Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®
Artikel ini bertujuan menjelaskan kesamaan, perbedaan, dan manfaat meditasi, mindfulness, hipnosis dan hipnoterapi.
Hipnosis dan meditasi masing-masing merujuk pada rangkaian luas praktik berasal dari tradisi panjang dalam sejarah dan budaya sangat berbeda. Mereka menggunakan dan melibatkan beragam aktivitas kognisi, afeksi, perilaku, dan bertujuan mencapai sejumlah besar hasil terapeutik dan spiritual, mulai dari analgesia hingga pencerahan (enlightenment).
Praktik meditasi dan mindfulness (perhatian penuh) jauh mendahului pemanfaatan hipnosis untuk tujuan terapeutik, dan dapat ditelusuri hingga lebih dari 2.000 tahun lalu, saat Buddha menjelaskan meditasi sebagai cara melepas kelekatan pada bentuk-bentuk pikiran, perasaan, dan perilaku atau kebiasaan yang sifatnya mengganggu (Lyn dkk, 2006).
Keragaman di antara tujuan dan teknik dalam domain-domain ini mengakibatkan tantangan serius dalam upaya menetapkan definisi inklusif dari praktik masing-masing.
Di luar keragaman aktivitas dalam praktik hipnosis dan meditasi, inkonsistensi interpretasi terhadap istilah utama, seperti hipnosis (Kirsch dkk, 2011) dan mindfulness (Williams dan Kabat-Zinn, 2011) – semakin membuat kabur konsep utama dan menghambat kemajuan penelitian dalam topik ini.
Meditasi biasanya dipahami lebih berdasar efek yang dihasilkannya. Ada yang mendefinisikan meditasi sebagai teknik relaksasi (Benson, 1975). Definisi ini berimplikasi pada kemiripan masalah yang ditemui dalam literatur tentang relaksasi (Davidson dan Schwartz, 1976), yang menyatakan bahwa teknik relaksasi adalah teknik yang menghasilkan efek-efek tertentu, seperti berkurangnya ketegangan otot, dan menurunnya keaktifan sistem saraf simpatik.
Tentunya, cara mendefinisikan meditasi berdasarkan efek yang dihasilkannya, menggunakan variabel dependen untuk mendefinisikan variabel independen, bukanlah cara yang tepat dan memuaskan, dan tidak mampu menghasilkan definisi akurat.
Masalah lain dalam mendefinisikan meditasi adalah terdapat begitu banyak jenis atau teknik meditasi. Ada teknik meditasi yang dilakukan dengan postur tubuh duduk dan menghasilkan kondisi tenang dan rileks (Wallace, Benson, dan Wilson, 1971). Kegiatan meditasi lainnya dilakukan dengan duduk diam dan menghasilkan kondisi gembira dan semangat (Das dan Gastaut, 1955; Croby dkk, 1978).
Sementara teknik lainnya, seperti tarian berputar Sufi, Tai Chi, dan Hatha yoga melibatkan gerakan fisik hingga taraf tertentu (Naranjo dan Ornstein, 1971; Hirai, 1974). Kadang, “meditasi bergerak” ini menghasilkan kondisi gembira, kadang kondisi rileks (Fischer, 1971; Davidson, 1976). Bergantung pada tipe meditasi yang dilakukan, tubuh dapat aktif dan bergerak, atau relatif diam dan pasif.
Walau terdapat banyak teknik, bila dicermati, sejatinya hanya terdapat tiga kelompok besar strategi dan regulasi perhatian yang digunakan dalam meditasi: fokus pada objek spesifik di dalam medan perhatian (meditasi konsentrasi – samatha), fokus pada medan perhatian (meditasi perhatian penuh – vipassana / mindfulness), dan bergeser antara keduanya. Perhatian dalam konteks ini mengacu secara luas pada alokasi sumber daya pemrosesan kognitif.
