Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia

Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia turut berperan serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat, dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing dalam kancah global dan meningkatkan ketahanan bangsa.

Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia menetapkan standar tinggi, ilmiah dan berbasis bukti (evidence-based) dalam pendidikan dan layanan hipnoterapi untuk kemanfaatan dan perlindungan baik praktisi hipnoterapi dan terutama anggota masyarakat pengguna jasa layanan hipnoterapi.

Baca Selengkapnya

Artikel

9 Mei 2023

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Konseptualisasi pikiran bawah sadar datang dalam tiga gelombang besar formulasi teoretis. Gelombang pertama adalah identifikasi pikiran bawah sadar oleh Sigmund Freud lebih dari 100 tahun lalu.

Ini adalah teori pertama kepribadian proses ganda (melibatkan pikiran sadar dan bawah sadar) dan mewakili "penemuan" pikiran bawah sadar.

Pentingnya pikiran bawah sadar lebih lanjut ditekankan ketika Freud berhipotesis bahwa banyak pengalaman dan perilaku manusia sebenarnya adalah hasil/akibat pengaruh pikiran bawah sadar daripada proses pikiran sadar.

Menurut Freud, pikiran bawah sadar lebih primitif dan beroperasi sesuai dengan proses berpikir primer, dengan ciri dan mekanisme utama berupa fantasi, pemenuhan keinginan, pemindahan, kondensasi, representasi simbolik, dan asosiasi (Epstein, 1994). Sebaliknya, pikiran sadar bekerja menggunakan proses berpikir sekunder, yaitu aturan logika dan rasionalitas.

Konsep pemrosesan ganda informasi di luar kesadaran, seperti yang diajukan Freud, diterima secara luas. Namun, deskripsi Freud tentang pikiran bawah sadar sebagai sumber motivasi telah dipertanyakan karena dinilai kurang komprehensif.

Gelombang kedua pemahaman tentang pikiran bawah sadar dikembangkan dari perspektif kognitif, bukan psikoanalitik (Epstein, 1994). Dari perspektif ini, pikiran bawah sadar dikonseptualisasikan sebagai ketidaksadaran kognitif dan tidak terkait dengan psikoanalisis.

Sebaliknya, model kognisi bawah sadar ini menyatakan bahwa informasi diproses secara otomatis tanpa upaya sadar dan di luar kesadaran, sebagai mode operasi alami. Kihlstrom (1990) menggambarkan konseptualisasi pikiran bawah sadar ini sebagai ketidaksadaran yang “lebih baik dan lembut” dibandingkan dengan konseptualisasi psikoanalitik.

Keterbatasan konsep ketidaksadaran kognitif adalah bahwa ia tidak mampu menjelaskan dengan baik persepsi dan perilaku yang didorong oleh emosi. Meskipun konsep ini dengan benar mengidentifikasi bahwa kognisi terjadi di luar kesadaran, ia gagal menjelaskan sepenuhnya bagaimana pikiran bawah sadar beroperasi atau memproses informasi. Oleh karena itu, berkenaan dengan hipnoterapi, konsep ketidaksadaran kognitif belum sepenuhnya memuaskan.

Gelombang ketiga pemahaman tentang pikiran bawah sadar terjadi saat Epstein (CEST; Epstein, 1973; 1994; 2003) mengajukan teori kepribadian Cognitive-Experiential Self Theory.

Dalam formulasi teoretis yang diajukan Epstein (1973) dinyatakan bahwa manusia memiliki dua sistem pikiran: sistem rasional dan sistem pengalaman.

Sistem Rasional

Sistem rasional aktif bekerja karena upaya sadar, disengaja, penuh usaha, lebih lambat, logis dan beroperasi terutama melalui penggunaan bahasa. Karenanya, individu paling sadar akan sistem rasional saat dalam kondisi sadar normal (bangun).

Sistem rasional juga berusaha menemukan hubungan sebab-akibat pada sebagian besar rangsangan yang ditemui dalam situasi sehari-hari (Epstein, 2003, 2008, 2014).

