mungkin ada aspek dari pengalaman hipnoterapi yang membuat mereka enggan kembali ke kondisi sadar normal. Resistensi ini bisa menjadi tantangan bagi terapis saat mengakhiri sesi terapi.

Untuk mengatasi resistensi di tahap terminasi, terapis perlu memiliki strategi yang efektif untuk memastikan klien dapat keluar dari kondisi hipnosis dengan aman dan nyaman. 

𝐄𝐬𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢

Resistensi, apa pun bentuk dan variannya, baik yang terjadi pada terapis maupun klien, sebenarnya memiliki basis emosi yang sama: rasa takut.

Ada cara mudah untuk mengidentifikasi sumber rasa takut ini dan menghilangkannya, tetapi ini di luar cakupan pembahasan dalam tulisan ini. Namun, begitu rasa takut ini dinetralisir, proses terapi menjadi lebih mudah dan lancar.

Memahami bahwa resistensi seringkali berasal dari rasa takut dapat membantu terapis untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan klien dan mengatasi hambatan dengan pendekatan yang lebih empatik. Terapi yang efektif membutuhkan kepercayaan dan rasa aman, sehingga mengatasi rasa takut menjadi langkah penting untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam terapi.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢

Di awal karir saya sebagai hipnoterapis sekitar 20 tahun lalu, saya memelajari banyak teknik untuk mengatasi resistensi klien. Teknik-teknik ini tersimpan rapi di dalam "kotak peralatan terapi" saya dan siap digunakan bila dibutuhkan. Namun, pada masa itu, saya belum menyadari bahwa resistensi utama yang harus diatasi adalah resistensi pada diri saya sebagai terapis.

Seiring berjalannya waktu, dengan semakin banyak belajar dan praktik, saya akhirnya menemukan cara mudah mengatasi resistensi, baik pada diri saya sebagai terapis maupun pada klien. 

Resistensi pada terapis harus diatasi secara internal, bisa dengan menggunakan teknik swaterapi yang sesuai atau dengan bantuan terapis lainnya.

Sementara untuk klien, saya mengadopsi strategi berbeda dari yang umumnya dijelaskan dalam literatur. Biasanya, terapis mengatasi resistensi klien dengan mengarahkan pikiran klien untuk fokus pada resistensinya, terutama pada tahap induksi. Strategi ini memang efektif dan saya juga pernah menggunakannya.

Namun, resistensi juga sering muncul di tahap intervensi, yang berasal dari PBS klien. Hal ini tentu saja mengganggu proses terapi, menjadikannya lebih panjang dan melelahkan, baik bagi klien maupun bagi terapis.

Saya akhirnya menyadari bahwa cara terbaik mengatasi resistensi klien adalah dengan menyiapkan klien secara menyeluruh, baik di aspek PS maupun PBS, agar siap dan bersedia menjalani proses terapi sepenuh hati.

Persiapan ini dilakukan melalui edukasi terstruktur dan sistematis kepada klien, dimulai jauh sebelum mereka bertemu dengan terapis, dan dilanjutkan hingga pertemuan di ruang praktik.

Di ruang praktik kami, dengan memberikan edukasi yang tepat kepada klien, mereka mendapatkan pemahaman yang benar dan memberdayakan, serta menjadi siap dan bersedia menjalani sesi terapi dengan sungguh-sungguh. 

Seringkali, dengan pemahaman ini, kesadaran klien meningkat, memampukan mereka untuk melihat masalahnya dari sudut pandang yang lebih konstruktif, memberdayakan, dan akhirnya masalah klien luruh dan terselesaikan dengan sendirinya tanpa perlu intervensi dari terapis.

Kondisi Hipnosis Sebagai Syarat Hipnoterapi

Kondisi Hipnosis Sebagai Syarat Hipnoterapi

6 Mei 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis untuk menangani masalah medis atau psikologis. Sementara hipnosis adalah kondisi kesadaran melibatkan perhatian terfokus dan berkurangnya kesadaran periferal yang bercirikan peningkatan kapasitas respons terhadap sugesti. Kedua definisi ini ditetapkan American Psychological Association (APA) Divisi 30 di tahun 2014 (Elkins dkk, 2015, p.6-7).

