Artikel

Hal 1 2 3 4 5 6 >
Total 6 hal
Protokol Hipnoterapi AWGI Divalidasi Temuan Modern Neurosains

Protokol Hipnoterapi AWGI Divalidasi Temuan Modern Neurosains

4 Februari 2025
Sejawat hipnoterapis AWGI, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ., membagikan, di grup Hipnoterapis AWGI, artikel jurnal berjudul: Memory Reconsolidation and the Crisis of Mechanism in Pyschotherapy (Rekonsolidasi Memori dan Krisis Mekanisme dalam Psikoterapi) oleh Bruce Ecker dan Alexander Vaz. 
 
Artikel setebal 11 halaman ini membahas rekonsolidasi memori, sangat sejalan, dan memvalidasi proses dan hasil terapi yang telah dilakukan oleh para hipnoterapis AWGI selama ini.
 
Selama ini, kami berhasil membantu klien mengatasi masalah emosi dan/atau perilaku dalam waktu relatif singkat—rata-rata hanya dalam satu atau dua sesi. Dari sudut pandang ilmu pikiran, kami memahami dengan jelas mengapa terapi yang kami lakukan dapat menghasilkan dampak terapeutik yang signifikan seperti ini.
 
Hipnoterapi yang dipraktikkan oleh para hipnoterapis AWGI berfokus pada perubahan transformasional (transformational change), bukan sekadar perubahan bertahap (incremental change).
 
Protokol hipnoterapi AWGI, khususnya pendekatan Dual Layer Therapy, selaras dengan konsep Empirical Confirmation Process of Annulment (ECPA) yang dijelaskan dalam artikel ini, disusun berdasar teori, pemikiran para pakar, teknik dan strategi yang telah teruji dan terbukti efektif, dan diperkuat dengan temuan penting di ruang praktik kami.
 
Berikut ini ringkasan dari artikel Memory Reconsolidation and the Crisis of Mechanism in Pyschotherapy:
 
Artikel ini membahas tantangan dalam memahami mekanisme internal perubahan terapeutik yang bertahan lama dalam psikoterapi. Meskipun penelitian selama beberapa dekade menunjukkan efektivitas psikoterapi, belum ada mekanisme internal yang secara empiris diidentifikasi sebagai penyebab utama perubahan tersebut.
 
1. Tantangan dalam Mengidentifikasi Mekanisme Perubahan
 
Banyak pendekatan dalam psikoterapi menghasilkan hasil yang positif, tetapi hubungan kausal antara teknik yang digunakan dan perubahan yang terjadi masih belum dapat dipastikan secara ilmiah. Penelitian sebelumnya lebih bersifat korelasional, bukan kausal, sehingga belum mampu menjelaskan secara pasti bagaimana terapi bekerja.
 
2. Peran Memory Reconsolidation (MR) dalam Psikoterapi 
 
Memory Reconsolidation (MR) adalah mekanisme neurobiologis yang memungkinkan revisi mendalam terhadap memori emosional yang tersimpan di otak subkortikal.
 
MR mampu "menghapus" atau meniadakan pembelajaran emosional yang tidak diinginkan, sehingga memberikan kemungkinan perubahan yang lebih permanen dibandingkan dengan pendekatan psikoterapi lainnya.
 
MR membutuhkan pengalaman tertentu agar proses ini dapat terjadi, terutama pengalaman yang menantang atau bertentangan dengan keyakinan atau memori emosional sebelumnya.
 
3. Perbedaan antara Perubahan Bertahap dan Transformasional
 
Perubahan Bertahap (Incremental Change): Perubahan psikoterapi yang terjadi secara perlahan dan memerlukan usaha berulang, sering kali rentan terhadap kambuh (relapse).
 
Perubahan Transformasional: Perubahan yang mendadak dan permanen di mana gejala atau pola perilaku negatif benar-benar lenyap tanpa perlu upaya berkelanjutan.
 
4. Empirical Confirmation Process of Annulment (ECPA)
 
ECPA adalah proses berbasis MR yang dapat menghapus pembelajaran emosional dengan mengaktifkan pengalaman yang bertentangan dengan keyakinan lama seseorang.
 
Proses ini terdiri dari tiga tahapan:
1. Mengaktifkan kembali pembelajaran emosional lama.
2. Menghadapkan individu pada pengalaman yang bertentangan (prediction error).
3. Mengulang pengalaman ini untuk menulis ulang atau menghapus pembelajaran lama.
 
Studi laboratorium telah menunjukkan bahwa pengalaman ini bisa menghilangkan respons emosional negatif secara permanen.
 
5. Dampak terhadap Psikoterapi
 
Jika mekanisme MR melalui ECPA dikonfirmasi secara empiris dalam sesi terapi, ini akan menjadi terobosan dalam memahami bagaimana psikoterapi menghasilkan perubahan yang langgeng.
 
MR dapat menyatukan berbagai pendekatan terapi yang saat ini terfragmentasi dengan memberikan mekanisme umum bagi perubahan terapeutik.
 
Kesimpulan
 
Penelitian tentang Memory Reconsolidation berpotensi menjelaskan mekanisme perubahan dalam psikoterapi yang selama ini belum ditemukan.
 
Dengan membuktikan bahwa MR adalah penyebab utama perubahan terapeutik, efektivitas psikoterapi dapat ditingkatkan, dan pendekatan yang berbeda dapat disatukan dalam kerangka kerja yang lebih jelas.
 
Jika studi klinis dapat mengonfirmasi bahwa ECPA terjadi sebelum perubahan transformasional, maka hal ini akan menjadi landasan baru dalam ilmu psikoterapi.

 

 
Pendekatan Somato-Psikis: Meretas Jalan Baru Terapi Inovatif untuk Transformasi

Pendekatan Somato-Psikis: Meretas Jalan Baru Terapi Inovatif untuk Transformasi

29 Januari 2025

Masa libur menjelang akhir tahun saya manfaat untuk lebih banyak membaca dan belajar. Saya perlu mendapatkan penguatan dari hasil riset dan literatur terkait protokol terapi baru yang sedang saya susun.

Jadi ceritanya begini. Kita tahu bahwa pengaruh pikiran bawah sadar (PBS) terhadap diri kita sangat signifikan. Isi PBS termanifestasi dalam bentuk kualitas hidup dan juga kondisi fisik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Candace Pert, Ph.D., penulis buku Molecules of Emotion, dan audiobook Your Body Is Your Subconscious Mind, yang menjelaskan hubungan antara pikiran dan tubuh.

PBS memengaruhi kondisi fisik, ini tidak bisa dimungkiri atau dibantah. Kami menemukan, dalam praktik hipnoterapi, PBS bisa membuat individu sakit atau sembuh. Ini yang disebut psikosomatis. Pikiran atau psikis (pysche) memengaruhi kondisi tubuh soma (tubuh).

Saya berpikir, apakah bisa sebaliknya? Apakah bisa kita menggunakan fisik untuk memengaruhi PBS? Bila bisa, bagaimana caranya?

Artinya, untuk memasukkan data atau memberi perintah spesifik kepada PBS yang berdampak terapeutik, kita tidak perlu melakukan induksi hipnotik untuk menembus faktor kritis pikiran sadar (PS), seperti yang dilakukan dalam hipnoterapi. Dengan kata lain, ini semua dilakukan dalam kondisi sadar normal, tidak membutuhkan kondisi trance.

Lama saya mencari jawaban atas pertanyaan ini. Dan jujur, ini tidak mudah. Namun, secara intuitif, saya yakin ini bisa dilakukan.

Bila ini bisa dilakukan, muncul pertanyaan baru: Seberapa aman dan efektif strategi ini mampu mengatasi masalah klien? Apakah ini bisa untuk mengatasi masalah yang kompleks dan berat?

 

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐒𝐮𝐥𝐢𝐭 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?

Dalam upaya membantu klien berubah, hipnoterapis harus bisa menyampaikan pesan perubahan (sugesti) ke PBS. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Hipnoterapis harus bisa menembus faktor kritis PS. Ini adalah rintangan pertama yang harus diatasi dalam upaya membantu klien berubah. Fungsi faktor kritis adalah menjaga agar data di PBS tidak mudah diubah.

Jadi, bila dalam kondisi sadar normal, saat faktor kritis PS masih aktif, terapis memberi sugesti ke PBS klien, sebelum sugesti ini masuk ke PBS, ia akan diperiksa oleh faktor kritis. Bila ternyata data (sugesti) ini tidak sejalan dengan data yang telah ada di PBS, dengan serta merta sugesti ini akan ditolak. Semakin besar upaya terapis memasukkan sugesti, semakin kuat penolakan faktor kritis.

Tingkat keaktifan faktor kritis berbanding terbalik dengan tingkat kedalaman kondisi hipnosis (trance) yang berhasil dicapai klien. Semakin dalam kondisi hipnosis, semakin lemah faktor kritis.

Kondisi ideal atau terbaik yang sebaiknya dicapai adalah faktor kritis PS, untuk sementara waktu, berhenti bekerja atau tidak aktif. Ini hanya bisa terjadi dalam kondisi hipnosis (sangat) dalam.

Dalam kondisi ini, sugesti yang diberikan tidak lagi dikritisi oleh faktor kritis dan dengan leluasa bisa menjangkau PBS.

Apakah setelah sugesti berhasil menjangkau PBS, ia akan langsung dilaksanakan oleh PBS? Jawabannya, tidak.

Faktor kritis PS adalah rintangan pertama. Di dalam PBS sendiri terdapat empat filter mental yang juga berfungsi mengkritisi sugesti yang masuk. Hanya bila sugesti berhasil melewati empat filter ini, ia diterima oleh PBS dan siap dilaksanakan.