Sistem rasional/sadar bertindak sesuai dengan seperangkat prinsip analitis dan dipengaruhi oleh nalar dan logika. Ia beroperasi sejalan dengan pemahaman seseorang tentang aturan penalaran dan bukti, serta gagasan yang dapat ditransmisikan secara budaya. Tindakannya sadar, analitis, penuh usaha, relatif lambat, bebas pengaruh, dan sangat menuntut sumber daya kognitif.

Sistem rasional menyandikan memori melalui semantik atau bahasa, simbol abstrak, angka, huruf, dan kata-kata. Melalui sistem inilah orang dapat memecahkan masalah (rumit) secara efektif, efisien, dan mengambil prinsip-prinsip yang dipelajari dan menerapkannya di seluruh konteks.

 

Sistem Pengalaman

CEST memperkenalkan pemahaman baru dan lebih komprehensif tentang pikiran bawah sadar. Teori ini secara unik mengidentifikasi pikiran bawah sadar beroperasi sebagai sistem pengalaman yang dipengaruhi oleh emosi dan memproses informasi secara otomatis, cepat, dan mudah.

Menurut teori ini, peristiwa-peristiwa terutama diwakili secara konkret dan imajinatif (Epstein, 1994), dan melalui penggunaan pemikiran, metafora, narasi, skrip, prototipe, dan gambar, sistem pengalaman / bawah sadar melakukan generalisasi dan merespon informasi.

Sistem pengalaman bekerja dengan dorongan emosi dan beradaptasi berdasar pengalaman daripada dengan logika (Epstein, 2008).

Sistem ini telah berkembang selama jutaan tahun, dan telah digunakan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sosial dan tuntutan situasi yang berubah dari waktu ke waktu.

Sistem ini beroperasi sebagai sistem kognitif yang sangat dipengaruhi oleh emosi dan juga sangat memengaruhi emosi individu. Ia juga meregulasi perilaku, menjadikan pemenuhan rasa senang sebagai tujuan utama dan menghindari rasa sakit, baik secara fisik maupun emosi.

Sistem ini bertindak cepat, berdasar pengalaman, dan tidak disadari, bersifat holistik, asosiatif, dan didorong oleh emosi (Epstein, 1994).

Sistem ini dapat dengan cepat membuat koneksi, terutama jika asosiasi langsung bersifat menyenangkan. Ia lebih lambat berubah karena asosiasi otomatis ini berkembang secara bertahap melalui paparan berulang, atau secara akut melalui pengalaman emosional intens. Ia menyandikan informasi dengan ingatan, gambar konkret, metafora, atau narasi dengan cepat dan sering dihubungkan dengan proses bercirikan getaran, intuisi, naluri, atau firasat (Epstein, 2003, 2013).

CEST menyatakan sistem pengalaman memengaruhi perilaku dan pemikiran individu sehari-hari hampir secara tidak sadar. Melalui sistem ini, individu mengembangkan dan memelihara skema tentang dunia, diri, dan orang lain (Epstein, 2003).

Meskipun sistem rasional mungkin membantu mempertahankan atau membenarkan skema ini, sistem pengalamanlah yang bertanggung jawab atas penerapan otomatis dan penyesuaian skema di seluruh konteks. Sistem pengalaman kurang terorganisir daripada sistem rasional karena terdapat banyak jalur pemrosesan informasi yang dibedakan oleh kondisi afeksi diskrit. Ia juga juga dapat dikelola dengan menyelaraskan pola pemikiran dan perilaku untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem pengalaman berperan besar dalam mendorong kepercayaan terhadap takhayul, munculnya ketakutan irasional, teori konspirasi, dll. (Epstein, 2014).

Semua informasi diproses oleh dua sistem independen namun saling berinteraksi. Walau sistem rasional (pikiran sadar) dan sistem pengalaman (pikiran bawah sadar) berinteraksi secara sinergis, kedua sistem ini sangat berbeda dalam sifat dan cara kerjanya.

 

Pengaruh Sistem Pengalaman terhadap Sistem Rasional

Sistem pengalaman bersifat prasadar dan bereaksi cepat terhadap situasi, yang kemudian diikuti oleh sistem pemrosesan rasional.