Hipnoterapi adalah terapi, menggunakan teknik atau metode apa saja, dilakukan di dalam kondisi hipnosis, untuk mencapai tujuan terapeutik spesifik. Hipnosis adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2017).

Seturut definisi di atas, salah satu syarat hipnoterapi adalah klien harus berada dalam kondisi hipnosis selama proses terapi berlangsung. Ada empat cara umum untuk memasuki kondisi hipnosis: dilakukan sendiri, dibantu orang lain, menggunakan obat atau zat kimia tertentu, dan secara spontan.

Dalam konteks hipnoterapi, proses klien beralih dari kondisi kesadaran normal ke kondisi hipnosis disebut induksi. Terdapat banyak varian teknik induksi. Namun secara umum, terbagi menjadi empat kategori: induksi instan, induksi cepat, induksi panjang, dan induksi berbasis emosi.

Di kalangan hipnoterapis terdapat pemahaman salah bahwa hipnosis adalah sesuatu yang terapis lakukan pada klien. Klien masuk kondisi hipnosis karena kerja atau upaya terapis menggunakan skrip atau teknik tertentu. Klien hanya pasif dan semuanya adalah tanggung jawab terapis. Pemahaman salah ini juga saya alami dulu di awal karir saya sebagai hipnoterapis.

Berdasar pengalaman dan temuan di ruang praktik, saya merevisi pemahaman ini. Pemahaman yang benar, menjadi landasan praktik saya dan diajarkan di kelas pendidikan dan sertifikasi hipnoterapis profesional, 𝐒𝐜𝐢𝐞𝐧𝐭𝐢𝐟𝐢𝐜 𝐄𝐄𝐆 & 𝐂𝐥𝐢𝐧𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐇𝐲𝐩𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐲® (𝐒𝐄𝐂𝐇), yaitu hipnosis adalah sesuatu yang klien lakukan pada dirinya sendiri, atas persetujuan dan izin klien, dengan mengikuti tuntunan terapis. Klien aktif dan ikut serta dalam proses induksi yang difasilitasi terapis. 

Agar dicapai hasil terapi optimal, terapis selain wajib mampu melakukan induksi dengan efektif, juga perlu memahami kondisi, kedalaman, pendalaman, kestabilan, dan fenomena hipnosis. 

Terapis profesional tidak sekadar baca skrip induksi. Setiap induksi yang terapis lakukan bertujuan menuntun klien mencapai kedalaman hipnosis spesifik, seturut masalah yang hendak diselesaikan dan teknik terapi yang digunakan. 

Dari temuan kami, para hipnoterapis AWGI, bila syarat dan kondisinya terpenuhi, klien dengan sangat mudah masuk dan bertahan di kondisi hipnosis, sedalam yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalahnya. Sebaliknya, klien akan bertahan sedangkal yang dibutuhkan, demi mempertahankan keselamatan dan kesejahteraan hidupnya. 

Terapis pemula biasanya melengkapi dirinya dengan banyak skrip atau teknik induksi untuk "menghadapi" klien mereka. Pendekatan ini sangat tidak disarankan karena bisa mengakibatkan terapis bingung dalam memilih skrip dan tidak fokus. 

Sementara terapis profesional dan berpengalaman mengandalkan dan menggunakan satu atau dua skrip induksi yang telah teruji efektif menuntun klien masuk kondisi hipnosis dalam. 

Pendalaman adalah teknik yang terapis gunakan untuk menuntun klien masuk ke kondisi hipnosis yang lebih dalam lagi. Terdapat tiga teknik pendalaman yang biasanya digunakan dalam praktik hipnoterapi: verbal, visual, dan gabungan keduanya. 

Teknik pendalaman verbal adalah dengan melakukan penghitungan, bisa dengan hitungan naik atau turun. Sementara pendalaman visual adalah dengan meminta klien membayangkan ia menuruni tangga, naik eskalator, atau lift. Cara lain, klien diminta membayangkan berada di tempat kedamaian. Teknik pendalaman berbasis visual sering tidak efektif dan bisa kontraproduktif. 