Namun, masih ada faktor lain yang harus diperhitungkan. Sugesti yang berhasil menjangkau PBS, setelah melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, harus bisa mengatasi penolakan dan perlawanan dari data lama (program) yang telah ada di PBS.

Misalnya klien adalah orang yang sangat tidak percaya diri. Ia tidak percaya diri sejak kecil. Dalam upaya membantu klien berubah, terapis memberi klien sugesti "Saya percaya diri".

Katakanlah sugesti "Saya percaya diri", setelah berhasil melewati faktor kritis PS dan empat filter mental PBS, berhasil menjangkau PBS, diterima sepenuhnya, dan akan dilaksanakan PBS. Bagaimana dengan data lama yang menyatakan "Saya tidak percaya diri", yang telah tersimpan di PBS klien selama puluhan tahun?

Temuan kami menyatakan bahwa setiap data ini memiliki kekuatan. Kami menggunakan angka 0 - 10, di mana 0 artinya sama sekali tidak ada kekuatan, dan 10 artinya kekuatan maksimal.

Sugesti "Saya percaya diri" yang baru masuk ke PBS, biasanya memiliki kekuatan yang masih kecil, lemah, tidak akan bisa bekerja optimal karena ia mendapat perlawanan atau ditolak, dan bahkan bisa dianulir oleh data "Saya tidak percaya diri" yang telah sangat lama berdiam di PBS dan berkekuatan 10.

Ini menjawab pertanyaan mengapa ada begitu banyak praktik hipnoterapi yang hanya mengandalkan sugesti, tidak efektif.

Hipoterapis pada umumnya hanya fokus pada upaya menembus faktor kritis, menggunakan teknik induksi dan skrip sugesti. Ada sangat banyak varian teknik induksi, namun tujuannya satu, menembus faktor kritis, menuntun klien berpindah dari kondisi sadar normal ke kondisi hipnosis (trance).

Upaya menembus faktor kritis akan sangat optimal bila terapis mengerti dan mampu melakukan uji kedalaman kondisi hipnosis secara akurat dan presisi, terutama menggunakan indikator mental yang menunjukkan kedalaman hipnosis dalam, bukan sekadar indikator fisik (napas melambat dan ritmik, tubuh rileks dan terasa berat, menelan ludah, REM, wajah datar, sklera mata merah) yang adalah indikasi kedalaman dangkal.

Kekuatan data lama di PBS dipengaruhi oleh beberapa faktor: siapa yang memasukkan data ini (imprint), pada usia berapa data ini dimasukkan atau masuk ke PBS, pengulangan dan penguatan, data-data tambahan yang bersifat mendukung kebenaran data, intensitas emosi yang menyertai data, dan Ego Personality yang terlibat.

 

𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐌𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐁𝐞𝐫𝐮𝐛𝐚𝐡?

Dengan menyadari dan memerhatikan benar dinamika PBS, saya berusaha merumuskan protokol terapi yang mampu menjangkau PBS melewati jalur fisik, tanpa harus berhadapan dengan faktor kritis PS, empat filter mental PBS, dan secara menyeluruh menetralisir kekuatan data lama sehingga perintah (sugesti) yang diberikan pada PBS berkekuatan penuh dan dilaksanakan tanpa mendapat hambatan.

Protokol ini telah saya ujicobakan pada peserta pelatihan Quantum Life Transformation® (QLT) akhir November 2024. Ada peserta yang menyampaikan keluhan pada saya. Masalahnya, sejak tahun 2020, setiap kali ia makan kenyang, ia langsung merasa mual dan mau muntah. Akibatnya, ia hanya berani makan dalam porsi kecil.

Saya tanya apa yang ia inginkan, dan ia menjawab ingin bisa makan kenyang tapi tetap nyaman. Saya menggunakan protokol baru ini dan memasukkan perintah ke PBS-nya berupa perintah: Saat saya makan dan kenyang, perut dan kondisi saya tetap nyaman.

Proses memasukkan sugesti ini ke PBS-nya berlangsung singkat. Hasilnya? Saat makan malam, ia bisa makan sampai kenyang dan perasaan mual atau ingin muntah tidak lagi ia alami atau rasakan.

Satu keberhasilan ini tentu sangat menggembirakan dan membuka peluang untuk penyempurnaan dan aplikasi untuk masalah lain.

Saya teringat saat dulu, di tahun 2015, merancang protokol The Heart Technique® (THT). Saya butuh waktu sekitar tiga tahun untuk melakukan ujicoba dan menyempurnakan protokolnya, hingga akhirnya THT diajarkan pada publik untuk pertama kali di Juni 2018.

THT saat ini telah berkembang menjadi tiga versi: THT 2.0 untuk publik, THT 3.0 khusus untuk hipnoterapis AWGI, dan THT 4.0 (The Ultimate Heart Technique) yang berbasis energi medan morfik. Saya pribadi lebih banyak menggunakan THT 2.0.

Besar harapan saya, protokol terapi ini nantinya bisa digunakan untuk membantu klien mengatasi masalah emosi, perilaku, dan fisik dengan cara yang mudah, efektif, aman, dan tuntas.

Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?

Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?

16 Januari 2025

Tulisan ini terinspirasi dari diskusi saya dengan salah satu hipnoterapis AWGI beberapa waktu lalu. Sejawat ini gemar membaca tulisan pakar trauma dari luar negeri, salah satunya Bessel van der Kolk, MD. Dari bacaan-bacaan ini ia mulai terpapar dengan informasi tentang neurosains dan psikologi, dan tertarik untuk mempelajarinya. Ia bertanya apakah saya merekomendasi ia untuk mendalami neurosains. Bila saya merekomendasi, ia minta saran sebaiknya belajar ke siapa atau lembaga mana di luar negeri.

Kisah perjalanan pembelajaran sejawat ini membawa saya mundur ke masa awal saya dulu praktik hipnoterapi. Saya dulu juga sempat mendalami secara otodidak neuropsikologi.

Secara ringkas, bisa dijelaskan bahwa neurosains adalah ilmu yang mempelajari sistem saraf, termasuk struktur, fungsi, perkembangan, dan hubungannya dengan perilaku serta pikiran manusia. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku, pikiran, dan proses mental manusia serta bagaimana faktor biologis, sosial, dan lingkungan memengaruhinya.

Dengan demikian, neuropsikologi adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara fungsi otak dan perilaku, termasuk bagaimana kerusakan atau gangguan pada otak memengaruhi emosi, kognisi, dan tindakan seseorang.

Tujuan saya belajar neuropsikologi adalah untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kompetensi terapeutik saya. Dan setelah saya membaca cukup literatur yang membahas topik ini, saya akhirnya memutuskan untuk mundur dan kembali hanya fokus pada hipnoterapi. Meskipun demikian, sesekali saya masih membaca buku teks dan artikel jurnal tentang neuropsikologi untuk menambah pengetahuan dan wawasan.

 

Mengapa Saya Berhenti Mendalami Neuropsikologi?

Dalam berbagai literatur yang saya pelajari, memang dijelaskan bagian-bagian otak beserta fungsinya, serta apa yang terjadi pada otak seseorang saat ia mengalami kondisi mental atau gangguan psikologis tertentu. Saya belajar dengan penuh antusiasme dan berharap dapat mengaplikasikan pengetahuan ini ke dalam praktik hipnoterapi.

Saya berharap di dalam literatur ini juga dijelaskan teknik mengatasi gangguan psikologis berlandaskan neurosains. Saya membaca penjelasan tentang penyebab kondisi seperti PTSD, skizofrenia, gangguan kecemasan, bipolar, dan gangguan depresi mayor, yaitu adanya abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak.

Bergantung kondisi dan jenis gangguan, umumnya, solusi yang disarankan adalah dengan pemberian obat-obatan, pembedahan otak, stimulasi otak dalam (deep brain stimulation / DBS), terapi paparan realitas virtual (VR), electroconvulsive therapy (ECT), terapi cahaya terang (bright light therapy), neurofeedback, terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy / CBT), dan desensitisasi sistematis.

Berikut ini adalah ringkasan informasi tentang penyebab depresi, yang saya dapatkan dari mempelajari buku neuropsikologi terbitan tahun 2021 setebal 2548 halaman:

"Sebuah meta-analisis oleh Chuanjun Zhuo dan koleganya (2019) mengidentifikasi perubahan otak yang khas terkait dengan depresi, terutama pada area berikut:

Lobus frontal: Penurunan materi abu-abu (gray matter), khususnya pada orbitofrontal cortex (OFC).
Lobus temporal: Penurunan volume, terutama di hipokampus.
Lobus parietal: Termasuk posterior cingulate cortex, yang mengalami penurunan ketebalan kortikal.

Para penulis ini juga merangkum perubahan dalam jaringan otak yang berhubungan dengan depresi dan menemukan adanya penurunan koneksi antara korteks prefrontal dengan area kortikal temporal, korteks prefrontal dengan amigdala dan hipokampus.

Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun perubahan struktural atau fungsional tunggal pada otak yang dapat digunakan untuk mendiagnosis depresi.

Meskipun saat ini tidak lagi sepopuler studi MRI, penelitian menggunakan PET (Positron Emission Tomography) telah menunjukkan bahwa tingkat keparahan depresi mayor berkorelasi dengan penurunan aliran darah dan metabolisme di anterior cingulate cortex (ACC) dan ventromedial prefrontal cortex. Aliran darah di area ini meningkat pada pasien depresi yang telah sembuh.

Studi PET juga menunjukkan adanya peningkatan abnormal metabolisme glukosa di amigdala dan orbitofrontal cortex, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala depresi.