Karena sistem pengalaman bereaksi secara otomatis dan dipengaruhi oleh emosi, sistem pemrosesan rasional individu dapat mengalami bias akibat respons emosional individu. Proses individu berusaha memahami sistem pemrosesan bawah sadar menggunakan sistem pemrosesan sadar disebut rasionalisasi (Epstein, 2003).

Sistem pengalaman memproses informasi secara holistik untuk tujuan generalisasi dan beroperasi pada level yang berbeda, tinggi dan rendah. Tingkat operasi yang lebih rendah melalui pengkondisian klasik, sedangkan tingkat operasi yang lebih tinggi dari sistem pengalaman adalah pemrosesan heuristik. Pemrosesan heuristik dalam sistem pengalaman memerlukan penalaran asosiatif yang lebih mendasar dibandingkan dengan penalaran kausal yang lebih kompleks secara atribusi seperti sistem rasional. Pengolahan heuristik pengalaman telah ditemukan, meskipun tidak selalu, menjadi sumber irasionalitas (Epstein, 2003).

 

Pengaruh Sistem Rasional terhadap Sistem Pengalaman

Karena sistem rasional beroperasi pada kecepatan yang lebih lambat daripada sistem pengalaman, ia berada pada posisi yang memungkinkan untuk bisa mengoreksi banyak proses yang dilakukan sistem pengalaman (Epstein, 2003).

Sistem rasional tidak hanya dapat memahami cara kerja sistem pengalaman tetapi juga dapat memahami skema yang mendasarinya. Pemrosesan rasional seperti ini dapat mencakup aspek kesadaran diri dan pengendalian diri, di mana pemikiran analitis memungkinkan seseorang mengesampingkan dorongan atau impuls dan membuat keputusan berbeda. Melalui kejadian berulang seperti ini, pemikiran dan perilaku rasional dapat menjadi kebiasaan atau prosedural.

Cara lain yang memungkinkan sistem rasional dapat memengaruhi sistem pengalaman adalah dengan mengidentifikasi dan memahami aspek sistem pengalaman yang tidak logis dan melakukan tindakan korektif untuk menyesuaikan dan mendorong hasil yang lebih baik. Jenis proses seperti ini dapat lebih mudah dilihat saat menguji penerapan CEST dalam konteks terapi.

Meskipun sistem pengalaman tidak dapat memahami sistem rasional, sistem rasional dapat memahami proses sistem pengalaman. Dengan demikian, pikiran, emosi, dan perilaku maladaptif dapat diperbaiki melalui terapi.

Menurut CEST, terdapat tiga cara menghasilkan perubahan dalam pemrosesan informasi sistem pengalaman.

Pertama, individu dapat dibuat sadar akan pemrosesan pengalaman mereka, dengan cara yang memungkinkan mereka mengakui asal mula irasionalitas dan terlibat dalam pemikiran dan perilaku korektif. Ini kemudian membuka jalan untuk mengubah dan melatih sistem pengalaman sesuai yang diinginkan.

Kedua, pengalaman koreksi diri dapat menyebabkan perubahan dalam sistem pengalaman. Ini dapat berasal dari pengalaman negatif yang dialami atau belajar dari pengalaman secara lebih umum.

Dalam hal ini, idenya adalah bahwa sistem pengalaman akan menghindari emosi negatif, rasa tidak nyaman, dan mengejar emosi positif (selama pengalaman tersebut dapat diterima dan sehat).

Ketiga, perubahan dalam sistem pengalaman kemungkinan besar terjadi ketika individu berusaha belajar melalui narasi, gambaran mental, atau fantasi. Semua cara ini sejalan dengan sistem pengalaman dan dengan demikian memberikan fenomena seperti berbicara dalam bahasa yang sama (Epstein, 2003).