Dalam penentuan kedalaman kondisi hipnosis, mayoritas hipnoterapis menggunakan fenomena fisik yang klien alami sebagai parameter, seperti napas melambat dan ritmik, wajah datar, tubuh rileks, tangan terasa berat bila diangkat, atau ada jeda dalam menjawab.  

Fenomena fisik ini tidak akurat karena hanya berlaku bagi klien dengan tipe sugestibilitas fisik, tidak untuk klien dengan tipe sugestibilitas emosi atau intelektual. Terapis profesional menggunakan parameter yang bersifat universal, berlaku untuk klien bertipe sugestibilitas fisik maupun emosi. 

Untuk menentukan kedalaman kondisi hipnosis, terapis perlu melakukan uji kedalaman, baik yang sifatnya terbuka (overt) atau tersamar (covert), dengan merujuk pada skala kedalaman. Terdapat banyak skala kedalaman hipnosis yang disusun oleh pakar hipnoterapi atau lembaga riset terkemuka, masing-masing menggunakan skala berbeda. 

Dari hasil penelusuran literatur diketahui sejauh ini terdapat 25 skala kedalaman hipnosis. Beberapa di antaranya: Davis-Husband Scale, Friedlander-Sarbin Scale, Lecron-Bordeaux Scale, The Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Children Hypnotic Susceptibility Scale, Standford Clinical Case for Adults, Standford Clinical Scale for Children, Barber Suggestibility Scale, Barber Creative Imagination Scale, Heron Depth Scale, Hartman Depth Scale, The Arons Scale, Harvard Group Scale, Long Standford Scale, dan Hypnotic Induction Profile. 

Dari 25 skala hipnosis yang dijelaskan di atas, dalam dunia hipnosis dan hipnoterapi, terutama di Indonesia, yang paling dikenal adalah skala Davis dan Husband yang terdiri 30 kedalaman, terbagi menjadi lima jenjang: insusceptible, hypnoidal, light trance, medium trance, dan deep trance (profound somnambulism).

Dalam praktik membantu klien, dari pengalaman kami, hipnoterapis perlu menggunakan satu skala kedalaman sebagai acuan, tidak bisa menggunakan bebeberapa skala sekaligus, karena setiap skala, yang disusun oleh pakar atau lembaga berbeda, menggunakan jumlah kedalaman dan fenomena hipnosis berbeda. 

Seorang terapis tidak hanya harus terampil dalam membimbing klien masuk ke kondisi hipnosis dalam, tetapi juga perlu mampu menjaga klien dalam kondisi hipnosis ini selama terapi berlangsung. Hipnosis bukanlah kondisi yang statis, melainkan dinamis. Klien dapat mengalami fluktuasi pada tingkat kedalaman tertentu. Oleh karena itu, terapis harus cermat dalam mengamati dan menilai kedalaman hipnosis yang sedang dialami klien.

Kegagalan dalam proses terapi sering terjadi bukan karena teknik terapinya tidak efektif, tetapi karena kedalaman dan kestabilan kondisi hipnosis yang dialami klien tidak memenuhi syarat untuk terapi yang efektif.

Wawasan Sebagai Determinan Keefektifan Hipnoterapi

Wawasan Sebagai Determinan Keefektifan Hipnoterapi

22 April 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Tujuan utama setiap hipnoterapis adalah ia mengalami perkembangan dan pemberdayaan diri, melalui pendidikan hipnoterapi yang ia jalani, sehingga mampu membantu klien-kliennya, melalui proses konseling dan atau terapi yang aman, nyaman, relatif singkat, efektif, berdampak positif signifikan dan bertahan lama. 