Amigdala bertugas memberikan makna emosional terhadap rangsangan. Aktivitas amigdala merangsang pelepasan kortisol, yang menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan aktivitas poros HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) pada depresi. Peningkatan aktivitas di orbital cortex berkaitan dengan upaya untuk memodulasi atau menghambat aktivitas amigdala."

Sebagai hipnoterapis, informasi di atas sama sekali tidak bisa saya aplikasikan ke dalam praktik hipnoterapi. Saya bukan dokter, psikiater, atau psikolog klinis. Saya tidak memiliki kompetensi melakukan prosedur yang disarankan, seperti pemberian obat, pembedahan, dan yang lainnya. Namun, satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana terapi psikologi bisa digunakan, sampai tahap tertentu, untuk membantu mengatasi gangguan psikologis.

Dan mengingat saya mendalami hipnoterapi, saya simpulkan, sampai tahap tertentu, hipnoterapi bisa membantu mengatasi kondisi tidak kondusif yang dialami individu, khususnya di aspek emosi dan perilaku.

Saya sempat belajar neurofeedback di Los Angeles, Amerika. Dua kali saya ke Amerika mendalami ilmu ini. Dan hasilnya, saya bisa membantu klien melalui stimulasi otak menggunakan mesin EEG yang dirancang khusus untuk tujuan ini. Namun ini juga saya tinggalkan karena saya menemukan bahwa untuk masalah emosi dan perilaku, penggunaan hipnoterapi memberi dampak jauh lebih cepat dan signifikan.

Saya menyadari, neurosains adalah disiplin ilmu yang sangat kompleks, dan tidak mungkin bisa saya kuasai sepenuhnya hanya dengan belajar secara otodidak atau sekadar ikut pelatihan. Jadi, daripada saya membuang waktu belajar sesuatu yang akhirnya juga tidak banyak manfaatnya, lebih baik saya fokus pada hipnoterapi.

Alasan utama saya tidak secara khusus mengajarkan neurosains hipnosis dan hipnoterapi di kelas Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH), yaitu saya tidak memiliki kompetensi di bidang keilmuan ini, dan pengetahuan terkait neuropsikologi tidak bisa saya integrasikan ke dalam protokol atau teknik-teknik hipnoterapi saya. Namun bagi peserta SECH yang berminat mendalami neuropsikologi, saya dengan senang hati memberi mereka judul-judul buku dan artikel jurnal untuk mereka pelajari sendiri. Dan tentunya, bila saya memiliki ebook atau file-nya, pasti saya berikan juga.

Berlandaskan fakta dan temuan di ruang praktik, di luar faktor genetik, saya percaya sepenuhnya bahwa abnormalitas pada struktur, aliran darah, dan senyawa kimiawi otak adalah akibat, bukan sebab.

Individu pada awalnya dalam kondisi baik. Dengan demikian, kondisi otaknya juga baik. Namun, dalam proses tumbuh kembang ia mengalami pengalaman atau kejadian traumatik yang akhirnya mengguncang kondisi otaknya, yang semula normal hingga akhirnya menjadi abnormal.

Dari perspektif hipnoterapi, kami bisa melakukan resolusi pada pengalaman traumatik ini. Hipotesis saya, bila ini berhasil dilakukan, kondisi otaknya akan kembali normal.

Kami, sebagai hipnoterapis, karena tidak memiliki piranti untuk menelisik kondisi otak, lebih fokus pada memerhatikan perubahan perilaku pascaterapi. Misalnya, ada klien datang pada kami dengan masalah serangan panik (panic attack), ledakan kemarahan (anger outburst), fobia yang tidak rasional, ketakutan berlebih dalam situasi sosial (social anxiety), trauma, atau gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Kondisi ini terjadi karena pembajakan amigdala (amydala hijack), yaitu saat amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas respons emosional, "mengambil alih" kendali sebelum korteks prefrontal (bagian otak yang lebih rasional) memiliki kesempatan untuk memproses informasi secara logis.

Dengan hipnoterapi, kami bisa membantu klien mengatasi masalahnya dengan cara menemukan dan memproses tuntas akar masalah atau kejadian penyebab simtom. Saat klien sembuh, secara otomatis ia terbebas dari amygdala hijack .

Kembali pada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: Perlukah Hipnoterapis Belajar Neurosains?

 

Bila tujuannya untuk menambah pengetahuan atau wawasan, tentu sangat boleh. Namun bila yang diharapkan adalah setelah mendalami neuropsikologi, kompetensi hipnoterapi meningkat secara luar biasa, saran saya, tidak usah buang waktu belajar neurosains secara mendalam.

Dua Dekade Perjalanan: Konstruksi Protokol Hipnoterapi Singkat yang Efektif

Dua Dekade Perjalanan: Konstruksi Protokol Hipnoterapi Singkat yang Efektif

9 Januari 2025
Dua puluh tahun lalu, tepatnya di tahun 2005, saat saya mulai praktik hipnoterapi, saya membekali diri dengan banyak teknik terapi. Saat itu, dalam pemikiran saya yang masih sangat hijau di bidang hipnoterapi, saya merasa dengan menguasai banyak teknik terapi, saya siap membantu klien mengatasi masalah mereka.
 
Di tahun-tahun awal, selain menggunakan teknik berbasis sugesti untuk mengubah kebiasaan atau perilaku, saya juga menggunakan teknik-teknik lain seperti: desensitisasi sistematis, reframing, Parts Therapy, Time Line Therapy, Ego Strengthening, regresi, progresi, Empty Chair Technique (Gestalt Therapy), Hypnotic Pain Management, Progressive Muscle Relaxation (PMR), Anchoring, Swish Pattern, Collapsing Anchor, Submodality Change, Fast Phobia Cure, Guided Imagery, Inner Child Healing, Tempat Kedamaian, Belief Changing Technique, dan masih banyak lagi.
 
Saya harus menghafal kegunaan setiap teknik dan cara melakukannya dengan benar. Bisa dibayangkan betapa pusingnya saya saat itu.
 
Cara saya melakukan terapi waktu itu adalah dengan menganalisis masalah klien, berusaha menemukan "akar masalah" lewat sesi wawancara, kemudian memilih teknik yang saya rasa sesuai untuk mengatasi masalah klien. Ini di luar teknik induksi yang saya gunakan, yang juga cukup memusingkan karena ada banyak skripnya dan harus dipilih sesuai karakter klien.
 
Misalnya, klien datang dengan masalah fobia. Untuk mengatasi kondisi ini, saya bisa memilih salah satu dari beberapa teknik berikut: memberikan sugesti, desensitisasi sistematis, fast phobia cure, Parts Therapy, Collapsing Anchor, Submodality Change, atau teknik lainnya yang saya pikir akan efektif.
 
Demikian pula jika klien, dari hasil wawancara, saya simpulkan mengalami masalah karena imprint dari figur otoritas, saya akan memilih teknik khusus untuk mengatasi imprint. Namun, bagaimana bila penyebabnya adalah emosi negatif yang intens? Atau konflik internal? Atau emosi positif? Setiap situasi memerlukan pertimbangan baru.
 
Sering kali, setelah saya menggunakan satu teknik, hasilnya belum sesuai harapan. Saya tahu klien belum sembuh berdasarkan laporan mereka beberapa hari kemudian.
 
Kemudian, klien kembali untuk sesi kedua. Di sesi ini, saya menggunakan teknik lain. Hal ini berlangsung bersesi-sesi. Saat itu, sebagai hipnoterapis pemula, saya tidak memahami cara melakukan uji hasil terapi untuk memastikan terapi yang saya lakukan berhasil.
 
Sangat sering terjadi klien, usai terapi, menyatakan kondisinya sudah membaik. Namun beberapa hari kemudian masalahnya muncul lagi. Ini adalah kondisi yang saya sebut sebagai kesembuhan semu. Berdasarkan temuan kami, kesembuhan semu terjadi karena terapis tidak berhasil memproses tuntas akar masalah.
 
Saat itu saya tidak secara khusus memproses akar masalah karena saya memang tidak tahu caranya. Saya juga tidak menyadari betapa pentingnya hal ini, karena berbagai literatur yang saya pelajari saat itu hanya membahas hipnoterapi berbasis sugesti.
 
Satu tahun pertama saya melakukan terapi dengan cara seperti ini. Ketika terapi saya tidak berhasil membantu klien mengatasi masalahnya, selain merasa kecewa pada diri sendiri, saya merasa harus belajar teknik-teknik baru yang "lebih ampuh." Proses ini sungguh melelahkan.
 
Ternyata, semakin banyak teknik yang saya pelajari, bukannya membuat terapi saya semakin mudah dan efektif, tetapi justru menjadi semakin ribet. Setiap kali hendak menangani klien, saya selalu bertanya-tanya: Teknik apa yang sebaiknya digunakan?
 
Ada momen di mana saya hampir memutuskan berhenti melakukan terapi. Saya merasa hipnoterapi tidak cocok untuk saya dan tidak efektif. Namun, saya urung berhenti karena dari berbagai literatur yang saya pelajari, hipnoterapi terbukti sangat efektif. Saya simpulkan, yang salah bukan ilmunya, tetapi saya yang belum kompeten.
 
Saya memutuskan untuk membeli lebih banyak buku hipnoterapi dari luar negeri. Selain itu, saya mempelajari banyak video yang membahas topik ini. Selama dua tahun berikutnya, walau masih jatuh bangun, saya mulai mengembangkan protokol hipnoterapi dengan pendekatan hipnoanalisis. Pemikiran saya saat itu didasari oleh pemahaman yang saya peroleh setelah membaca tulisan Josef Breuer dan Sigmund Freud, khususnya terkait penanganan klien bernama Bertha Pappenheim.
 