Pola fokus seperti ini sejalan dengan mekanisme otak dalam memerhati, seperti yang dijelaskan Pribram (1971), serupa dengan kamera dan bekerja dengan dua cara. Pertama, fokus kamera seperti pada lensa sudut lebar – kesadaran luas dan menyapu semua medan perhatian (meditasi mindfulness). Kedua, tipe perhatian serupa dengan lensa tele (zoom), secara spesifik fokus hanya pada segmen terbatas di medan perhatian (meditasi konsentrasi).
Mengacu pada perspektif Buddhis, para ilmuwan secara umum mengelompokkan praktik meditasi ke dalam dua kategori: meditasi konsentrasi /samatha dan meditasi pengamatan terbuka / vipassana (Lutz dkk, 2008).
Meditasi konsentrasi (samatha) atau perhatian terpusat melibatkan konsentrasi pada satu objek spesifik di dalam medan perhatian, seperti napas, mantra atau kalimat doa yang diulang. Sementara meditasi pengamatan terbuka (vipassana) melibatkan perluasan perhatian dengan mengikutsertakan seluruh bidang perhatian dari satu momen pengalaman ke momen pengalaman berikutnya.
Walau pembagian meditasi secara konseptual menjadi dua jenis cukup bermanfaat, banyak praktik meditasi tidak secara tegas masuk ke dalam skema keduanya, seperti praktik meditasi cinta kasih dan visualisasi (Lutz, Dunne, dan Davidson, 2006).
Menggunakan mekanisme perhatian sebagai dasar untuk menetapkan definisi, dapat dinyatakan bahwa meditasi merujuk pada sekumpulan teknik dengan kesamaan berupa upaya sadar dalam mengarahkan dan memusatkan perhatian secara nonanalitikal, dan sebuah upaya sadar untuk tidak larut dalam bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang muncul.
Meditasi Buddhis dan Mindfulness
Ajaran Buddha tentang meditasi perhatian penuh (mindfulness), singkat dan jelas. Ajaran ini tertulis dalam Ānāpānasati sutta dan Satipatthana sutta. Keduanya menjelaskan metode sistematis untuk mengolah dan mengembangkan kesadaran, dengan secara khusus memerhatikan napas masuk dan keluar. Dalam Ānāpānasati sutta, Buddha menyatakan:
[1] Menarik napas panjang, ia menyadari, "Aku sedang menarik napas panjang." Mengembuskan napas panjang, ia menyadari, "Aku sedang mengembuskan napas panjang."
[2] Menarik napas pendek, ia menyadari, "Aku sedang menarik napas pendek." Mengembuskan napas pendek, ia menyadari, "Aku sedang mengembuskan napas pendek."
[3] Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh (atau napas)." Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami seluruh tubuh (atau napas)."
[4] Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan jasmani." Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan jasmani."
(Buddhadasa, 1988, p. 147)
Uraian ini menunjukkan bahwa Buddha memandang napas baik sebagai (1) objek kesadaran (“[1] Menarik napas panjang, ia menyadari, "Aku sedang menarik napas panjang.") dan (2) sarana untuk mengarahkan perhatian (“[3] ] Ia berlatih sebagai berikut, "Aku akan menarik napas dengan mengalami seluruh tubuh (atau napas).").
Praktisi meditasi, dengan demikian, tidak hanya secara berkesinambungan memerhatikan napas, juga memanfaatkan proses ini untuk mengembangkan kesadaran pada berbagai aspek diri sebagai bagian dari latihan mental.
Uraian berikutnya menggambarkan kesadaran perhatian penuh terhadap perasaan dan persepsi ([5] hingga [8]), pikiran dan kehendak ([9] hingga [12]), dan ketidakkekalan fenomena ([13] hingga [16]).
[5] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan mengalami sukacita.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami sukacita.”
[6] Ia berlatih sebagai berikut, “‘Aku akan menarik napas dengan mengalami kenikmatan.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami kenikmatan.”
[7] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan mengalami bentukan batin.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami bentukan batin.”
[8] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan menenangkan bentukan batin.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan menenangkan bentukan batin.”
[9] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan mengalami pikiran.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengalami pikiran.’”
[10] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan menggembirakan pikiran.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan menggembirakan pikiran.”