Berikut ini perbandingan kedua sistem, seperti yang dikemukakan Epstein (dalam Weiner, 2013):

Sistem Rasional (Pikiran Sadar)

1. Analitis

2. Logis: Berorientasi pada alasan dan akurasi, beroperasi dengan prinsip realitas.

3. Hubungan sebab-akibat.

4. Lebih berorientasi pada proses.

5. Perilaku dimediasi oleh penilaian kejadian secara sadar.

6. Mengkodekan realitas dalam simbol, kata, dan angka abstrak.

7. Pemrosesan lebih lambat: Mampu melakukan tindakan yang tertunda lama.

8. Berubah lebih cepat: Bisa berubah seturut kecepatan berpikir.

9. Diferensiasi lebih tinggi: Pemikiran yang berdimensi dan bernuansa.

10. Lebih terintegrasi: Terorganisir menurut generalisasi lintas situasi.

11. Berpengalaman secara aktif dan sadar: Individu percaya bahwa ia mengendalikan pikiran sadarnya.

12. Membutuhkan pembenaran melalui logika atau bukti.

 

Sistem Pengalaman (Pikiran Bawah Sadar):

1. Holistik

2. Emosional: Berorientasi rasa senang-sakit, beroperasi dengan prinsip hedonis.

3. Hubungan asosiatif.

4. Lebih berorientasi pada hasil.

5. Perilaku yang dimediasi oleh “getaran” dan emosi dari pengalaman masa lalu.

6. Menyandikan realitas dalam gambaran konkret, generalisasi primer, metafora, dan narasi.

7. Pemrosesan lebih cepat: Berorientasi pada tindakan segera.

8. Lebih lambat berubah: Perubahan dengan pengalaman berulang atau intens.

9. Diferensiasi lebih kasar: Gradien generalisasi luas; berpikir kategoris.

10. Terintegrasi lebih kasar: Disosiatif, terorganisir dalam bagian oleh kompleks emosional (modul kognitif-afektif).

11. Dialami secara pasif dan prasadar: Kita merasa dikuasai oleh emosi kita.

12. Yakin dengan sendirinya: “Mengalami adalah percaya”

18 Februari 2023

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

American Psychological Association (APA) Divisi 30, Society of Psychological Hypnosis, telah tiga kali merumuskan definisi hipnosis, tahun 1993, 2003, dan terakhir 2014, sebagai acuan para praktisi dan peneliti pengguna hipnosis dalam kegiatan mereka.

Definisi hipnosis yang dirumuskan APA, tahun 1993, menggambarkan posisi sejumlah peneliti yang mendukung perbedaan perspektif teoretis namun terutama mengidentifikasi hipnosis sebagai prosedur di mana seorang penyembuh profesional atau peneliti memberi sugesti pada klien atau pasien, atau subjek penelitian untuk mengalami perubahan sensasi, persepsi, pikiran atau perilaku (Kirsch, 1994b, p.143).

Definisi ini juga meliputi daftar beberapa kegunaan hipnosis dan menyatakan hipnosis telah digunakan dalam penanganan rasa sakit, depresi, kecemasan, stres, gangguan kebiasaan, dan banyak masalah psikologis dan medis lainnya (Kirsch, 1994b, p.143).

Setelah publikasi definisi resmi hipnosis pada tahun 1994, muncul keprihatinan dan kritik karena definisi ini tidak memuaskan banyak pihak. Definisi ini mendapat kritik karena terlalu panjang dan memiliki keterbatasan teoretis signifikan.

Segera setelah publikasi definisi hipnosis pada tahun 1994, komite eksekutif APA Divisi 30 mulai menangani masalah ini. Namun upaya revisi ternyata menjadi tugas yang tidak mudah. Walau definisi tahun 1994 ini belum memuaskan, ia berlaku selama lebih dari satu dekade.

Kesulitan dari perumusan definisi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, mekanisme yang menjadi dasar terjadinya efek hipnosis belum sepenuhnya teridentifikasi. Kondisi ini mengakibatkan sulit tercapai konsensus atas definisi hipnosis. Kedua, alasan timbul ketidaksetujuan atas definisi hipnosis karena argumentasi tentang akurasi suatu definisi pasti terjadi bila definisi ini melibatkan bias teoretis (Elkins dkk, 2015).