Dari rasa ingin tahu yang sangat kuat setelah membaca tulisan mereka, saya membaca lebih banyak literatur modern untuk mendapatkan pemahaman lebih mendalam tentang pola dan proses yang terjadi dalam terapi.
 
Jika sebelumnya saya fokus mempelajari berbagai teknik terapi, kini saya memusatkan perhatian pada menemukan pola yang selalu hadir di setiap masalah klien. Akhirnya, melalui analisis kasus terapi serta literatur para pakar hipnoterapi, saya berhasil menemukan pola ini.
 
Setelah mempelajari lebih banyak karya dan pemikiran para pakar hipnoterapi serta pakar memori, saya akhirnya meninggalkan strategi terapi berbasis banyak teknik, yang sangat merepotkan.
 
Pemikiran saya sederhana. Jika saya saja kerepotan harus menghafal banyak teknik, dan dalam praktiknya ternyata tidak efektif membantu klien, bagaimana dengan orang yang akan saya ajari cara melakukan terapi seperti ini?
 
Protokol hipnoterapi yang saya kembangkan menekankan pada pemberdayaan klien melalui resolusi akar masalah dengan cepat, efisien, dan tuntas. Dibandingkan metode tradisional yang sering kali terfokus pada mengubah perilaku, pendekatan ini langsung menargetkan akar masalah.
 
Untuk menemukan akar masalah, terdapat dua strategi. Strategi pertama, terlepas dari teknik pengungkapan atau uncovering technique yang digunakan, begitu PBS mengungkap suatu kejadian, di usia berapa pun peristiwa ini terjadi, terapis menyatakan ini adalah akar masalah.
 
Sementara pada strategi kedua, terapis tidak serta merta menerima dan menyatakan kejadian yang diungkap oleh PBS adalah akar masalah. Untuk memastikannya, terapis melakukan validasi. Bila ternyata dari hasil validasi diketahui kejadian ini bukan akar masalah, terapis berkewajiban untuk melakukan pengungkapan lebih lanjut hingga akhirnya ditemukan akar masalah yang adalah kejadian paling awal.
 
Mayoritas hipnoterapis menggunakan strategi pertama. Sangat sedikit yang mengerti dan menggunakan strategi kedua. Saya beruntung menemukan buku yang ditulis oleh salah satu pakar hipnoterapi di Amerika yang menggunakan dan menjelaskan strategi kedua. Saya memutuskan menggunakan strategi ini dalam protokol yang saya kembangkan.
 
Selanjutnya, saya mematangkan protokol terapi yang mudah diikuti dan memberikan tingkat keberhasilan terapeutik yang tinggi serta konsisten. Protokol ini yang saya gunakan di ruang praktik dan ajarkan di kelas hipnoterapi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH) hingga saat ini, dengan berbagai penajaman pada setiap tahap berdasarkan temuan di ruang praktik dan hasil pembelajaran lebih lanjut.
 
Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa keberhasilan terapi tidak ditentukan oleh banyaknya teknik yang dikuasai, tetapi oleh pemahaman mendalam terhadap dinamika pikiran bawah sadar dan akar masalah klien, serta kemampuan untuk menyelesaikannya dengan pendekatan yang tepat dan efisien.
 
Protokol ini tidak hanya membantu saya menjadi hipnoterapis yang lebih kompeten, tetapi juga telah memberikan dampak positif bagi banyak klien dan peserta pelatihan. Saya percaya, hipnoterapi yang efektif adalah hipnoterapi yang mudah dipelajari, dipahami, dan diaplikasikan oleh siapa pun yang ingin membawa perubahan positif dalam hidup sesama.
 
Dalam konteks standar kompetensi dan kualitas, saya memutuskan hanya berafiliasi dengan satu organisasi hipnoterapi terkemuka di Amerika, yang saya tahu memiliki standar sangat tinggi, The American Council of Hypnotist Examiners (ACHE) yang didirikan di tahun 1980 oleh guru saya, Gil Boyne. ACHE adalah pelopor hipnoterapi modern dan adalah lembaga yang sangat dihormati.
 
Berdasarkan fakta bahwa mayoritas masalah klien berhasil kami, para hipnoterapis AWGI, bantu atasi hanya dalam satu hingga empat sesi terapi, saya menamakan hipnoterapi yang kami praktikkan—hipnoterapi mazhab AWGI—sebagai 'brief hypnotherapy' atau hipnoterapi singkat.
 
Demikianlah perjalanan ini saya lalui, dan inilah komitmen saya untuk terus belajar, berbagi, dan menyempurnakan langkah-langkah dalam membantu orang lain menuju kehidupan yang lebih baik, menjadi insan mulia paripurna. Dengan hipnoterapi, kita memuliakan manusia, dan turut mencipta dunia yang lebih baik untuk semua.
Hipnoterapi Untuk Menangani Disorganized Attachment

Hipnoterapi Untuk Menangani Disorganized Attachment

7 Januari 2025

Pak Adi yang saya hormati. Melalui pesan ini, saya ingin menyampaikan ungkapan terima kasih karena beberapa waktu lalu saya melakukan hipnoterapi pada klien wanita berusia 21 tahun yang mengalami disorganized attachment.

Disorganized attachment adalah salah satu kondisi psikologis yang sangat sulit diatasi. Bahkan beberapa ahli menyatakan disorganized attachment adalah kondisi yang tidak bisa disembuhkan, harus diterima dan dijalani seumur hidup, di mana klien tetap perlu menanggung masalah ini dan belajar strategi coping.

Disorganized attachment adalah kondisi di mana seseorang mendorong orang lain menjauh dari dirinya saat orang tersebut ingin dekat dengannya. Namun, saat kehilangan orang ini, mereka malah mencarinya dan ingin mendekat. Jadi, dekat dengan seseorang, salah, tapi jauh dari orang ini, juga salah.

Klien telah merasakan masalah ini sejak di sekolah dasar. Ia telah mencoba mengatasi kondisi ini dengan bantuan profesional lain. Klien dirujuk ke saya untuk menjalani sesi hipnoterapi karena di area attachment belum ada perbaikan.

Saya melakukan hipnoterapi menggunakan protokol hipnoterapi AWGI. Di sesi pertama, saya jujur tidak menyangka, mengalami kejadian atau pengalaman luar biasa.

Saya menggunakan teknik hipnoanalisis untuk mencari dan menemukan akar masalah yang klien alami. Biasanya, dari pengalaman kita, hipnoterapis AWGI, umumnya kita menemukan satu akar masalah (ISE-Initial Sensitizing Event) dengan satu atau beberapa kejadian lanjutan sebagai penguat (SSE-Subsequent Sensitizing Event).

Kasus klien ini ternyata bersifat multi-ISE. Satu simtom, disorganized attachment, disebabkan oleh 7 (tujuh) ISE dan 10 (sepuluh) SSE.

Seingat saya, jumlah ISE paling banyak pada kasus multi-ISE yang pernah kita temukan adalah 3 ISE. Jadi bisa dibayangkan kerja yang harus dilakukan untuk resolusi traumanya.

Walau saya sudah memproses tuntas 7 ISE dan 10 SSE, ternyata kasus ini belum tuntas. Secara teknis terapi, saya menyadari bahwa proses yang saya lakukan tuntas. Namun, dari uji hasil terapi, saya tahu masalah klien belum tuntas.

Mengingat proses terapi yang telah berlangsung cukup lama, dan saya, selaku terapis, dan klien telah sama-sama lelah, demi kebaikan klien, saya memutuskan untuk mengakhiri sesi terapi ini.

Saya sempat berpikir bahwa hipnoterapi mungkin tidak cocok untuk klien ini karena kejadian yang mendasari simtomnya ternyata sangat banyak. Saya berpikir, klien mungkin tidak merasakan manfaat karena terapinya tidak tuntas dalam satu sesi.

Namun saya ingat bahwa seturut protokol AWGI, kita memberi klien kesempatan untuk melanjutkan terapi hingga empat sesi. Dengan demikian, saya memberi klien kesempatan bertemu di sesi kedua.

Menariknya, saat pertemuan kedua, klien mengungkapkan bahwa sejak selesai menjalani sesi pertama, ia mengalami perubahan signifikan. Perubahan ini tampak nyata dan terlihat oleh rekan-rekannya. Rekan-rekannya jadi tertarik mencoba hipnoterapi.

Yang menarik adalah bahkan sebelum akar masalahnya tuntas ditangani, klien telah mengalami perubahan nyata dan signifikan.

Sebelum sesi kedua, saya sempat berdiskusi dengan salah satu sejawat hipnoterapis AWGI perihal penanganan kasus ini. Sejawat ini memberi beberapa saran dan masukan untuk lebih memaksimalkan proses dan hasil terapi yang akan saya lakukan.

Pada sesi kedua, ditemukan lagi 5 (lima) ISE. Dan ternyata, ini adalah sisanya. Setelah 5 ISE ditemukan dan diproses tuntas, klien langsung merasa bahwa proses ini telah tuntas mengatasi masalahnya.

Seturut protokol, saya melakukan uji hasil terapi. Dan memang demikianlah adanya. Klien merasa nyaman, tidak lagi merasa terganggu dengan kedekatan ataupun jarak yang jauh, dalam konteks relasi dengan orang lain.

Jadi, untuk masalah klien ini, disorganized attachment, tuntas dalam dua sesi terapi, setelah saya membantu ia menemukan dan memproses tuntas 12 (dua belas) ISE dan 10 (sepuluh) SSE. Dari 12 ISE, tiga di antaranya berupa kejadian saat klien dalam kandungan.