[11] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan mengonsentrasikan pikiran.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan mengonsentrasikan pikiran.”
[12] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan membebaskan pikiran.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan membebaskan pikiran.”
[13] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan merenungkan ketidakkekalan.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan ketidakkekalan.”
[14] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan merenungkan peluruhan.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan peluruhan.”
[15] Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan menarik napas dengan merenungkan lenyapnya.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lenyapnya.”
[16] Ia berlatih sebagai berikut, ”Aku akan menarik napas dengan merenungkan lepasnya.” Ia berlatih sebagai berikut, “Aku akan mengembuskan napas dengan merenungkan lepasnya.”
Berdasar mekanisme perhatian yang terlibat dalam meditasi, secara ringkas meditasi dapat didefinisikan sebagai kegiatan membawa pikiran dengan penuh kesadaran pada satu objek tertentu (Paññāvaro, 2016). Sementara menurut Wise (2009) meditasi adalah kondisi kesadaran dengan pola gelombang otak sangat spesifik. Kondisi meditatif ini dicapai dengan teknik sesuai.
Dalam meditasi, perhatian dapat secara aktif diarahkan pada satu objek konsentrasi dengan mengabaikan objek lainnya (Anand, Chinna, dan Singh, 1961). Perhatian juga dapat fokus pada satu objek, tetapi saat objek lain, bentuk-bentuk pikiran, atau perasaan muncul, mereka dapat dikenali sejenak, kemudian perhatian diarahkan kembali pada objek semula, seperti dalam meditasi vipassana dan transendental. Perhatian juga dapat tidak difokuskan eksklusif pada objek tertentu, seperti dalam Zen Shikan Taza (Kasamatsu dan Hirai, 1966; Krishnamurti, 1979).
Mindfulness adalah sebuah kata, digunakan dalam banyak cara. Definisinya bergantung pada siapa yang menggunakannya dan dalam konteks apa. Mindfulness adalah terjemahan dari bahasa Pali sati, Sansekerta smrti, Mandarin nian, dan Tibet dran pa, bermakna kesadaran (awareness), perhatian (attention), dan pengingatan (remembering) (Germer, 2004).
Mindfulness adalah satu bentuk meditasi Buddhis yang berakar pada tradisi Theravada di Asia Tenggara. Walau istilah mindfulness telah banyak digunakan, hingga saat ini belum ada konsensus definisinya di antara para peneliti karena keragaman prosedural dan kompleksitas fenomenologis terkait praktik mindfulness (Lifshitz et al., 2012; Otani, 2016; Pekala & Creegan, 2020).
Konsep mindfulness (perhatian penuh) mulai populer di Barat sejak Jon Kabat-Zinn (1991, 1994) mengembangkan teknik reduksi stres berbasis mindfulness (mindfulness-based stress reduction).
Nyanaponika (1972) mendefinisikan mindful sebagai kesadaran jernih dan tunggal akan apa yang terjadi pada dan di dalam diri pada momen-momen persepsi berkelanjutan.
Kabat-Zinn (1990/2005) mendefinisikan mindfulness sebagai perhatian yang dilakukan secara sadar, tanpa menilai atau menghakimi, terhadap pengalaman dari satu momen ke momen berikutnya.
Mindful menurut Paññavaro (2016) adalah pengamatan atas pengalaman dan bagaimana pengalaman ini berlangsung tanpa memberi makna, menghakimi, menilai, memberi nama atau label, melibatkan emosi, atau berusaha dengan sesuatu cara mengubah pengalaman ini.
Ada dua tipe mindfulness: (1) samatha, menggunakan perhatian terfokus pada objek spesifik dan (2) vipassana yang menekankan pengamatan terbuka terhadap persepsi yang berlangsung.
Dalam perhatian tidak menghakimi, netral, apa adanya, mindfulness mencakup penerimaan, kesabaran, dan toleransi terhadap timbul tenggelam bentuk-bentuk pikiran, perasaan, sensasi yang muncul di dalam kesadaran, atau memerhatikan konten kesadaran, sebagaimana dalam meditasi vipassana atau meditasi pandangan terang (Mellinger dan Lynn, 2012).