Terapis pemula fokus pada teori, teknik, strategi yang digunakan dalam membantu klien mencapai tujuan terapi. Pada tahap selanjutnya, terapis yang telah berkembang wawasannya menyadari bahwa semua teknik dalam hipnoterapi harus dipraktikkan dalam hubungan interpersonal yang konstruktif, dan bahwa dalam analisis akhir, keberhasilan atau kegagalan terapi lebih ditentukan oleh sikap, kepedulian, kasih, dan hati terapis saat berhubungan dengan klien daripada apa yang ia lakukan pada klien. 

Ini menjelaskan mengapa dua praktisi menggunakan teknik yang identik namun yang satu mencapai hasil yang jauh lebih baik daripada yang lain. 

Walau tujuan hipnoterapi adalah membantu klien mengatasi masalah emosi atau perilaku, dalam hipnoterapi sejatinya terdapat dua strategi penanganan masalah, menggunakan sugesti dan hipnoanalisis. 

Hipnoterapi berbasis sugesti mengandalkan pemberian sugesti kepada klien dalam kondisi hipnosis. Pemberian sugesti dilakukan saat klien jumpa terapis di ruang praktik, dan ada pula yang direkam dan klien diminta mendengarnya berulang kali di rumah, dengan harapan sugesti ini akan memberi dampak positif dan masalah klien berhasil diatasi. Hipnoterapi berbasis sugesti bersifat "memasukkan" (putting-in). 

Hipnoterapi berbasis hipnoanalisis cukup kompleks dan butuh kecakapan tinggi agar dapat dilakukan dengan benar dan efektif. Ia mengandalkan kejelian dan rangkaian strategi untuk menelisik pikiran bawah sadar (PBS), mencari, menemukan, dan melakukan resolusi akar masalah. Hipnoterapi jenis ini bersifat "menarik keluar" (pulling-out). 

Terlepas dari jenis hipnoterapi yang dipraktikkan, syarat mutlak agar proses hipnoterapi berjalan lancar, klien harus berada dalam kondisi hipnosis dengan kedalaman tertentu, bergantung teknik yang digunakan dan tujuan terapi yang hendak dicapai. 

Untuk itu, terapis harus mampu menuntun klien masuk kondisi hipnosis, melakukan uji kedalaman dan memvalidasi kondisi hipnonis yang klien capai, serta mampu mempertahankan klien di rentang kedalaman optimal selama proses terapi berlangsung, dengan durasi antara satu hingga empat jam dalam satu sesi.  

Untuk uji kedalaman dan validasi kondisi hipnosis yang dicapai para klien, hipnoterapis AWGI menggunakan tiga uji kedalaman spesifik mengacu pada Adi W. Gunawan Hypnotic Depth Scale, skala kedalaman hipnosis yang yang disusun tahun 2010. 

Hipnoterapi berbasis hipnoanalisis, selain mampu mengungkap materi memori yang tersembunyi atau direpresi jauh di kedalaman PBS, juga mampu melakukan resolusi akar masalah hingga akhirnya klien mencapai pemahaman mendalam tentang apa yang ia alami, wawasan (insight) konstruktif, resolutif, integratif, dan bersifat memberdayakan dirinya. 

Wawasan inilah kunci pengikat semua proses yang klien alami selama sesi terapi dan membuat hasil terapi menjadi sangat kuat dan mampu bertahan lama. Wawasan selain bersifat meningkatkan kesadaran juga menguatkan klien sehingga di masa mendatang bila klien mengalami hal serupa atau sama dengan yang dulu ia alami, kejadian serupa ini tidak lagi berdampak negatif pada klien. 

Wawasan ini tidak bisa diberikan oleh terapis pada klien, dalam bentuk sugesti. Wawasan terbaik muncul sebagai hasil proses terapi yang berpusat pada klien (client centered), setelah klien mengalami pengalaman emosional korektif tuntas. 

Dari temuan kami di ruang praktik, agar benar efektif dan berdampak optimal bagi kebaikan dan kesejahteraan klien, wawasan harus tercipta pada diri individu di usia dan momen kejadian akar masalah, tidak hanya di tataran intelektual, namun ia harus berdasarkan pengalaman, melibatkan respon afektif, motorik serta kognitif sebagai satu kesatuan.