Saya bersyukur bisa belajar hipnoterapi dengan Pak Adi, bukan hanya karena teknik hipnoterapinya yang terbukti aman dan efektif mengatasi masalah klien-klien saya, tetapi saya juga merasa memiliki komunitas untuk berdiskusi tentang apa yang sedang dijalani.

Dalam diskusi ini konstruktif, semua mencari jalan keluar terbaik bagi klien. Ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi saya belajar dengan Pak Adi. Saya berharap lebih banyak lagi orang, dan mungkin psikiater lain juga, belajar hipnoterapi untuk menolong klien-klien yang membutuhkan.

Salam hormat,
dr. Jiemi Ardian, SpKj

Kesembuhan Semu dan Kesembuhan Tuntas

Kesembuhan Semu dan Kesembuhan Tuntas

12 Desember 2024

Saat ini, banyak individu yang, ketika menghadapi masalah emosi atau perilaku, mencari bantuan hipnoterapis untuk mengatasinya. Ini merupakan perkembangan yang sangat positif karena masyarakat kini semakin menyadari pentingnya kesehatan mental dan memahami berbagai alternatif bantuan yang dapat mereka upayakan, salah satunya adalah hipnoterapi.

Individu yang meminta bantuan hipnoterapis tentu berharap kondisi mereka dapat diatasi dengan aman, nyaman, cepat, dan efektif, dengan jumlah sesi terapi seminimal mungkin. Harapan ini juga menjadi tujuan utama setiap hipnoterapis profesional.

Dalam konteks terapi, terdapat dua jenis kesembuhan: semu dan tuntas. Kesembuhan semu terjadi ketika klien, setelah menjalani sesi konseling atau terapi, merasa dirinya telah sembuh atau terapis menyatakan bahwa klien telah sembuh, namun beberapa waktu kemudian klien kembali mengalami masalah yang sama seperti sebelum menjalani terapi.

Kesembuhan semu sering terjadi, menurut temuan kami, hipnoterapis AWGI, karena proses konseling atau terapi tidak berhasil menemukan dan menetralisasi akar masalah (ISE), yaitu kejadian paling awal dan Ego Personality (EP) yang bermasalah.

Dalam hal penyelesaian akar masalah, penting untuk memastikan apakah ISE (Initial Sensitizing Event) bersifat tunggal (single ISE) atau terdiri dari lebih dari satu kejadian (multi-ISE). Hal yang sama berlaku untuk EP (Ego Personality), di mana perlu dipastikan apakah EP yang menyebabkan masalah bersifat satu lapis (single layer) atau terdiri dari banyak lapis (multi-layer).

Pada kasus EP satu lapis, kesembuhan semu sering terjadi akibat pergeseran EP. EP bermasalah yang saat itu sedang aktif (executive) membuat individu mengalami masalah, tidak ditangani dengan cara atau teknik yang tepat, dan hanya digeser dan digantikan oleh EP lain.

EP bermasalah ini, yang semula aktif, akhirnya menjadi tidak aktif atau dorman untuk waktu tertentu, sampai ia terpicu untuk aktif kembali. Ketika EP bermasalah dorman, masalah individu tampak hilang sementara, seolah-olah sembuh. Namun, saat EP bermasalah ini kembali aktif, individu kembali mengalami masalah. Inilah yang sering disebut sebagai kambuh.

Kesembuhan tuntas, di sisi lain, terjadi ketika klien mengalami perubahan positif yang bertahan lama setelah sesi terapi.

Kesembuhan semu, walau bukan penyelesaian tuntas atas suatu masalah, sebenarnya baik adanya, dalam pengertian, ia memberi bukti dan harapan pada klien bahwa masalah atau kondisinya tidak kekal dan dapat diselesaikan. Yang dibutuhkan adalah upaya lebih lanjut, melalui cara yang tepat untuk bisa merealisasikan kesembuhan tuntas.

Menguji Kesembuhan

Bagaimana mengetahui apakah hasil terapi menghasilkan kesembuhan semu atau kesembuhan tuntas?

Hipnoterapis profesional pasti melakukan uji hasil terapi, sebanyak minimal dua kali, untuk memastikan proses terapi yang mereka lakukan menghasilkan kesembuhan tuntas, bukan kesembuhan semu.

Uji hasil terapi pertama dilakukan segera setelah terapi selesai. Uji hasil terapi kedua dilakukan dengan meminta klien mengecek kondisinya minimal satu minggu setelah terapi.

Contoh Praktis

Misalnya, Anda sebagai klien mengalami masalah cemas dan panik saat mengendarai mobil, berhenti di lampu merah, dan ada banyak kendaraan lain di sekeliling mobil Anda.

Sebelum terapi dilakukan, hipnoterapis profesional akan melakukan pretest. Caranya, ia akan meminta Anda menutup mata, mengingat kejadian terakhir saat Anda berhenti di lampu merah, dikelilingi banyak kendaraan lain, dan mengecek respons Anda. Anda pasti merasa tidak nyaman, cemas, dan panik dengan intensitas tertentu.

Setelah terapi, hipnoterapis akan melakukan post-test. Ia akan meminta Anda menutup mata dan membayangkan kejadian yang sama, yaitu berhenti di lampu merah dan dikelilingi banyak kendaraan lain, lalu mengecek respons Anda. Jika terapi berhasil, emosi cemas dan panik tidak lagi Anda rasakan. Ini artinya, Anda sudah sembuh.

Namun, hipnoterapis profesional akan melakukan satu uji hasil terapi lagi. Ia akan meminta Anda untuk mengecek respons Anda dalam situasi nyata selama seminggu ke depan, misalnya saat benar-benar berhenti di lampu merah dikelilingi banyak kendaraan.

Hasil dari uji ini akan memastikan apakah terapi yang dilakukan menghasilkan kesembuhan tuntas atau hanya kesembuhan semu.

Hak dan Kewajiban dalam Terapi

Jika Anda adalah seorang klien yang menggunakan jasa hipnoterapis untuk membantu mengatasi suatu masalah, Anda berhak meminta hipnoterapis Anda melakukan uji hasil terapi. Hal ini juga merupakan kewajiban setiap hipnoterapis profesional.

Uji hasil terapi bertujuan untuk memastikan bahwa kesembuhan yang Anda alami adalah kesembuhan tuntas, bukan kesembuhan semu. Perlu diingat, uji hasil terapi ini dilakukan segera setelah sesi terapi selesai, saat Anda masih duduk di kursi terapi.

Bila hipnoterapis Anda tidak bersedia melakukan uji hasil terapi, Anda dapat melakukannya sendiri mengikuti cara yang telah dijelaskan di atas. 

 

Saat hipnoterapis atau anda sendiri melakukan uji hasil terapi, mengingat kembali kejadian yang sebelumnya memicu perasaan tidak nyaman, dan ternyata Anda masih merasakan perasaan tidak nyaman, ini ada dua kemungkinan.

 

Pertama, perasaan tidak nyaman ini telah jauh berkurang tapi belum hilang tuntas. Ini artinya terapi yang dilakukan membuahkan hasil namun belum mencapai hasil maksimal.

 

Kedua, perasaan tidak nyaman tetap sama intensitasnya atau bahkan meningkat. Ini artinya, terapi yang dilakukan sama sekali tidak membuahkan hasil.
Perbedaan Hipnoterapis Profesional dan Amatir dalam Memahami Kondisi Hipnosis

Perbedaan Hipnoterapis Profesional dan Amatir dalam Memahami Kondisi Hipnosis

26 November 2024

Hipnoterapi adalah terapi, dapat menggunakan teknik apa saja, yang dilakukan dalam kondisi hipnosis. Kondisi hipnosis ini dibutuhkan untuk bisa menembus faktor kritis pikiran sadar sehingga proses terapi yang dilakukan tidak dikritisi atau "diganggu" oleh pikiran sadar klien.

Agar klien bisa mengalami kondisi hipnosis, hipnoterapis menggunakan induksi hipnotik. Namun, terdapat tiga pemahaman utama yang membedakan hipnoterapis profesional dan amatir dalam memahami kondisi hipnosis.

Hipnoterapis amatir (pemula) berpandangan bahwa klien masuk ke kondisi hipnosis berkat upaya yang mereka lakukan terhadap klien. Sebaliknya, hipnoterapis profesional memahami bahwa klien masuk ke kondisi hipnosis atas kehendak dan izin klien. Terapis hanya memfasilitasi proses tersebut.

Hipnoterapis amatir fokus pada skrip induksi. Mereka menyiapkan banyak skrip induksi—biasanya 10–15 skrip—untuk digunakan pada tipe klien yang berbeda dengan harapan salah satu skrip berhasil menghipnosis klien.

Bila ada klien karena sesuatu hal tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis, hipnoterapis amatir akan menyimpulkan bahwa klien adalah tipe yang tidak bisa dihipnosis.

Hipnoterapis pemula lebih fokus pada upaya untuk bisa segera mempratikkan teknik induksi dan teknik terapi untuk mengatasi masalah klien. Mereka kurang cermat dan detail dalam proses wawancara mendalam dan merumuskan masalah klien.

Hipnoterapis profesional menyadari pentingnya skrip induksi tetapi lebih fokus pada memahami kondisi, situasi, dan kebutuhan klien. Mereka membangun relasi dan kepercayaan dengan klien, memberikan rasa aman dan nyaman, yang menjadi fondasi penting dalam proses hipnoterapi.

Hipnoterapis profesional mengerti bahwa kondisi hipnosis adalah keniscayaan saat klien percaya pada terapis, sadar akan kebutuhan terapinya, siap, bersedia, dan ikhlas menjalankan sepenuhnya tuntunan terapis.