Meditator, dalam melakukan praktik meditasi mindfulness, memfokuskan perhatiannya pada objek yang telah ditentukan sebelumnya, misal napas, gerakan perut, suara tertentu, gambaran mental di pikiran, sambil tetap memerhatikan stimuli eksternal (penglihatan, suara, bau, sentuhan, dll) dan internal (misal bentuk pikiran yang muncul, perasaan, dll) rangsangan pada saat bersamaan.
Inti praktik mindfulness bukan sekadar memusatkan perhatian pada napas, seperti yang diyakini orang awam, melainkan penerimaan dan pelepasan berkelanjutan dari berbagai fenomena seperti suara-suara dari lingkungan, suara atau dialog internal, bentuk-bentuk pikiran atau emosi, dan sensasi fisik.
Hipnosis dan Hipnoterapi
Dalam konteks hipnosis dan hipnoterapi, terdapat dua pikiran: pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Fungsi pikiran sadar mengidentifikasi informasi yang masuk melalui enam indera, membandingkan informasi ini dengan data di pikiran bawah sadar, melakukan analisis, dan membuat keputusan.
Fungsi pikiran bawah sadar adalah tempat menyimpan data atau memori jangka panjang, menyimpan hal-hal yang tidak tertangkap oleh pikiran sadar, tempat tiga jenis kebiasaan, emosi, kepribadian, intuisi, kreativitas, persepsi, keyakinan (belief), dan nilai hidup (value). Pengaruh dan kontribusi pikiran sadar pada diri individu berkisar antara 1% hingga 5%, sementara pikiran bawah sadar antara 95% hingga 99% (Gunawan, 2012).
Pikiran sadar mampu memproses hingga 40 bit informasi tiap detik (Zimmermann (1989). Sementara menurut Trincker (dalam Norrentranders, 1998:126) pikiran bawah sadar mampu memproses hingga 40.000.000 bit informasi tiap detik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbandingan kapasitas pemrosesan data antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar adalah 40 bit/detik berbanding 40.000.000 bit/detik atau 1 berbanding 1.000.000.
Seturut dengan keberadaan dua pikiran, terdapat dua logika pikiran: logika pikiran sadar (conscious logic) dan logika pikiran bawah sadar (trance logic). Kedua logika pikiran ini bekerja dengan keunikan dan hukum berbeda.
Hipnosis adalah kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar fokus dan rileks, berakibat pikiran menjadi sangat reseptif menerima pesan-pesan mental yang disampaikan, baik berupa pesan verbal dan atau visual. Kondisi pikiran sadar rileks ini bisa diikuti, namun tidak selalu, dengan kondisi tubuh fisik rileks (Gunawan, 2018).
Kondisi hipnosis bisa dicapai atau terjadi melalui beberapa cara: swahipnosis, heterohipnosis, autohipnosis, dan parahipnosis. Swahipnosis adalah hipnosis yang dilakukan seseorang pada dirinya sendiri. Heterohipnosis adalah hipnosis yang dilakukan seseorang pada orang lain, terutama dalam konteks klinis. Autohipnosis adalah hipnosis yang terjadi dengan sendirinya saat individu berada dalam situasi atau kondisi tertentu. Dan parahipnosis adalah hipnosis akibat obat.
Berbeda dengan pehamahan awam, kondisi hipnosis bukan tidur atau kondisi tak sadar. Dalam kondisi hipnosis, individu tetap sadar sepenuhnya dan memiliki kendali penuh atas dirinya.
Dalam kondisi hipnosis individu melepas kendali atas fungsi kritis pikirannya, lepas dari fungsi pengawasan kekinian pengalaman, dan teregresi ke proses berpikir primer di mana terdapat kebebasan dan keleluasaan pikiran dalam memunculkan berbagai bentuk gambaran mental, daya khayal, menerima segala sesuatu yang sebelumnya tidak rasional menjadi rasional, dan individu mengalami fenomena trance logic (Orne, 1959).