Teori-teori hipnosis yang dimaksud antara lain teori neodisosiasi (Hilgard, 1973), teori sosiokognitif (Spanos, 1991), teori pengharapan respon (Kirsch, 1985), dan teori kendali terdisosiasi (Woody dan Bower, 1994).

Setelah melalui proses yang cukup panjang, di tahun 2003, APA Divisi 30 mengumumkan definisi hipnosis, yang dibatasi pada prosedur yang digunakan dalam penelitian dan praktik klinis (Green et al., 2005, p.262).

 

Definisi hipnosis ini panjangnya dua paragraf:

Hipnosis biasanya melibatkan pengenalan prosedur di mana subjek diberitahu tentang pemberian  sugesti untuk pengalaman imajinatif. Induksi hipnotik adalah kelanjutan dari sugesti awal untuk menggunakan imajinasi seseorang, dan dapat berisi penjelasan lebih lanjut dari penjelasan awal. Prosedur hipnosis digunakan untuk mendorong dan menilai respons terhadap sugesti. Saat menggunakan hipnosis, satu orang (subjek) dituntun oleh orang lain (hipnotis) untuk merespon sugesti perubahan pada pengalaman subjektif, perubahan persepsi, sensasi, emosi, pemikiran, atau perilaku. Orang juga dapat belajar swahipnosis, yaitu tindakan melakukan prosedur hipnosis pada diri sendiri. Jika subjek merespon sugesti hipnotik, umumnya disimpulkan telah terjadi hipnosis. Banyak yang percaya bahwa respons dan pengalaman hipnotik adalah karakteristik kondisi hipnosis. Beberapa orang berpikir bahwa tidak perlu menggunakan kata hipnosis sebagai bagian dari induksi hipnotik, sementara yang lain memandang ini sebagai hal penting.

Rincian prosedur dan sugesti hipnotik akan berbeda bergantung pada tujuan praktisi dan tujuan upaya klinis atau penelitian. Secara tradisional, prosedur hipnosis melibatkan sugesti untuk menjadi rileks, meskipun rileksasi bukan keharusan untuk hipnosis, dan berbagai macam sugesti dapat digunakan termasuk sugesti untuk menjadi lebih waspada. Sugesti yang memungkinkan sejauh mana hipnosis dinilai dengan membandingkan respons terhadap skala standar dapat digunakan baik dalam ranah klinis maupun penelitian. Sementara mayoritas individu responsif terhadap setidaknya beberapa sugesti, skor pada skala standar berkisar dari tinggi hingga dapat diabaikan. Secara tradisional, skor dikelompokkan ke dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. Seperti halnya dengan ukuran konstruk psikologis skala positif lainnya seperti perhatian dan kesadaran, arti penting bukti untuk mencapai kondisi hipnosis meningkat seturut skor individu. (Green dkk., 2005, p.262-2633).

Definisi hipnosis tahun 2003 telah mengalami kemajuan berarti, namun kurangnya kehati-hatian dan pembatasan pada prosedur dipandang sebagai kekurangan signifikan.

Di tahun 2013, Dr. Arreed Barabasz selaku presiden Divisi 30 APA menunjuk komite baru, Hypnosis Definition Committee (HDC) untuk merevisi definisi hipnosis. HDC beranggotakan Gary R. Elkins (Ketua), David Spiegel, James R. Council, dan Arreed F. Barabasz.

 

Untuk mencapai tujuan ini, HDC mengacu pada pedoman berikut:

• Definisi harus berupa deskripsi singkat yang mengidentifikasi objek yang dimaksud dan karakteristiknya.

• Definisi harus bersifat heuristik dan mengakomodir teori-teori alternatif terkait mekanisme hipnosis.

 

Setelah mendapat banyak saran dan masukan dari berbagai pihak, akhirnya pada tanggal 24 Maret 2014 HDC (APA Divisi 30) berhasil merumuskan dan mencapai konsensus definisi hipnosis yang baru:

"Hipnosis adalah kondisi kesadaran melibatkan perhatian terfokus dan berkurangnya kesadaran periferal yang bercirikan peningkatan kapasitas respons terhadap sugesti (Elkins dkk, 2015, p.6).