Mereka memahami dengan jelas bahwa hipnosis bukan sesuatu yang dilakukan kepada klien, melainkan sesuatu yang dilakukan klien pada dirinya sendiri. Hypnosis is not something done to the client. Hypnosis is done by the client.

Mereka juga mengerti bahwa klien masuk ke kondisi hipnosis, sedalam yang dibutuhkan untuk mengatasi masalahnya, dan klien bertahan sedangkal yang dibutuhkan untuk menjaga keselamatan hidupnya.

Kedua, hipnoterapis amatir tidak mengerti bahwa kondisi hipnosis sejatinya terdiri dari banyak jenjang kedalaman. Dan terdapat dua indikator kondisi hipnosis: fisik dan mental. Pada setiap kedalaman hipnosis bisa muncul fenomena spesifik dan unik, baik pada aspek fisik maupun mental.

Hipnoterapis amatir hanya menggunakan atau mengandalkan indikator fisik sebagai penentu kondisi hipnosis. Indikasi fisik ini antara lain: napas melambat dan ritmik, wajah datar, warna kulit wajah menjadi pucat, mata fokus pada satu objek (fiksasi), REM (rapid eye movement), mata menutup tiba-tiba, menelan ludah, lakrimasi, sklera memerah, detak jantung melambat, katalepsi pada tungkai, tubuh terasa berat, dan suhu tubuh berubah. Semua indikator ini sesungguhnya menunjukkan kondisi hipnosis dangkal.

Hipnoterapis profesional mengerti bahwa indikator ini lebih relevan untuk klien dengan tipe sugestibilitas fisik tetapi tidak akurat untuk klien dengan tipe sugestibilitas emosi. Mereka menggunakan indikator mental untuk memastikan secara akurat kedalaman kondisi hipnosis yang sedang dialami klien.

Ketiga, hipnoterapis amatir umumnya tidak memahami bahwa kedalaman hipnosis bersifat dinamis dan dapat berfluktuasi selama sesi terapi.

Hipnoterapis profesional mengerti bahwa untuk proses dan hasil hipnoterapi optimal membutuhkan dua hal: kedalaman dan kestabilan kondisi hipnosis. Mengingat sifat kondisi hipnosis yang dinamis, hipnoterapis profesional menggunakan teknik tertentu untuk memastikan dan mempertahankan kedalaman hipnosis klien pada rentang yang sesuai, menjaga stabilitas kondisi hipnosis selama sesi berlangsung, dan memastikan dampak terapi pada pikiran bawah sadar klien menjadi sangat kuat dan bertahan lama.

Memahami Cara Kerja Otak dan Hipnoterapi: Mengapa Pengetahuan Saja Tidak Cukup

Memahami Cara Kerja Otak dan Hipnoterapi: Mengapa Pengetahuan Saja Tidak Cukup

9 November 2024

Dalam uraian teori yang menjadi landasan protokol hipnoterapi yang diajarkan di kelas pendidikan hipnoterapis profesional Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH), saya juga menjelaskan hasil penelitian terkini tentang hubungan antara cara kerja otak dan proses hipnoterapi. Ini bertujuan untuk memberikan peserta pengetahuan yang solid, berlandaskan riset dan kajian ilmiah, sehingga mereka memiliki pemahaman yang mendalam dan rasa percaya diri yang tinggi.

Saya sangat menganjurkan para peserta didik SECH untuk terus belajar dan mendalami hasil-hasil penelitian terkait usai pendidikan. Saya senang bisa berbagi berbagai artikel jurnal dan ebook yang membahas topik yang mereka minati.

Terlepas dari itu, satu hal yang sangat saya tekankan adalah bahwa proses belajar hipnoterapi yang ideal adalah dengan membangun kompetensi terapeutik yang tinggi serta kecakapan dalam membantu klien mengatasi masalah mereka. Bila mereka tidak memahami secara neurosains, bagaimana proses terapi yang mereka lakukan berhasil membantu klien sembuh, ini bukan masalah.

Yang paling penting adalah, mengingat mereka belajar dan mempraktikkan hipnoterapi, bukan neurosains, mereka harus benar-benar memahami, dari perspektif ilmu pikiran dan hipnoterapi, mengapa terapi yang mereka lakukan konsisten memberikan hasil yang efektif dan bertahan lama. Ini saja sudah cukup.

Sebagai hipnoterapis, memiliki pemahaman yang baik tentang cara kerja otak yang mendasari hipnoterapi tentu sangat berharga. Pengetahuan ini membantu terapis memahami bagaimana hipnoterapi memengaruhi otak, yang pada akhirnya memengaruhi emosi, pola pikir, serta perilaku. Namun, memahami sains di balik hipnoterapi saja tidak cukup untuk secara efektif menyelesaikan masalah klien.

Di kelas SECH, saya menjelaskan tentang amygdala hijack atau pembajakan amigdala, yaitu kondisi ketika amigdala mengambil alih kendali dan menyebabkan respons emosional yang intens. Kondisi ini terjadi ketika otak rasional diabaikan, dan sinyal langsung dikirim ke "otak emosional".

Istilah amygdala hijack pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence untuk menggambarkan situasi ketika seseorang bereaksi secara berlebihan atau impulsif akibat pemicu emosional.

Amigdala adalah bagian dari sistem limbik di otak yang berperan dalam memproses emosi, khususnya emosi yang berhubungan dengan rasa takut, marah, dan stres. Ketika seseorang menghadapi situasi yang dianggap mengancam atau memicu stres, amigdala mengirim sinyal peringatan ke tubuh untuk bereaksi cepat dalam bentuk respons lawan atau lari (fight-or-flight response).

Namun, dalam situasi amygdala hijack, respons ini terjadi terlalu cepat, sebelum bagian otak lain yang lebih rasional, seperti korteks prefrontal, memiliki kesempatan untuk mengevaluasi situasi secara logis. Hasilnya adalah reaksi emosional yang sangat kuat, yang sering kali disertai dengan keputusan atau tindakan yang kurang bijak.

Saat seseorang mengalami amygdala hijack, mereka bisa mengalami kondisi, antara lain: marah atau takut yang berlebihan, gelisah atau cemas tanpa alasan yang jelas, tidak mampu berpikir jernih atau membuat keputusan yang rasional, melakukan tindakan impulsif yang biasanya mereka sesali kemudian.

Contoh amygdala hijack yang umum adalah ketika seseorang bereaksi marah secara berlebihan dalam sebuah argumen, kemudian merasa menyesal setelah situasi mereda. Reaksi tersebut disebabkan oleh amigdala yang "mengambil alih," menyebabkan respons emosional yang tidak terkendali.

Saya menjelaskan bagaimana suatu informasi, saat diterima oleh pikiran (otak) melalui enam indera, diproses di beberapa bagian otak seperti talamus, hipotalamus, hipokampus, amigdala, korteks prefrontal, aktivasi poros HPA, dan lainnya.

Saya bertanya kepada para peserta, "Apakah dengan Anda mengetahui cara kerja amygdala hijack, Anda bisa langsung menggunakan pengetahuan ini untuk membantu klien Anda?"

Jawabannya, tidak. Kita adalah hipnoterapis, bukan praktisi neurosains. Pengetahuan dan kajian neurosains serta hipnoterapi kita gunakan untuk memberikan validasi ilmiah atas apa yang kita lakukan.

Saya kemudian menguraikan secara detail bagaimana Quantum Hypnotherapeutic ProtocolDual Layer Therapy, yang mereka praktikkan dapat menyelesaikan masalah amygdala hijack dengan memproses pikiran bawah sadar (PBS) yang berisi pengalaman traumatis serta emosi yang memicu respons fight-or-flight. Penjelasan dan pemahaman ini semakin kuat saat dipadukan dengan pengetahuan tentang cara kerja otak.

Ada satu teknik yang saya ciptakan, berdasar pemahaman akan mekanisme amygdala hijack, yang sangat efektif dan mampu dengan cepat "mendinginkan" amydala yang "panas" (overaroused). Namun ini bukan teknik hipnoterapi. Teknik ini dilakukan dalam kondisi sadar normal, sama sekali tidak membutuhkan kondisi trance.

Kunci sukses hipnoterapi terletak pada kompetensi dan keterampilan terapis dalam menerjemahkan pengetahuan ini menjadi teknik-teknik terapeutik yang praktis. Seorang terapis yang memiliki pengetahuan tetapi kurang pengalaman mungkin memahami mekanisme trance dan respons neural, tetapi tanpa kemampuan untuk membangun hubungan, menyesuaikan teknik, dan membimbing klien melalui proses yang aman dan memberdayakan, terapi tidak dapat memberikan hasil yang diinginkan.

Hipnoterapi yang efektif memerlukan kombinasi empati, komunikasi, kemampuan beradaptasi, dan keahlian teknis. Terapis harus tahu bagaimana berinteraksi dengan kebutuhan unik klien, menemukan masalah mendasar, dan menggunakan teknik hipnoterapi yang memfasilitasi perubahan nyata. Ini melibatkan penyesuaian pendekatan untuk setiap individu, menyesuaikan teknik sesuai kebutuhan, serta membangun lingkungan yang aman dan penuh kepercayaan di mana klien merasa terbuka dan termotivasi untuk berubah.

Singkatnya, meskipun pengetahuan tentang cara kerja otak membentuk pemahaman dasar, kompetensi terapis dalam menerapkan pengetahuan ini yang sebenarnya membawa transformasi dan penyelesaian masalah klien.