Terdapat banyak lapis kesadaran atau jenjang kedalaman, kondisi hipnosis. Mulai dari kedalaman dangkal (light trace), kedalaman menengah (medium trance), kedalaman dalam (deep trance), hingga kedalaman ekstrim (extreme depth). Setiap kedalaman bercirikan fenomena spesifik baik di aspek mental maupun fisik.
Terdapat lebih dari dua puluh skala kedalaman hipnosis. Skala paling awal adalah Magnetic Scale (Liébeault, 1866, 1889). Sementara skala yang populer digunakan sebagai acuan adalah Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A and B, Stanford Scales of Hypnotic Susceptibility, Form C, dan Stanford Profile Scales of Hypnotic Susceptibility (Weitzenhoffer dan Hilgard, 1959, 1962, 1963, 1967), dan Harvard Group Scales of Hypnotic Susceptibility, Forms A dan B (Shor dan Orne, 1962). Di tahun 2010, di Indonesia telah disusun AWG Hypnotic Depth Scale yang digunakan sebagai acuan dalam proses hipnoterapi oleh hipnoterapis klinis anggota Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI).
Hipnosis per se tidak terapeutik, karena ia hanya kondisi kesadaran. Manfaat yang bisa dirasakan bila seseorang mengalami kondisi hipnosis adalah terjadinya relaksasi pikiran sadar dan tubuh fisik. Ini menghasilkan respon relaksasi yang berdampak baik untuk ketenangan dan kesehatan. Namun, bila tujuan yang ingin dicapai adalah kebaikan dan kesejahteraan mental pada tataran lebih luas, hipnosis perlu disandingkan dengan seperangkat teknik atau strategi terapi. Gabungan antara kondisi hipnosis dan teknik terapi dinamakan hipnoterapi.
Secara ringkas, hipnoterapi adalah terapi, bisa menggunakan teknik apa saja, dilakukan dalam kondisi hipnosis. Terapi bisa dilakukan baik oleh diri sendiri, atau oleh terapis pada klien dengan tujuan mengatasi masalah dan meningkatkan kesejahteraan klien.
Terdapat tiga mazhab hipnoterapi. Pertama, mazhab pantai timur Amerika yang hanya mengutamakan dan menggunakan sugesti sebagai sarana untuk mencapai perubahan. Kedua, mazhab pantai barat Amerika, mengutamakan hipnoanalisis bertujuan mencari, menemukan, dan memroses tuntas akar masalah. Dan ketiga, mazhab eklektik-integratif, dikembangkan oleh AWGI, bercirikan pemanfaatan, integrasi teknik serta pendekatan terapi terkini dan terbaik, bertujuan mencari, menemukan, dan memroses tuntas akar masalah dalam upaya membantu individu mengalami perubahan positif dengan aman, efektif, cepat, mudah, menyenangkan, dengan hasil terapi bertahan lama.
Proses perubahan transformatif dan dampak terapeutik positif terjadi saat terapis berhasil membantu klien mencapai pengalaman emosional korektif (Alexander dan French, 1946) melalui rekonstruksi memori patologis (Watkins, 1978).
(Bangun) memori hanya bisa direkonstruksi bila ia telah lentur setelah beberapa prasyarat terpenuhi, terutama setelah terjadi peluruhan emosi dan pemanfaatan trance logic. Tanpanya, bangun memori akan tetap kokoh, rigid, dan tidak bisa direkonstruksi untuk kebaikan dan kesembuhan klien (Gunawan, 2018).
Upaya pemulihan kesejahteraan mental dan emosi klien pascakejadian traumatik dilakukan dengan menggunakan teknik khusus, di kedalaman hipnosis dalam (profound somnambulism) tanpa mengganggu integritas memori (traumatik).
Dibutuhkan pemahaman mendalam tentang landasan teori dan cara kerja memori agar bisa melakukan rekayasa dan rekonstruksi memori patologis secara aman dan tepat sasaran. Tanpa pemahaman benar hipnoterapis bisa salah dalam melakukan atau justru menolak melakukan rekonstruksi memori.