Dan definisi hipnoterapi (atau hipnosis klinis) adalah pemanfaatan hipnosis dalam penanganan masalah medis atau psikologis (p.7).

Kami (AWGI) mendefinisikan hipnosis sebagai kondisi kesadaran bercirikan pikiran sadar rileks, fungsi kritis analitis pikiran sadar menurun, disertai meningkatnya fokus dan konsentrasi, sehingga individu menjadi sangat responsif terhadap pesan atau informasi yang diberikan kepada pikiran bawah sadar (Gunawan, 2017).

Definisi hipnosis versi AWGI dan APA Divisi 30 sama-sama menyatakan bahwa hipnosis adalah kondisi kesadaran, karena memang demikianlah adanya, sesuai dengan yang kami temukan dan alami di ruang praktik saat menangani klien.

Sementara definisi hipnoterapi, menurut AWGI, adalah terapi, menggunakan teknik atau metode apa saja, yang dilakukan di dalam kondisi hipnosis, untuk mencapai tujuan terapeutik (Gunawan, 2017).

3 November 2022

Oleh: Dr. Dr. Adi W. Gunawan, ST., MPd., CCH®

Beberapa waktu lalu saya menulis tentang fenomena Dapikin. Dalam kesempatan ini, saya akan bahas fenomena menarik lainnya, fenomena Pull Effect.

Pull Effect adalah istilah yang saya ciptakan untuk menjelaskan fenomena unik yang ditemukan dalam proses hipnoterapi.

Ceritanya begini. Dalam proses terapi, seturut protokol AWGI, hipnoterapis melakukan hipnoanalisis, menelusuri labirin pikiran bawah sadar (PBS) klien, tentu atas izin klien, untuk menemukan akar masalah atau kejadian paling awal penyebab simtom.

Dalam beberapa kasus yang kami tangani, dan ini juga terjadi di salah satu sesi live therapy yang saya lakukan minggu lalu di kelas SECH, PBS tidak mengizinkan klien diregresi ke masa lalunya. Yang terjadi adalah PBS menghentikan proses regresi di satu kejadian tertentu, yang kami tahu tidak mungkin adalah akar dari masalah klien.

Klien yang saya terapi punya masalah mudah marah. Emosinya mudah terpicu bahkan untuk hal-hal sepele. Klien sadar ia tidak perlu marah. Namun, saat ada kejadian pemicu, emosi marah klien muncul dan sangat sulit dikendalikan.

Usia klien 35 tahun. Dari pengalaman kami selama ini, biasanya akar masalah terjadi terutama dalam rentang usia antara 0 hingga 10 tahun. Ada ditemukan akar masalah terjadi di usia remaja.

Hasil hipnoanalisis membawa klien mundur ke masa enam bulan lalu, saat ia mengalami kejadian yang membuatnya sangat marah, emosinya benar-benar intens.

Dari hasil verifikasi, diketahui bahwa sumber emosi marah ini bukan di kejadian ini, tapi ada di kejadian pada waktu yang lebih awal lagi.

Saya kembali menggunakan teknik penelusuran PBS untuk menemukan kejadian paling awal. Dua kali upaya penelusuran dilakukan, dua kali PBS memblok dan tidak mengizinkan klien mundur ke masa lalunya.

Apa yang perlu dilakukan dalam situasi ini? Seturut protokol AWGI, hambatan penelusuran ini terjadi dalam dua bentuk. Dan berdasar jenis hambatan yang dilakukan PBS, terapis memutuskan apakah akan tetap mengupayakan regresi lagi atau cukup berhenti sampai di kejadian yang diungkap PBS.

Saya memutuskan untuk berhenti melakukan penelusuran lanjutan, karena kriteria dan jenis hambatan yang dilakukan PBS mengindikasikan kejadian ini, walau baru berselang enam bulan dari saat klien menjalani sesi hipnoterapi, adalah kejadian yang dapat menghasilkan Pull Effect atau Efek Tarikan.