Alasan Saya Tidak Melakukan Terapi di Luar Kota

Alasan Saya Tidak Melakukan Terapi di Luar Kota

3 November 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Banyak sahabat yang berharap dapat bertemu saya saat saya berkunjung ke kota tertentu untuk menjalani sesi terapi. Banyak yang kecewa karena saya tidak pernah memberikan layanan terapi ketika berada di luar kota. Saya telah berulang kali menyampaikan bahwa saya hanya melakukan terapi di kota Surabaya.

Kejadian terakhir, seorang sahabat merasa kecewa karena tidak dapat bertemu saya di kota Medan. Minggu lalu, kami menyelenggarakan dua kegiatan besar: Parenting Class, sebuah workshop sehari penuh yang dihadiri 100 peserta, dan seminar Life Transformation selama 4 jam yang dihadiri lebih dari 1.000 peserta.

Kebijakan untuk tidak melakukan terapi di luar kota sudah saya berlakukan sejak awal menjalani profesi sebagai hipnoterapis. Ada alasan penting yang mendasari kebijakan ini, yang semata-mata demi kebaikan dan kesejahteraan klien.

Protokol hipnoterapi yang saya ciptakan mensyaratkan sesi konseling/terapi hingga maksimal 4 sesi. Jika dalam satu atau dua sesi masalah klien telah berhasil diatasi, klien tidak perlu melanjutkan ke sesi berikutnya. Namun, jika diperlukan, sesi terapi bisa dilanjutkan hingga empat sesi.

Saat klien datang kepada saya untuk menjalani hipnoterapi, ia harus memiliki komitmen untuk menjalani hingga maksimal empat sesi terapi. Hal yang sama berlaku bagi saya, sebagai terapis. Saya terikat komitmen untuk menyediakan waktu dan layanan bagi klien hingga 4 sesi.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa masalah klien umumnya berhasil diatasi dalam satu atau dua sesi terapi berdurasi antara 3 hingga maksimal 4 jam. Namun, ada juga kasus tertentu yang membutuhkan lebih dari dua sesi terapi, dengan jarak antar-sesi idealnya satu minggu.

Jadi, misalnya jika saya melakukan terapi di Medan, lalu kembali ke Surabaya, dan satu minggu kemudian klien melaporkan bahwa kondisinya belum membaik sepenuhnya, apa yang harus dilakukan? Sesuai komitmen, klien perlu bertemu saya untuk menjalani sesi kedua.

Bagaimana jika karena suatu alasan klien tidak bisa datang ke Surabaya untuk bertemu saya?

Di sinilah tanggung jawab saya sebagai terapis harus dijalankan. Saya yang harus berangkat ke Medan untuk melanjutkan sesi kedua. Ini tidak bisa ditawar. Apa pun yang terjadi, saya harus berkomitmen dan berangkat ke Medan untuk melanjutkan sesi dengan klien ini.

Selain itu, tidak etis jika saya, karena tidak bersedia ke Medan, merujuk klien ke murid saya yang adalah hipnoterapis di Medan untuk melanjutkan sesi terapi. Klien mungkin tidak bersedia, karena ia lebih percaya kepada saya sebagai terapis yang telah membantunya, daripada terapis lain.

Agar hipnoterapi dapat dilakukan secara optimal, ada syarat yang harus dipenuhi, terutama terkait dengan ruang terapi. Saya tidak bersedia melakukan terapi di ruang yang seadanya, yang tidak memenuhi standar AWGI, apalagi jika terapi dilakukan di kamar hotel.

Kebijakan ini juga berlaku bagi setiap hipnoterapis AWGI dan AHKI (Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia).

Alasan Kami Tidak Memberi Referral Fee

Alasan Kami Tidak Memberi Referral Fee

2 November 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Di tulisan saya sebelumnya, saya menjawab pertanyaan seorang sahabat bahwa saya, dan para hipnoterapis AWGI, tidak memberi referral fee kepada pihak yang merekomendasi klien untuk mendapat bantuan profesional kami.

Selanjutnya, ada yang bertanya, di kolom komentar, bertanya apa alasan kami tidak memberi referral fee.

Jawaban saya:

Saya dan para hipnoterapis AWGI tidak memberikan referral fee kepada pihak yang merujuk klien kepada kami, baik dari kalangan profesional maupun orang awam. Hal ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan terkait etika, profesionalisme, dan kualitas pelayanan. Berikut penjelasannya:

Menjaga Etika Profesi dan Integritas

Seperti profesi lain dalam bidang kesehatan mental, hipnoterapis terikat oleh kode etik yang mengutamakan pelayanan berbasis kebutuhan klien. Pemberian referral fee berpotensi mengaburkan batas antara kepentingan klien dan keuntungan finansial, yang dapat mengurangi objektivitas dalam memberikan pelayanan terbaik. Hipnoterapis wajib bertindak profesional tanpa melibatkan pemberian insentif finansial kepada pihak ketiga.

Mencegah Konflik Kepentingan

Pemberian referral fee dapat menimbulkan risiko bahwa rujukan lebih didasarkan pada keuntungan pribadi daripada kebutuhan klien. Hal ini dapat menyebabkan rujukan yang kurang tepat atau tidak sesuai, yang pada akhirnya merugikan klien serta menurunkan kualitas layanan hipnoterapi.

Membangun Kepercayaan Klien

Jika klien mengetahui bahwa hipnoterapis memberikan referral fee kepada pihak yang merujuk mereka, hal ini dapat menciptakan persepsi negatif dan merusak kepercayaan klien terhadap hipnoterapis. Klien perlu diyakinkan bahwa rujukan yang mereka terima murni berdasarkan kebutuhan, bukan karena adanya insentif finansial bagi perujuk.

Mematuhi Prinsip Profesionalisme dalam Layanan Terapi

Layanan hipnoterapi berfokus pada kesehatan mental dan menuntut komitmen tinggi terhadap profesionalisme. Pemberian referral fee dapat merusak reputasi hipnoterapis serta menciptakan kesan bahwa terapi dilakukan demi keuntungan finansial, bukan demi kesejahteraan terbaik klien. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip profesional di bidang kesehatan mental.

Menghindari Komersialisasi Layanan Terapi

Hipnoterapis bertujuan membantu klien dalam menangani masalah emosi atau perilaku. Pemberian referral fee dapat menciptakan kesan bahwa layanan terapi diperlakukan sebagai bisnis komersial, yang bertentangan dengan tujuan utama layanan kesehatan mental—memberikan bantuan yang tulus dan sesuai kebutuhan.

Mencegah Penyalahgunaan dan Eksploitasi Klien

Adanya referral fee dapat membuka peluang bagi pihak tertentu untuk mengeksploitasi klien demi keuntungan pribadi. Dengan tidak memberikan insentif finansial, hipnoterapis memastikan bahwa keputusan rujukan didasarkan pada kebutuhan dan kesejahteraan klien, bukan keuntungan pihak lain.

Secara keseluruhan, menghindari pemberian referral fee membantu hipnoterapis menjaga komitmen terhadap etika, kepercayaan, dan profesionalisme, memastikan bahwa klien yang datang ke terapis benar-benar membutuhkan bantuan, dan bahwa rujukan diberikan berdasarkan kebutuhan, bukan insentif finansial.

Demikianlah adanya...

Demikianlah kenyataannya...

Tiga Tahap Kritis Menjadi Hipnoterapis Profesional

Tiga Tahap Kritis Menjadi Hipnoterapis Profesional

18 Juni 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Di saat istirahat makan siang, saya berbincang dengan beberapa peserta di meja makan. Saya tanya mereka, bagaimana mereka tahu tentang pelatihan hipnoterapi Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy® (SECH)

Ada yang tahu SECH dari membaca tulisan dan video yang saya tayangkan di media sosial. Ada yang mendapat informasi dari anggota keluarga atau teman yang telah belajar SECH dan berpraktik sebagai hipoterapis aktif. Ada beberapa yang sebelumnya telah menjalani hipnoterapi dengan hipnoterapis AWGI, merasakan manfaat, dan memutuskan untuk belajar agar juga bisa membantu orang lain. Ada yang mendapat referensi dari sejawat ilmuwan psikologi.

Ada yang memang sudah lama berniat belajar hipnoterapi, tidak tahu harus belajar ke mana, dan mencari informasi di internet. Pencarian ini mengantarkan mereka pada beberapa nama pengajar dan lembaga. Setelah mereka mempelajari dengan cermat rekam jejak pengajar atau lembaga yang mengajar hipnoterapi, melakukan pembandingan, akhirnya memutuskan belajar hipnoterapi di AWGI.

Saya berbagi kisah dan pengalaman saya belajar hipnoterapi dengan para peserta. Saya ceritakan betapa sulit saya bisa mendalami hipnoterapi yang efektif dan ilmiah. Saya sampai harus beli sangat banyak buku dan video dari luar negeri. Dan saya harus benar-benar jeli mencari dan menemukan guru-guru hipnoterapi terbaik di dunia. Saya akhirnya memutuskan belajar hipnoterapi langsung ke beberapa pakar hipnoterapi terbaik di Amerika.

Mereka bertanya kepada saya, apa kriteria yang saya gunakan untuk menentukan kualitas guru sebagai tempat belajar saya.

Saya menjelaskan bahwa sebelum menetapkan kriteria untuk guru, saya perlu terlebih dahulu menetapkan tujuan saya dalam mempelajari hipnoterapi. Apakah saya hanya ingin mendapatkan gelar CHt tanpa mempermasalahkan kualitas pelatihan yang diikuti? Apakah saya sekadar ingin mengetahui apa itu hipnoterapi? Apakah saya ingin bisa berpraktik hipnoterapi? Kompetensi seperti apa yang ingin saya capai? Apakah saya ingin bisa menangani kasus ringan, sedang, atau berat?