Kesadaran
Kesadaran (consciousness) memiliki lima komponen: kondisi kesadaran (state of consciousness), isi kesadaran (content of consciousness), kesadaran (awareness), energi, dan struktur.
Kesadaran (consciousness) dibedakan menjadi dua kelompok: kesadaran normal (baseline state of consciousness) dan kesadaran berbeda (discrete state of consciousness). Kesadaran normal adalah kesadaran yang dialami individu dalam kondisi bangun, sadar normal. Sementara kesadaran berbeda adalah semua kondisi kesadaran di luar kelompok kesadaran normal. Kesadaran berbeda sering disebut sebagai altered state of consciousness (ASC). Kondisi meditatif dan kondisi hipnosis adalah kondisi kesadaran berbeda.
Menurut Tart (1975) kondisi kesadaran distabilkan oleh empat proses: loading stabilization (stabilisasi beban), negative feedback stabilization (stabilisasi umpan balik negatif), positive feedback stabilization (stabilisasi umpan balik positif), dan limiting stabilization (stabilisasi penghambat).
Isi kesadaran (content of consciousness) adalah muatan yang keluar dari pikiran bawah sadar dan atau nirsadar, naik ke permukaan dan masuk ke wilayah pikiran sadar sehingga dikenali dan diketahui. Setiap kondisi kesadaran merupakan jalur bagi pikiran bawah sadar dan atau nirsadar untuk mengeluarkan muatannya sesuai dengan kondisi psikis, kebutuhan, kesiapan, dan izin dari sistem ego.
Kesadaran (awareness) adalah kemampuan untuk mengetahui atau mengenali atau memikirkan bahwa sesuatu sedang terjadi. Sedangkan kesadaran diri (self awareness) adalah kesadaran akan kondisi sadar. Tingkat kesadaran diri yang tertinggi adalah saat terjadinya perpisahan antara kesadaran dan konten.
Kesadaran (awareness) merujuk pada pengetahuan dasar bahwa sesuatu sedang terjadi, mengamati, atau merasakan. Kesadaran (consciousness) umumnya merujuk pada awareness dalam hal yang jauh lebih rumit. Consciousness adalah awareness yang dipengaruhi oleh struktur pikiran.
Energi dalam hal ini merujuk pada perhatian atau kesadaran (awareness) dalam konteks bahwa suatu struktur yang sebelumnya tidak berpengaruh terhadap kesadaran dapat diaktifkan bila dibutuhkan.
Sementara yang dimaksud dengan struktur, lebih tepatnya struktur psikologis, adalah organisasi yang relatif stabil dari komponen yang menjalankan satu atau lebih fungsi psikologis tertentu. Beberapa struktur membutuhkan energi dalam jumlah tertentu agar dapat bekerja optimal, beroperasi, dihambat kerjanya, diubah, dan atau didestrukturisasi (Tart, 2001).
Bila ditilik dari kesadaran individu saat melakukan meditasi dan dalam kondisi hipnosis, terdapat kemiripan dan perbedaan. Walau individu yang melakukan meditasi maupun yang sedang mengalami kondisi hipnosis tampak sama tenang dan pasif, aktivitas kesadaran mereka sangat berbeda.
Terdapat dua aspek kesadaran dalam konteks mindfulness: perhatian (attention) dan kesadaran (awareness). Perhatian (attention) adalah proses pemusatan kesadaran, memberikan kepekaan yang tinggi pada rentang pengalaman terbatas (Westen, 1999). Kesadaran (awareness) berfungsi sebagai radar bagi kesadaran (consciousness), yang secara kontinu memonitor lingkungan di luar dan di dalam diri individu (Brown & Ryan, 2003). Kesadaran dan perhatian saling terhubung. Perhatian terus-menerus menarik "sosok" keluar dari "tanah" kesadaran, menahan mereka secara fokus untuk jangka waktu yang berbeda-beda.