Saya proses kejadian ini hingga tuntas dengan teknik rekonstruksi dan atau rekonsiliasi yang sesuai, tentu menggunakan protokol Dual-Layer Therapy seperti yang diajarkan di kelas SECH.

Hasilnya? Saat dilakukan dua kali pengujian hasil terapi, klien tidak lagi reaktif, atau mudah terpicu emosinya saat mengalami kejadian yang sebelumnya mudah membuat ia marah.

Pertanyaannya, mengapa hanya dengan memproses kejadian yang terjadi dalam waktu dekat, bukan kejadian di masa lalu yang jauh, masalah klien berhasil diatasi?

Kasus terapi lain dilakukan peserta SECH, dalam proses sertifikasi hipnoterapis di AWGI, juga menunjukkan dampak dari Pull Effect.

Peserta ini membantu klien dengan masalah tidak percaya diri bila tampil di depan umum. Saat sesi wawancara, klien cerita bahwa ia merasa marah pada ayahnya. Mestinya, terapis fokus pada masalah utama yang klien sampaikan di Intake Form, tidak percaya diri.

Peserta ini, karena sedang dalam proses belajar, menerapi klien untuk masalah kemarahan pada ayah, bukan tidak percaya diri.

Hasilnya? Kemarahan pada ayah berhasil diatasi, dan bonusnya, rasa tidak percaya diri tampil di depan umum juga turut teratasi. Padahal, terapis tidak secara khusus memproses masalah tidak percaya diri klien.

Pertanyaannya, mengapa walau terapis salah memproses masalah klien, masalah A tapi yang diproses B, masalah A turut terselesaikan? Inilah dampak dari Pull Effect.

Hipotesis saya, Pull Effect hanya terjadi bila klien memenuhi beberapa syarat: klien siap dan bersedia diterapi atas kesadarannya sendiri, klien mendapat edukasi mendalam dan mengerti dinamika kerja PBS, terapis matang menyiapkan PBS untuk proses yang akan klien jalani, kejadian bermuatan emosi negatif intens dan tuntas diproses, dan terapi dilakukan dalam kondisi hipnosis dalam.

Saya katakan hipotesis karena untuk pembuktiannya perlu eksplorasi lebih lanjut. Walau kami sangat ingin tahu lebih jauh tentang Pull Effect, seturut kode etik AWGI / AHKI kami dilarang secara sengaja bereksperimen dengan klien.

Klien datang untuk dibantu mengatasi masalahnya, bukan sebagai subjek eksperimen, walau dampak terapeutik positif bisa dicapai.

Harapan saya, di masa depan, akan ada hipnoterapis AWGI yang melakukan penelitian mendalam tentang Pull Effect dan menuliskannya sebagai disertasi.

Walau Pull Effect berdampak terapeutik positif, kami tidak boleh sengaja melakukannya, karena ini tidak seturut protokol AWGI.

 

Demikianlah adanya...

Demikianlah kenyataannya...

Berita

15 Januari 2018

Minggu 14 Januari 2018 telah diselenggarakan Kongres 1 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia di Hotel Santika, Jakarta, dihadiri 103 hipnoterapis klinis yang datang dari berbagai kota di Indonesia.

Kongres 1 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI) ini diselenggarakan dengan tujuan memilih pengurus baru dan Dewan Etik AHKI periode 2018 - 2023. Dalam Kongres 1 AHKI yang dirangkai dengan pertemuan nasional para hipnoterapis klinis, Minggu (14/1/2018), secara aklamasi memilih DR. Adi W. Gunawan, MPd., CCH., menjadi ketua umum Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia.

15 Januari 2018

Dalam kesempatan yang sama dalam Kongres 1 Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI) yang digelar Minggu (14/01/2018) di Hotel Santika Jakarta, Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI) memberi penghargaan kepada Alm. Bpk. Yan Nurindra, sebagai BAPAK HIPNOTERAPI INDONESIA atas jasa besar Beliau dalam memelopori hipnoterapi yang ilmiah di Indonesia. Penghargaan ini diterima oleh Isteri dan Putri almarhum, Ibu Gayatri S. Rini dan Nadya Ayu Riandini.

Agenda

Saat ini tidak ada agenda