Saya memilih menjadi hipnoterapis dengan kompetensi terapeutik tinggi, menjadi hipnoterapis terbaik yang saya bisa menjadi. Bagi saya, gelar tidak penting, yang penting adalah kompetensi. Saat saya melakukan terapi, yang dibutuhkan adalah kompetensi, bukan gelar. Oleh karena itu, saya menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh pengajar hipnoterapi yang akan saya datangi.

Kriteria ini meliputi, antara lain:

1. 𝐑𝐞𝐤𝐚𝐦 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐩𝐮𝐭𝐚𝐬𝐢: Pengajar harus memiliki rekam jejak sebagai hipnoterapis aktif, cakap, andal, berpengalaman, dengan kredibilitas dan reputasi yang baik.

2. 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢: Pengajar telah menulis minimal satu buku berkualitas yang membahas hipnoterapi.

3. 𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢: Nama pengajar sering disebut atau menjadi rujukan penulis atau praktisi hipnoterapi lainnya.

4. 𝐊𝐨𝐦𝐩𝐞𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐮𝐤𝐭𝐢: Pengajar bersedia menunjukkan kompetensinya melalui live therapy di depan murid-muridnya, membuktikan teori, strategi, dan teknik terapi yang diajarkan.

5. 𝐀𝐥𝐮𝐦𝐧𝐢 𝐁𝐞𝐫𝐤𝐮𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬: Alumni pelatihannya terbukti memiliki kompetensi terapeutik tinggi dan aktif berpraktik.

6. 𝐏𝐞𝐥𝐚𝐭𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐭𝐚𝐩 𝐌𝐮𝐤𝐚: Pelatihannya harus diselenggarakan secara tatap muka.

7. 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐈𝐥𝐦𝐢𝐚𝐡: Menulis artikel jurnal tentang hipnoterapi (opsional).

Dengan menggunakan kriteria ini, saya bertemu dengan guru-guru hipnoterapi terbaik dunia seperti Gil Boyne, Randal Churchill, Gerald Kein, John Butler, Tom Silver, dan Anna Wise. Semua guru ini melakukan live therapy di kelas, menangani klien dengan masalah riil, bukan sekadar simulasi. Ini memungkinkan kami sebagai murid melihat, belajar, dan memahami proses hipnoterapi yang benar dan efektif dari awal hingga akhir.

Pengalaman belajar dengan guru-guru saya ini menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama. Sejak pertama saya menyelenggarakan pelatihan hipnoterapi profesional di tahun 2008, saya melakukan live therapy sebagai bagian dari proses pendidikan untuk menghasilkan hipnoterapis profesional berkompetensi terapeutik tinggi.

Untuk memastikan setiap peserta didik SECH mampu menumbuhkembangkan kompetensi terapeutik tertinggi yang bisa mereka capai, saya memutuskan menaikkan standar proses pendidikan hipnoterapis lebih tinggi lagi, dengan memberikan bimbingan dan supervisi pada setiap praktik yang dilakukan para peserta didik SECH.

Ini bukan hal mudah karena sangat menyita waktu, menguras energi dan pikiran saya. Saya membaca setiap laporan kasus terapi yang dilakukan para peserta SECH, menilai, dan memberi saran, masukan untuk perbaikan dan peningkatan kompetensi mereka.

Keputusan ini didasarkan pada pengalaman pribadi saya. Saya tahu betapa sulitnya mencapai kompetensi tinggi tanpa bimbingan dan supervisi ketat yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan oleh pengajar berpengalaman.

Berdasar pengalaman saya, ada tiga tahap kritis yang harus dilalui setiap peserta didik untuk menjadi hipnoterapis kompeten:

1. 𝐏𝐞𝐧𝐝𝐢𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢: Peserta harus memahami landasan teori yang kuat, pengetahuan yang mendalam tentang cara kerja pikiran, pendekatan, metode, strategi, dan teknik-teknik terapi yang telah teruji, terbukti aman, dan efektif. Tahap ini sangat penting karena menjadi landasan untuk tahap-tahap berikutnya.

2. 𝐈𝐧𝐝𝐮𝐤𝐬𝐢 𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐬𝐢𝐬: Peserta harus mampu melakukan induksi dan berhasil menuntun klien masuk ke kedalaman kondisi hipnosis yang tepat untuk melakukan terapi. Keberhasilan induksi membangun rasa percaya diri yang sangat penting dalam praktik hipnoterapi. Di kelas SECH, selain menjelaskan landasan teori dari skrip induksi yang digunakan, saya juga menunjukkan cara penggunaan skrip yang benar dengan melakukan induksi pada peserta.

3. 𝐏𝐫𝐚𝐤𝐭𝐢𝐤 𝐌𝐚𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢: Peserta harus mampu melakukan praktik mandiri yang efektif dan sukses membantu klien, karena keberhasilan pada tahap awal ini sangat penting untuk menguatkan kepercayaan diri mereka. Ini hanya bisa dicapai jika peserta memiliki pengetahuan dan pemahaman yang benar dan mendalam tentang hipnoterapi, mampu melakukan induksi dengan berhasil, dan telah melihat secara langsung bagaimana terapi dilakukan. Saya memberikan kesempatan kepada peserta untuk mempelajari empat video rekaman live therapy yang saya lakukan di angkatan SECH sebelumnya dan melakukan empat live therapy di depan kelas.

Peserta juga diberi basis data dan pengalaman terapi sejak minggu pertama hingga hari terakhir pendidikan. Saya menceritakan berbagai kasus yang pernah saya dan hipnoterapis AWGI tangani, strategi dan teknik yang digunakan, dan hasil terapi yang dicapai.

Dengan pendekatan ini peserta dapat menjadi hipnoterapis profesional dengan kompetensi terapeutik tinggi, mampu membantu klien secara efektif, dan berkontribusi positif dalam masyarakat.

Otak Tidak Bisa Menerima Kata Negatif: Kata Siapa?

Otak Tidak Bisa Menerima Kata Negatif: Kata Siapa?

9 Juni 2024

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Saya sering mendapat pertanyaan dari pembaca buku dan peserta pelatihan, "Pak, katanya otak atau pikiran tidak bisa menerima kata negatif (negasi) seperti tidak, jangan, tanpa, tidak boleh, dan sejenisnya. Apa benar seperti ini?"
 
Jawaban singkat, "Ini tidak sepenuhnya benar". Saya ingat pertama kali menulis tentang hal ini di dinding FB saya tanggal 18 Desember 2012. Dan dalam beberapa kesempatan, saya juga telah mengulas tentang ini.
 
Pemahaman awam dan juga sering saya temukan di berbagai buku memang mengatakan bahwa otak atau pikiran tidak bisa menerima kata yang bersifat negasi. Dasar pemikirannya adalah saat seseorang diminta "Jangan memikirkan gajah" maka yang terjadi ia justru memikirkan gajah.
 
Prosesnya adalah untuk bisa "jangan memikirkan" maka harus ada "gajah" terlebih dahulu dimunculkan di pikiran. Begitu "gajah" ini muncul maka "jangan memikirkan" sudah tidak lagi bisa bekerja karena gambar ini akan tetap ada di pikiran.
 
Pemahaman ini benar namun tidak semuanya benar. Bagaimana bila kita menggunakan kalimat "Saya tidak kaya"? Dengan pemahaman atau logika pada contoh di atas, berarti otak/pikiran akan "menghilangkan" kata "tidak" dan akan hanya menjalankan kalimat "Saya kaya".
 
Bila logika di atas adalah senantiasa benar, kita dapat menggunakan kalimat sugesti atau afirmasi dengan kata negatif seperti "Saya tidak rajin", "Saya tidak bahagia", "Saya tidak cerdas", "Saya tidak cantik", "Saya tidak pintar", "Saya tidak beruntung", "Saya tidak sehat", atau sejenisnya dan, sekali lagi, berdasar logika di atas, yang akan diterima oleh otak atau pikiran adalah kalimat positif karena kata "tidak" diabaikan atau tidak diterima.
 
Pertanyaan saya, beranikah kita memberi sugesti pada diri sendiri menggunakan kalimat-kalimat di atas dan berharap hasil positif? Jawabannya pasti tidak.
 
Lalu, pemahaman yang benar seperti apa?
 
Saya mendapat pemahaman yang berbeda saat mempelajari hipnoterapi klinis khususnya mengenai mekanisme, cara kerja, hukum, dan sifat pikiran bawah sadar. Dalam dunia hipnoterapi klinis, dalam konteks menyusun sugesti untuk klien, ada terminologi "pharsing". Pharsing adalah kecenderungan pikiran bawah sadar untuk menolak kata-kata yang bersifat negasi (tidak, jangan, atau sejenisnya) saat seseorang berada dalam kondisi relaksasi pikiran yang dalam (deep trance).
 
Kata kunci pada definisi di atas adalah "kecenderungan" dan "relaksasi pikiran yang dalam". Cenderung berarti tidak selalu. Relaksasi pikiran yang dalam berarti seseorang berada dalam kondisi hipnosis yang dalam.
Memang sebaiknya, diusahakan, untuk selalu menggunakan kata-kata positif. Misal "jangan malas" diganti dengan "rajin", "jangan telat" diganti dengan "datang tepat waktu", "jangan lupa" diganti dengan "ingat".
Namun bila ternyata tidak ada kata positif pengganti, misal untuk sugesti berhenti merokok, "Saya bukan perokok", maka gunakan sugesti ini walau ada kata negatif. Otak atau pikiran kita dapat memahami apa yang diinginkan.