Hal ini memungkinkan individu untuk dapat menyadari suatu stimulus tanpa harus meletakkan stimulus tersebut sebagai pusat perhatian. Misalnya, ketika seseorang sedang berbincang-bincang, namun tetap menyadari apa yang terjadi di lingkungannya. Sementara attention diartikan sebagai suatu proses memfokuskan kesadaran yang disadari (focusing conscious awareness) dengan cara meningkatkan kepekaan terhadap lingkup pengalaman-pengalaman yang terbatas.
Dari dua tipe meditasi, samatha, mengembangkan kondisi tercerap, adalah praktik mindfulness yang memiliki kemiripan dengan kondisi hipnosis. Samatha, bila dilatih secara konsisten, menuntun pada kondisi konsentrasi terpusat yang dikenal sebagai samadhi atau tercerap sepenuhnya pada objek.
Dalam meditasi samatha, pikiran sadar meditator tercerap, fokus, dan terkunci pada objek seperti napas. Sementara dalam hipnosis, pikiran sadar individu fokus pada suara, tuntunan terapis, sensasi fisik, dan pengalaman yang diungkap pikiran bawah sadar.
Walau terdapat kesamaan, mindfulness dan hipnosis berbeda dalam mekanisme kognitif dan neurofisiologis tertentu. Hipnosis dapat menimbulkan atau meningkatkan disosiasi (mis: amnesia, depersonalisasi, kehilangan sensorik, dll.), bersama dengan pundarnya orientasi realitas umum (generalized reality orientation / GRO) (Shor, 1959).
GRO adalah kerangka referensi internal yang stabil, berfungsi mengarahkan seseorang untuk dapat bernavigasi dengan baik dan terarah, dalam ruang dan waktu, bahkan saat ia tidak secara khusus dan saksama memerhatikan keadaan sekelilingnya (Shor,1959).
Sementara menurut Bruner (1973) GRO adalah skema kognitif yang bekerja atau aktif di latar belakang kesadaran yang memungkinkan seseorang untuk pergi “melampaui informasi yang diperoleh” pada setiap momen untuk mempertahankan orientasinya terhadap realita.
GRO adalah fungsi pikiran yang mengawasi keadaan sekeliling. GRO tidak bekerja saat individu tidur. Dalam hipnosis, tingkat keaktifan GRO bergantung pada kedalaman hipnosis yang berhasil dicapai. Semakin dalam kondisi hipnosis, fungsi GRO semakin pudar.
Dalam praktik mindfulness, khususnya vipassana, praktisi tetap sadar akan pengalaman eksternal dan internal. Bentuk-bentuk pikiran yang mengganggu dan sensasi sakit dikenali namun tidak diberi perhatian, bukan "terputus" seperti dalam disosiasi hipnotik. Perbedaan ini telah terkonfirmasi secara empiris (Lau et al., 2006).
Ciri-ciri kognitif dan fenomenologis yang unik untuk mindfulness dan hipnosis mengindikasikan mekanisme neurofisiologis spesifik yang mendasarinya. Keduanya sangat berbeda dalam konektivitas fungsional di otak.
Dalam hipnosis, fungsi pemantauan terputus dari fungsi eksekutif (Egner, Jamieson, & Gruzelier, 2005). Proses ini yang diperkirakan mengakibatkan terjadinya penghentian sementara dari fungsi penilai kritis terhadap realita, dalam hal ini GRO, dan memungkinkan sugesti hipnotik dan rekonstruksi memori dapat terjadi.
Pada kondisi hipnosis dalam, walau fungsi GRO dan analitis logis menurun atau sangat berkurang, individu tetap dalam kondisi sadar penuh sehingga masih dapat mengendalikan diri sepenuhnya. Ia dapat memutuskan keluar dari kondisi hipnosis seturut keinginannya, kapan pun.
Dalam mindfulness (vipassana), yang terjadi adalah pola sebaliknya. Fungsi pemantauan dan fungsi eksekutif tetap aktif dan terhubung satu dengan lainnya, yang mengakibatkan kesadaran praktisinya meningkat, tidak mengalami penurunan seperti dalam kondisi hipnosis (Lynn, Malaktaris, Maxwell, Mellinger, & van der Kloet, 2012).
Mencermati temuan ini, beberapa ilmuwan neurosains menegaskan bahwa pernyataan Buddha tentang "tercerahkan sepenuhnya" pada saat pencerahan bukan sekadar metafora (Britton, Lindahl, Cahn, Davis, & Goldman, 2014).
Keterhubungan antara fungsi pemantauan, fungsi eksekutif, dan konektivitas otak yang mengalami peningkatan mengatur emosi dan perenungan mendalam yang dilakukan praktisinya (Brewer et al., 2011).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa mindfulness adalah serangkaian prosedur kognitif yang beragam memfasilitasi perhatian terpusat (samatha) atau pengawasan terbuka tanpa menghakimi (vipassana). Samatha menyerupai hipnosis dengan peningkatan dalam konsentrasi dan pencerapan. Sementara vipassana berbeda dengan hipnosis karena ia meningkatkan, tidak meredupkan kesadaran.
Terapi Berbasis Mindfulness
Mindfulness dapat digunakan baik secara mandiri atau diintegrasikan ke dalam teknik atau pendekatan terapi untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan mental dan emosi.
Saat ini telah dikembangkan pendekatan terapeutik berbasis mindfulness seperti mindfulness based stress reduction (MBSR; Kabat-Zinn, 1990) dan mindfulness-based cognitive therapy (MBCT; Segal, Williams, dan Teasdale, 2002) merujuk pada tradisi mindfulness Buddhis sebagai sumber utama dan inspirasi.
Keefektifan dan manfaat mindfulness dalam konteks klinis terletak pada kemampuan kesadaran memutus response set yang mengendalikan diri individu. Response set adalah pola asosiasi terkondisi yang memfasilitasi pola perilaku, pola pikir, dan respon individu terhadap stimulus atau situasi tertentu. Response set dapat diaktifkan baik oleh stimuli internal maupun eksternal, seperti sugesti dan beragam sinyal yang berasal dari lingkungan.
Mindfulness dapat memutus respon perilaku otomatis yang selama ini menguasai diri seseorang, baik disadari atau tidak, dan membuat individu menjadi sadar akan pola perilaku maladaptif yang ia alami atau lakukan.
Pelatihan mindfulness pada klien akan memampukan klien menyadari dan menangkap pola perilaku yang relatif otomatis dan reaktif menjadi respon yang lebih terkendali (Teasdale, Segal, dan Williams, 2003).
Individu terlatih dalam mindfulness mampu menyadari keberadaan pengalaman atau memori, baik bermuatan emosi negatif maupun emosi positif intens, melihat apa adanya pengalaman ini, tanpa menghakimi, berupaya mengubah, memberi makna, atau masuk ke dalamnya. Melalui pengalaman meditatif, individu tidak hanya mampu menyadari keberadaan fenomena, ia juga menyadari bahwa fenomena-fenomena ini bersifat tidak kekal.
Saat fenomena berupa memori, bentuk pikiran, atau perasaan muncul ke permukaan, sejalan dengan hukum ketidakkekalan, setelah bertahan beberapa saat mereka akan padam dengan sendirinya. Muncul, bertahan, dan padamnya fenomena ini terjadi tidak hanya sekali tapi berulang kali. Setiap kali individu berhasil (hanya) menyadari keberadaan fenomena ini, saat mereka muncul, bertahan sesaat, dan padam, tanpa ia bereaksi atau larut ke dalamnya, setiap kali ini pula terjadi peluruhan emosi dan daya cengkeram fenomena terhadap diri individu, hingga akhirnya response set menjadi nonaktif, dan individu terbebas dari masalah.
Dengan mindfulness, kekuatan perhatian (sati), individu mampu senantiasa membawa batinnya ke saat ini, dan memperlambat arus informasi yang masuk melalui enam indera, dan mendeteksi setiap pengalaman yang berhubungan dengan enam indera, mengetahui mana yang baik / buruk, bermanfaat / merugikan dan menggunakan kebijaksanaan untuk menentukan respon.